Karl Marx
1. Konflik Kelas
Menurut Karl Marx kelas selalu di definisikan berdasarkan potensinya terhadap konflik. Individu-individu membentuk kelas sepanjang mereka berada di dalam suatu konflik biasa dengan individu-undividu yang lain tentang nilai-surplus. Didalam kapitalisme terdapat konflik kepentingan yang inheren antara orang yang member upah para buruh dan para buruh yang kerja mereka di ubah kembali menjadi nilai-surplus. Konflik inheren inilah yang membentuk kelas-kelas (Oliman, 1976).
Sebelum mengidentifikasi sebuah kelas, diperlukan suatu teori tentang dimana suatu konflik berpotensi terjadi dalam sebuah masyarakat. Marx mengakui bahwa konflik kelas sering disebabkan oleh bentuk-bentuk lain dari stratifikasi, seperti etnis, ras, gender, dan agama. Bagaimanapun dia tidak menerima hal ini sebagai suatu yang utama.
Bagi Marx sebuah kelas benar-benar eksis hanya ketika orang menyadari kalau dia sedang berkonflik dengan kelas-kelas yang lain. Tanpa kesadaran ini mereka hanya akan membentuk apa yang di sebut Marx dengan suatu kelas di dalam dirinya. Ketika mereka menyadari konflik, maka mereka menjada suatu kelas yang sebenarnya, suatu kelas untuk dirinya.
Ada dua macam kelas yang di temukan Marx ketika menganalisis kapitalisme: borjuis dan proletar. Walaupun karya teoritisnya utamanya memerhatikan dua kelas ini, studi-studi historisnya menguji sejumlah formasi kelas. Yang paling penting adalah kelas borjuis bawahan- pengusaha-pengusaha took kecil yang memperkerjakan sedikit pekerja- dan lmpenproletariat- plotariat yang siap menjual habis kepada kapitalis. Bagi Marx, kelas-kelas yang lain ini hanya bisa dipahami didalam term-term hubungan-hubungan mendasar antara borjuis dan proletariat.
2. Ideologi
Sebagaimana halnya dengan istilah-istilahnya yang lain, Marx tidak selalu persis tantang penggunaan kata ideologi. Dia menggunakan kata tersebut untuk menunjukan bentuk ide-ide yang berhubungan. Pertama, ideologi merujuk kepada ide-ide yang secara alamiah muncul setiap saat di dalam kapitalisme, akan tetapi yang, karena hakekatnya kapitalisme, merefleksikan realitas di dalam suatu cara yang terbalik (Larrain, 1979). Inilah tipe ideologi yang di representasikan oleh fetisisme komoditas oleh uang. Walaupun pada hakikatnya kitalah yang member nilai pada uang tersebut, akan tetapi yang sering terlihat adalah bahwa uanglah yang member kita nilai.
Tipe ideology ini mudah terganggu karena didasarkan pada kontradiksi-kontradiksi material yang mendasarinya. Dan ketika gangguan-gangguan muncul dan kontradiksi-kontradiksi material mndasar terungkap, tipe kedua idelogi akan muncul. Di sini Marx menggunakan istilah ideologi untuk merujuk kepada sistem-sistem aturan ide-ide yang sekali lagi berusaha menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang berada pada di pusat sistem kapitalis. Pada kebanyakan kasus, mereka melakukan hal ini dengan salah satu dari tiga cara berikut:
a) Merka menghadirkan suatu sistem ide-sistem agama, filsafat, literatur, hukum-yang menjadikan kontradiksi-kontradiksi tampak koheren.
b) Mereka menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi, biasanya sebagai problem-problem personal atau keanehan-keanehan individual.
c) Mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis sebagai yang benar-benar mennjadi suatu kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh perubahan social.
3. Agama
Marx juga melihat agama sebagai sebuah ideology. Dia menunjuk pada agama sebagai suatu candu masyarakat. Kesukaran agama-agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan juga protes melawan kesukaran yang sebenarnya. Agama napas lega makhluk yang tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati, spiritnya kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat.
Marx percaya bahwa agama, seperti halnya ideology, merefleksikan suatu kebenaran namun terbalik. Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama. Marxdengan jelas menyatakan bahwa dia tidak menolak agama, pada hakikatya, melainkan menolak suatu sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama,
Marx merasa bahwa agama khususnya menjadi bentuk kedua idiologi dengan menggambarkan ketidakadilan kapitalisme sebagai sebuah ujian bagi keyakinan dan mendorong perubahan revolisioner ke akhirat. Dengan cara ini, teriakan orang-orang tertindas justru digunakan untuk penindasan selanjutnya.
4. Mode Produksi
Menurut Karl Marx di dalam produksi sosial eksistensi manusia menjalin hubungan tertentu, yang dibutuhkan dan bebas sesuai keinginan mereka, hubungan-hubungan produksi ini berkaitan dengan level tertentu terkait dengan perkembangan tenaga produksi material. Keseluruhan hubungan ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, sebagai fondasi rill yang menjadi dasar berdirinya bangunan yuridis dan politik, dan sebagai jawaban atas bentuk-bentuk tertentu dalam kesadaran sosial. Cara produksi dalam kehidupan material pada umumnya mendominasi perkembangan kehidupan sosial, politik dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, namun sebaliknya, eksistensi sosial mereka menetukan kesadaran tersebut.
Pada taraf perkembangan tertentu tenaga kerja produksi material dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, mulailah era revolusi sosial. Perubahan dalam fondasi ekonomi disertai dengan kekacauan dalam kondisi-kondisi produksi ekonomi. Namun ada juga bentuk-bentuk yuridis, politik, religious, aristik dan filosofis. Pendeknya bentuk-bentuk ideologis tempat manusia didalamnya memperoleh kesadaran akan adanya konflik itu dan akan mendorongnya hingga keujung akhir. Jika direduksi hingga ke garis-garis besarnya maka cara produksi Asia, kuno, feudal, dan borjuis tampak sebagai zaman progresif terbentuknya ekonomi dalam masyarakat. Hubungan-hubungan produksi model borjuis adalah bentuk antagonis terakhir dalam proses sosial produksi. Masa pra sejarah kemanusiaan berakhir dengan sistem sosial ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar