Senin, 13 Mei 2013

Vivih Rahmawati_tugas laporan ekoman pencemaran lingkungan di bangka belitung_PMI 6

Nama              : Vivih Rahmawati

Jurusan          : Pengembangan Masyarakat Islam

Tugas              : Ekologi Manusia

(Godaan Timah Mengantarkan Bangka Belitung ke Jurang Keancuran)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Pembangunan memerlukan sumber daya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah satu sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia adalah biji timah dengan kandungan stannum (Sn). Menurut Noer dalam Ismed(2010), kasiterit (SnO) adalah mineral utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Endapan timah di Indonesia  merupakan salah satu rangkaian jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka, Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata. Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT. Timah Tbk dalam Ismed.2010). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang.

Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Sampai dengan tahun 2009, luas total kuasa penambangan (KP) timah di Pulau Bangka 374.057,59 ha atau sekitar 35% dari luas daratan Pulau Bangka. Dari luas izin penambangan tersebut, 330.664,09 ha dimiliki PT. Tambang Timah dan 41.680,30 ha PT. Koba Tin (www. babelprov.go. id) dan sisanya dimiliki perusahaan swasta lain dan tambang rakyat. Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha (Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dalam Ismed 2010).[i]


BAB II

PEMBAHASAN

 

v Pengertian Pertambangan

Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas). Sektor pertambangan, khususnya pertambangan umum, menjadi isu yang menarik khususnya setelah Orde Baru mulai mengusahakan sektor ini secara gencar. Pada awal Orde Baru, pemerintahan saat itu memerlukan dana yang besar untuk kegiatan pembangunan, di satu sisi tabungan pemerintah relatif kecil, sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah mengundang investor-investor asing untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya di Indonesia.[ii]

Bangka Belitung (BaBel), sepertinya layak untuk mendapatkan perhatian besar dari semua pihak mengingat kondisi hutan dikepulauan sungguh memperihatinkan. Kerusakan hutan disebabkan baik oleh pembalakan liar (illegang logging), penyalahgunaan izin HPH, pembabatan hutan untuk aktifitas industri (perkebunan, pertambangan), hingga rusaknya hutan oleh aktifitas penambangan timah inkonvensional, termasuk penambangan yang memegang izin Kuasa Pertambangan (KP) yang tidak jarang berstatus fiktif.

Dari luas kawasan hutan di provinsi tersebut sekitar 500 ribu Hektar, lebih dari setengahnya dalam kondisi rusak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (MP-LHL) dinas kehutanan Provinsi Bangka Belitung Oktober 2004, sebanyak 55% hutan rusak, 30% diantaranya dalam kondisi sangat kritis, dan sisanya dalam kondisi kritis. Berdasarkan pengamatan dinas kehutanan setempat, kontributor rusaknya hutan lebih banyak disebabkan oleh penambangan timah yang dilakukan secara setampangan selain adanya praktik penebangan liar.

Menurut kepala Dinas Kehutanan Provinsi Babel Sudianto, Kerusakan lahan akibat penambangan ini membutuhkan biaya dan waktu yang lama untuk pemulihan, paling tidak dibutuhkan waktu 150 tahun agar bisa digunakan untuk tanaman. Parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di babel bisa dilihat dari polusi yang mencemari sungai-sungai dikawasan tersebut, termasuk terjadi pendangkalan di banyak aliran sungai. Sehingga dapat menyebabkan gundulnya hutan-hutan dibabel, ketika turun hujan tidak mampu lagi menahan curah hujan dan menyebabkan lumpur dari daerah hulu terbawa arus air dan terjadi pendangkalan di dasar sungai. Lebih memprihatinkan lagi, hampir setiap hari terjadi longsor di lokasi-lokasi penambangan timah illegal dan menyebabkan jatuh korban, baik meninggal maupun luka-luka.

Para penambang inkonvensional yang dalam prakteknya banyak dibekingi oleh oknum-oknum penguasa dan para cukong tidak pernah menyadari bahwa kegiatan penambangan yang mereka lakukan dapat berakibat buruk terhadap kondisi lingkungan setempat, dan bisa berlangsung lama. Saat ini jumlah penambangan timah inkonvensional di Babel mencapai ribuan. Mereka bukan lagi sebagai penambang tradisional seperti praktik-praktik sebelumnya, tetapi sudah berkembang menjadi penambang semi modern/inkonvensional dengan menggunakan alat-alat berat seperti eskapator yang dimodali oleh para cukong, dan hasil tambang mereka ditampung oleh perusahaan besar semacam PT Kobatin untuk kemudian diekspor keluar negeri.

Untuk mencegah dampak yang lebih parah, Gubernur Provinsi Babel menertibkan bahkan menutup smelter-smelter yang tidak memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). "Langkah ini sebagai komitmen untuk menjaga lingkungan hidup, juga merupakan janji untuk melaksanakan kegiatan dengan baik tanpa merugikan kepentingan umum." Jelas Gubernur Provinsi Babel Drs. HA Hudarni Rani, SH.[iii]

Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis semi modern, yang biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi biasanya disebut Tambang Rakyat (TR). Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan. Pada awalnya TI "dipelihara" oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT. Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir timah. Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.

Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan (KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan di luar KP PT. Tambang Timah.

 

v  Dampak Penambangan Timah di Kepulauan Bangka Belitung

Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu. Di Babel paling tidak ada 22 pabrik smelter (peleburan timah) namun hanya sebagian kesil yang memeiliki izin operasi. Padahal sebagai besar sudah melakukan ujicoba bahkan sudah mulai produksi.

 

1.      Lubang Tambang

Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.

2.      Air Asam Tambang

Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

3.      Tailing

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.  Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.

4.      Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!

Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.

Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah.

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi.[iv]

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Keterbatasan informasi yang dimiliki masyarakat dan ketidaksadaran para pemilik smelter sehingga mengabaikan ketentuan perizinan yang memenuhi syarat lingkungan, baik Amdal maupun peraturan daerah yang berhubungan dengan penambangan dan lingkungan hidup, mengakibatkan praktik penambangan timah di di babel menimbulkan dampak serius. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka akan mengancam lingkungan dan masyarakat setempat. Apalagi masyarakat setempat masih banyak mengandalkan air sungia untuk mandi dan mencuci. Kelompok inilah yang paling rawan terkena dampak limbah pabrik peleburan timah (mineral ikutan) yang seringkali secara sembrono dibuang ke sungai tanpa terlebih dahulu di treatment dengan baik sehingga aman bagi lingkungan.

Menurut Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bangka Selata, Evan Sandy Maulana, "Penambangan bijih timah yang dilakukan warga dan perusahaan swasta sebagai pemicu utama rusaknya hutan lindung." Kawasan hutan lindung tersebut sudah penuh lubang bekas penambangan bijih timah, mengancam flora dan fauna yang hidup di kawasan tersebut. Kawasan hutan lindung yang kritis tersebut tidak bisa lagi ditanami karena tanah di kawasan hutan sudah berubah menjadi hamparan pasir, lumpur bercampur limbah penambangan dan pencemar lainnya.

Pemerintah daerah, berusaha mengurangi kerusakan hutan lindung dengan meningkatkan pengawasan dan penindakan serta berusaha menghijaukan kawasan yang masih bisa ditanami. Selain itu, pemerintah daerah juga meminta masyarakat ikut menjaga kelestarian hutan dengan tidak lagi menambang timah, menebangi pohon dan berladang di kawasan hutan lindung. Saat ini kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan masih rendah, apalagi penambangan bijih timah skala besar yang dikelola swasta sulit untuk tindak karena mereka ada backing oknum aparat menjaga kawasan tambang. Kami sulit mengambil tindakan kepada penambang yang dikelola warga dan apabila dipaksakan terjadi bentrokan fisik antara penambang dengan petugas, karena mereka menilai penertiban hanya dilakukan pada penambangan yang dilakukan warga, sementara penambanganswasta tidak.[v]

Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini