Senin, 15 April 2013

Teori kritis_Esti Nurhayati_Tugas4

TEORI KRITIS
Esti Nurhayati (109051000003)
Tradisi kritis berasal dari pemikiran Karl Marx dan Frederich Engels yang disebut "Marxisme". Untuk memahami tradisi kritis, ada 3 hal yang esensial yang menjadi ciri khas teori-teori dalam tradisi kritis, yaitu : Tradisi kritis memandang sistem, struktur kekuasaan dan keyakinan  atau ideologi yang mendominasi masyarakat, dengan cara perspektif khusu yaitu kepada siapa kekuasaan berpihak[1].
Tokoh Teori kritis yaitu Max Horkheimer. Teori ini makin ramai diperbincangkan saat ini, tokoh ini dikenal sebagai Direktur pada Institut fur Sozialforschung (institute Penelitian Sosial) di Frankfurt yang didirikan pada tahun 1923. Proyek teori kritis ini adalah pengembangan dari filsafat kritis yang telah dirintis sejak zaman si Hegel dan Karl Marx.
Dalam mengembangkan teori kritis, dia bersama dua kawan lainnya, yaitu Theodor Adorno dan Herbert Marcuse mulai melontarkan kritik-kritik tajam terhadap masyarakat industri maju pada tahun 1960-an. Ketiga tokoh termasyur inilah yang kemudian dikenal sebagai pelopor Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule)
Terdapat enam tema dalam pengembangan teori kritis sebagaimana dirumuskan oleh Habermas,[2] salah satu tokoh mazhab Frankfurt yang brilian, yaitu:
1.       Bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat postliberal
2.       Sosialisasi dan perkembangan ego
3.       Media massa dan kebudayaan massa
4.       Psikologi sosial protes
5.       Teori seni dan
6.       Kritik atas positivesme.
Dengan ke enam tema ini, teori kritis kemudian menjadi popular, apalagi di golongan gerakan yang memang terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran kritis mazhab Frankfurt.
Titik-tolak kritis sejak Horkheimer, adalah masalah positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial harus bebas nilai ( value-free), terlepas dari praktis sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif, dan sebagainya. Anggapan semacam itu mengental menjadi kepercayaan umum bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan yang benar adalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan macam itu hanya dapat diperoleh dengan metode-metode ilmu alam. Anggapan yang disebut saintisme ini kemudian dikritik menyembunyikan dukungan terhadap status quo masyarakat dibalik kedok objektifitas.
Para penyusun teori dalam tradisi kritis secara khusus berkeinginan untuk melawan kondisi sosial dan sytuktur kekuasaan yang tidak "adil" guna membangkitkan emansipasi atau membebaskan masyarakat dari tekanan tersebut.
Ilmu Sosial kritis berusaha membangun kesadaran sosial melalui teori dan aksi secara jelas memunculkan sifat normatif dan menggerakkkan perubahan dalam kmondisi masyarakat yang ada. Sehingga teori-teori kritis kebanyakan memberi perhatian dan berpihak kepada kelompok-kelompok yang termarginalkan.
Teori komunikasi feminisme Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi. Dia mengemukakan asumsi-asumsi dasar dari teori ini sebagai berikut [3]:
Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja. Karena dominasi politiknya, sistem persepsi laki-laki menjadi dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternatif perempuan. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus menguah perspektif mereka ke dalam sistem ekspresi yang dapat diterima laki-laki.
Perempuan lebih banyak  mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri dibanding laki-laki. Ekspresi perempuan biasanya kekurangan kata untuk pengalaman yang feminim, karena laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.
Perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki daripada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal :  Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut, perempuan lebih sering menjadi obyek dari pengalaman  daripada laki-laki, laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas. Jadi perempuan harus mempelajari sistem komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-aki mengisolasi dirinyadari sistem perempuan.



[1] Littlejohn, Stephen, 2002, Theories Of Human Communication, Wadsworth, Belmont
[3] Eriyanto,2003,  Analisis Wacana – Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta : LKIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini