Senin, 15 April 2013

Teori Idealis (Pendekatan Isi/Konten)_Arif Priyadi_Pertemuan ke 4

TEORI IDEALIS (PENDEKTAN ISI/KONTEN)
ARIF PRIYADI (109051000175)
KPI 6 F

Teori idealis

Secara popular sebenarnya idealisme selain merujuk pada tingkah laku manusia, juga menunjukan kcenderungan kepada tingkah laku manusia, juga menunjukan kecenderungan pada kerangka berpikir optimis. Orang yang memimpikan masa depan yang lebih baik, yang melihat sisi baiknya pada setiap pandangan dari selalu besar hati dalam menghadapi kesulitan inilah yang dikategorikan sebagai seorang yang "idealis". Secara popular pula, idealisme tidak memerlukan ini – dengan melihat sikap manusia – walaupun banyak filosof  idealis yang mempertahankannya. Idealisme, merujuk pada pandangan baru bahwa realitas itu sendiri berada dalam alam ide-ide itu yang paling signifikan.[1]

Idealisme telah berperan banyak dalam sejarah pemikiran barat, idealisme ini terilhami dari tradisi Yunani kuno yang tersimpul dalam filsafat Plato dari Aristoteles. Doktrin Plato tentang ide sangat mempengaruhi bahwa alam ide merupakan satu-satunya alam atau realitas yang ada dan benar. Segala sesuatu yang ada dan muncul merupakan hasil dari alam ide atau melalui partisipasinya dalam ide tersebut. Dunia benda-benda akan mengalami perubahan, tetapi ide tetap sama. Termasuk perilaku manusia, setiap manusia akan mati dan berakhir, dan manusia akan bermuara pada tujuan. Keberakhiran ini hanya ada dalam realisasi pemikiran ketika mengenali benda-benda, akan tetapi hal yang tidak berubah adalah alam "ide". Inilah teori Plato, pemikirannya mengenai alam ide diterima oleh semua orang. Plato dari Aristo berpendapat bahwa hanya pikiran yang paling hakikat dan esensial dan tidak dapat berubah.[2]

Tradisi idealistik yang diekspresikan Plato dan Aristoteles menjadi sesuatu yang sangat dominan dalam alam pikiran yunani. Dari itu mereka membentuk dasar-dasar teologi pada abad pertengahanyang dipelopori pertama kali oleh Platinus yang melahirkan  Neo-Platonisme, kemudian pada dasar-dasar merafisika aristotalian. Teologi idealisme pada abad pertengahan mempertajam perbedaan antara alam akhirat dari dunia. Bermacam aktivitas manusia menjadi sebuah perjalanan panjang yang tak berujung dan tiada henti. Sumber akhir dari realitas adalah ide dalam pikiran tuhan. Bentuk modern dari idealisme muncul dengan jelas dalam kecenderungan teologi filsafat Leibnitz, misalnya meyakini dunia yang sangat kompleks dari manusia-manusia nomad. Dimikian juga dengan jiwa manusia. Ia adalah nomad tunggal yang tidak berdiri sendiri di alam yang tidak terbentuk begitu saja. Kita harus mengansumsikan ketidakmenentuan jenis keberadaan yang ditemukan dalam diri kita. Hukum kontinuitas untuk Leibnitz didasarkan pada alasan-alasan mendasar yang dianggap memadai. Keadaan alam ini hanya bisa dijelaskan dalam istilah bentuk yang tidak jelas dari dalam kehidupan fisik.[3]

Idealitas subjektif
Idealisme pada zaman kuno dapat digambarkan sebagai "idealisme transenden" sejak idealisme kuno ini menempatkan ide dalam dunia bawah sadar, "idealisme subjektif", yang cenderung  merelokasi ide pada inti pengalaman. Para filosof sejak Locke cenderung menjadikan pengalaman sebagai titik awal untuk menganalisis dunia dari pikiran. Pengalaman diyakini menunjukan kekayaan yang dimiliki masing-masing ada beberapa kualitas seperti berat, panjang, keberadaan dalam waktu, hal-hal tersebut merupakan realitas yang dimiliki benda-benda; ada lagi kualitas lain seperti aroma, warna dari lain-lain, hal ini merupakan sesuatu yang sangat subjektif.[4]

Idealisme Objektif
Idealisme subjektif dikembangkan oleh Leibnitz dari Berkeley. Sementara ini bentuk modern dari "idealisme objektif" muncul dalam pemikiran Hegel. Hegel berpandangan bahwa keyakinan yang bisa berkembang menjadi pemikiran spekulatif secara bertahap. Keyakinan individu ini merupakan perkembangan spirit dunia sejarah itu sendiri dan merupakan bentukan dari keyakinan manusia.[5]

Idealisme Irrasional
Bentuk idealisme ini berkembang pada abad ke 19, sejenis idealisme negatif atau idealisme irrasional. Idealistiknya terletak dalam basis dunia rasa diyakini setelah adanya perasaan dari keinginan manusia. Schopenhauer berpendapat bahwa perubahan dunia yang demikian cepat berhubungan dengan perubahan dalam tubuh kita. Ruang, waktu, sebab akibat adalah cara yang bervariasi dimana perasaan yang cepat diberikan dengan lengkap. Meski sains berhubungan erat dengan dunia, sains tidak dapat berbuat apa-apa selain menghadirkan penjelasan fenomena.

Intinya, Schopenhauer yakin bahwa dunia sebagai ide hanyalah sebuah manifestasi  permukaan sebuah tingkat supervisial keberadaan yang bersifat relatif. Keinginan adalah esensi inti dari manusia seperti ruang atau isi dalam sebuah benda. Keinginan inilah yang membuat manusia berjuang, mampu mengalami hal-hal "indah", "rasa sakit", "harapan", "rasa takut", "cinta", dan "damai" sebagai aspek dunia yang paling penting. Hal-hal ini hanyalah variasi bentuk perbedaan dari keinginan untuk hidup, dimana alam dimanifestaikan sebagai kekuatan yang kasar.[6]  



DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Wardi. 2006. SOSIOLOGI KLASIK. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.     


[1] Wa rdi Bachtiar, SOSIOLOGI KLASIK (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2006) , h. 47.
[2] Ibid., h. 48.                      
[3] Ibid.
[4] Ibid., h. 48-49.
[5] Ibid., h. 49.
[6] Ibid., h. 49-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini