Jumat, 21 September 2012

Teori Konflik

Teori Konflik

Oleh: Rizka Arfheinia PMI-3

Tugas ke-2

 

           Pada dasarnya, dunia sosial dan politik selalu disarati oleh hubungan konflik kepentingan dan identitas. Menurut derwinisme, inilah dunia survival of the fittest, yang paling kuat adalah pemenangnya, yang kalah harus mati dan menderita. Memahami dunia konflik akan membawa pada kompleks dari mobilisasi berbagai sumber daya konflik, seperti ideology, massa kekerasan, dan militer. Bukankah ini tampak mengerikan? Negara bangsa hidup dalam dunia konflik yang tak berkesudahan, konflik separatism, komunal etnoreligius, politik, dan identitas. Konflik adalah mesin pembentuk sejarah masyarakat manusia dan pencipta peradaban berbagai Negara bangsa sampai detik Negara modern termuda Republik Timor Leste dilahirkan pada abad ini. Eksistensi Negara bangsa tumbuh dan bertahan dalam narasi konflik yang menjadi hukum sejarah dan fakta sosial.

       Studi konflik telah dimulai semenjak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disiplin ilmu sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional. Akan tetapi studi ini, menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui berbagai peristiwa konflik kekerasan baikdalam dimensi etnis, agama, dan separatism pasca kekuasaan Orba (Orde Baru)

Konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik.

Teori Konflik

Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memiliki fungsi positif(George simel. 1918; Lewis Coser, 1957)

Sedangkan yang dimaksud dengan Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

1. Asumsi Dasar

    Teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri,

menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.

 

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan.

Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.

2. Konflik Non-Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Teori-Teori Konflik Masa Kini

         Para penulis pendekatan konflik masa kini melihat perilaku kriminal sebagai suatu refleksi dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan/ penyimpangan. Ada sebagian pemikir konflik kontemporer yang mendefinisikan kriminalitas sebagai suatu fungsi dari posisi kelas sosial. Karena kelompok elit dan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan memiliki kepentingan yang berbeda, apapun keuntungan dari kelompok elit akan bekerja melawan kepentingan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, tidak mengejutkan apabila data dan catatan resmi tentang angka kejahatan di kantor polisi secara mendasar lebih tinggi pada kelas bawah dibandingkan kelas-kelas yang memiliki hak-hak khusus. Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindak rasional. Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal dalam masyarakat kapitalis. Teori-teori konflik menganggap kejahatan sebagai suatu ciri yang tidak dapat diubah dari masyarakat kapitalis. Amerika Serikat adalah satu dari masyarakat kapitalis tingkat tinggi/ lanjut dan angka kejahatan tertinggi di dunia saat ini.

Proposisi dalam Teori Konflik

Untuk lebih memahami adanya konflik sosial, ada beberapa proposisi yang perlu dipahami, yaitu:

1. Semakin tidak merata distribusi sumber-sumber di dalam suatu sistem, akan semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan atau lemah.

2. Segmen-segmen yang lebih lemah (subordinate) semakin menyadari akan kepentingan kepentingan kolektif mereka

maka akan semakin besar kemungkinannya mereka itu akan mempertanyakan keabsahan distribusi sumber-sumber yang tidak merata.

3. Segmen-segmen yang lemah dalam suatu sistem semakin sadar akan kepentingan-kepentinagn kelompok mereka maka semakin besar kemungkinan mereka mempersalahkan keabsahan distribusi sumber-sumber dan semakin besar pula kemungkinannya mereka mengorganisir untuk memulai konflik secara terang-terangan terhadap segmen-segmen dominan suatu sistem.

4. Apabila segmen-segmen subordinate semakin sipersatukan oleh keyakinan umum dan semakin berkembang struktur kepemimpinan politik mereka, maka segmen-segmen dominan dan segmen-segmen yang dikuasai yang lebih lemah akan terpolarisasi.

6. Tahapan-Tahapan Konflik

Perkembangan konflik biasanya melewati tiga tahapan, yaitu:

1. Latent Tension (unreal conflict), konflik masih dalam bentuk kesalahpahaman antara satu dengan lainnya, tetapi anatara pihak yang bertentangan belum terlibat dalam konflik.

2. Nescent Confilct, konflik mulai tampak dalam bentuk pertentangan meskipun belum menyertakan ungkapan-ungkapan ideologis dan pemetaan terhadap pihak lawan secara terorganisir.

3. Intensified Conflict, konflik berkembang dalam bentuk yang terbuka disertai dengan radikalisasi gerakan di antara pihak yang saling bertentangan dan masuknya pihak ketiga ke dalam arena konflik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Susan, Novri. 2010. Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini