SOSIOLOGI PERKOTAAN
Masalah Perkotaan Dalam Perspektif Analisis Struktural
Disusun oleh:
Arif Rahman Hadi (1112054000026)
Dosen :
Tantan Hermansyah M.Si
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
A. Kehidupan Kota Dan Permasalahannya
Pengertian kota secara sosiologis didefinisikan sebagai tempat pemukiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial heterogen ( De Goede, dalam Sarlito 1992: 40). Di sisi lain, Bintarto (1989:34) menyatakan bahwa dari segi geografis, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Menurut ketentuan formal seperti yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 tahun 1987, disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan kota.
Selanjutnya Max Weber dalam Sarlito (1992: 21) mengemukakan ciri-ciri khas suatu kota sebagai berikut :
1. Ada batas-batas kota yang tegas
2. Mempunyai pasar
3. Ada pengadilan sendiri dan mempunyai undang-undang yang khusus berlaku bagi kota itu, disamping undang-undang yang berlaku lebih umum.
4. Terdapat berbagai bentuk perkumpulan dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat di kota itu sendiri.
5. Masyarakatnya mempunyai otonomi tertentu dengan adanya hak mereka untuk memilih walikota dan anggota-anggota dewan kota.
Dari ungkapan di atas bisa dibuat suatu batasan yang lebih khusus, bahwa suatu kota merupakan :
1. Tempat pusat pemukiman dan kegiatan penduduk
2. Tempat dengan kepadatan penduduk tinggi
3. Mempunyai watak dan corak heterogen
4. Mempunyai ciri khas kehidupan kota.
5. Mempunyai batas wilayah administrasi
6. Mempunyai hak otonomi
Kota menurut hirarkhi besarannya menurut NUDS (National Urban Development Strategy),(1985) dapat diamati melalui jumlah penduduk yang tinggal dan beraktivitas dikawasan tersebut, yang menurut sumber tersebut bisa dibagi dalam 5 tingkatan:
1. Kota Metropolitan, penduduk> 1.000.000
2. Kota Besar, penduduk 500.000 – 1.000.000
3. Kota Menengah, penduduk 100.000 – 500.000
4. Kota Kecil A, penduduk 50.000 – 100.000
5. Kota Kecil B, penduduk 20.000 – 50.000
Dari pengertian-pengertian, batasan dan hirarkhi tersebut terlihat bahwa kota dengan berbagai heterogenitasnya, menyimpan berbagi permasalahan, yang di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Sarlito (1992: 22):
Pada umumnya kota diasosiasikan dengan pengangguran, kemiskinan, polusi, kebisingan, ketegangan mental, kriminalitas, kenakalan remaja, seksualitas dan sebagainya. Bukan hanya dalam hal lingkungan fisik kota itu saja yang tidak menyenangkan tetapi juga dalam lingkungan sosialnya.
Selanjutnya Bintarto (1989: 36) mengatakan bahwa kemunduran lingkungan kota yang juga dikenal dengan istilah "Urban Environment Degradation" pada saat ini sudah meluas di berbagai kota di dunia, sedangkan di beberapa kota di Indonesia sudah nampak adanya gejala yang membahayakan. Kemunduran atau kerusakan lingkungan kota tersebut dapat dilihat dari dua aspek:
1. Dari aspek fisis, (environmental degradation of physical nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan dari unsur-unsur alam, misalnya pencemaran air, udara dan seterusnya.
2. Dari aspek sosial-masyarakat (environmental degradation of societal nature), yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusianya sendiri yang menimbulkan kehidupan yang tidak tenang, tidak nyaman dan tidak tenteram.
Di samping kenyataan tersebut, kehidupan kota yang selalu dinamis berkembang dengan segala fasilitasnya yang serba gemerlapan, lengkap dan menarik serta "menjanjikan" tetap saja menjadi suatu "pull factor" yang menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di kota harus mempunyai starategi, yaitu: bagaimana bisa memanfaatkan dan menikmati segala fasilitas yang serba menjanjikan tersebut namun juga bisa mengatasi tantangan dan permasalahan yang ada di dalamnya.
Hal di atas sesuai dengan pernyataan Sarlito (1992: 46) bahwa penyebab utama terjadinya perkembangan kota adalah berkembangnya kehidupan industri di dalamnya. Konotasi "kehidupan industri" adalah dibutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Hal inilah yang banyak memberi dan mewarnai harapan orang untuk selalu mencari kehidupan di kota. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dicatat pendapat Schoori (1980), bahwa ada satu ciri sentral dari kehidupan masyarakat industri, yaitu sumber kekuatannya yang bersendi pada penemuan dan pemanfaatan sumber energi baru yang diperoleh dalam jumlah terbatas, yang memaksanya untuk melakukan pekerjaan secara besar-besaran. Makna yang terkandung dari ungkapan tersebut adalah adanya pekerjaan dalam skala besar (mass product) yang tentunya membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, dan adanya iklim persaingan yang cukup tinggi
B. Dua Kelompok Masyarakat Kota
Manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok, hidup di dalam dan bersama lingkungannya. Dari hubungan yang erat dan bersifat timbal balik, manusia menyesuaikan diri, memelihara serta mengelola lingkungannya. Dari hasil hubungan yang dinamik antara manusia dengan lingkungannya tersebut timbul suatu aktivitas yang menimbulkan beberapa perubahan yang menyangkut perubahan terhadap wadah/lingkungannya atau terhadap manusia pelaku kegiatan tersebut.
Kehidupan kota yang cenderung bersifat kompetitif, egosentris, hubungan atas dasar kepentingan ekonomi, sangat mempengaruhi tata nilai di dalam kehidupan dan hubungan sosial masyarakatnya. Tata nilai disini meliputi perilaku, sikap hidup, pola berpikir dan budaya. Kehidupan kota yang bersifat kompetitif dengan berlahan-lahan akan membagi kondisi masyarakat kota menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Kelompok yang menang dalam kompetisi tersebut, atau juga bisa diartikan sebagai kelompok yang selalu sibuk dan dipenuhi dengan tugas-tugas yang cukup banyak, sehingga cenderung overload di dalam menerima rangsangan-rangsangan kehidupan kota. Kondisi tersebut akan menimbulkan tingkah laku dan sikap tidak acuh pada hal-hal yang dianggap bukan menjadi urusan dan tanggung jawabnya. (teori Over Load/Environmental Load, Cohen & Milgram). Disamping itu konotasi kesibukan dan tugas-tugas yang cukup banyak adalah tercukupi bahkan melimpahnya fasilitas atau harta yang didapatkan.
2. Kelompok yang tidak memenangkan kompetisi, termasuk di dalamnya kelompok yang merasa kelebihan waktu karena tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan (cenderung underload), sehingga merasakan kesepian dan kesendirian, merasa kurang diperhatikan dan dihargai. Kondisi tersebut akan meninmbulkan tingkah laku agresif, vandalisme dan kompesentif. (teori Understimulation, Zubek)
C. Perilaku Individualis sebagai Akibat Sifat Kehidupan Kota
Bintarto (1989: 54) mengatakan, bahwa kesibukan setiap warga kota dalam tempo yang cukup tinggi dapat mengurangi perhatian terhadap sesamanya. Apabila hal ini berlebihan akan menimbulkan sifat acuh tak acuh atau kurang mempunyai toleransi sosial.
Dengan adanya fenomena di atas dan melihat sifat kehidupan kota yang cenderung kepada kondisi: 1) heterogenitas, jumlah dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, 2) sifat kompetitif, egosentris dan hubungan personal berdasarkan kepentingan pribadi dan keuntungan secara ekonomi, masyarakat kota cenderung menyikapi kondisi tersebut dengan cara:
1. Hanya saling mengenal terutama dalam satu peranannya saja, misalnya sebagai kondektur, penjaga toko dan sebagainya. Oleh karena itu juga dikatakan bahwa sifat hubungan-personal masyarakat kota tidak bersifat primer, namun lebih bersifat sekunder (berdasarkan peran dan atributnya).
2. Melindungi diri sendiri secara berlebihan agar tidak terjadi terlalu banyak hubungan-hubungan yang sifatnya pribadi, mengingat konsekuensi waktu, tenaga dan biaya. Orang kota juga harus melindungi dan membatasi diri terhadap relasi yang dianggap potensial membahayakan baginya. Akibatnya ialah seringnya terjadi kontak personal yang ditandai oleh semacam reserve, acuh tak acuh dan kecurigaan.
3. Cenderung mengadakan kontak, personal bukan dengan keinginan yang berlandaskan kepentingan bersama, namun kebanyakan hubungan itu hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing individu.
D. Perwujudan Perilaku Individualis Masyarakat Kota
Perilaku Individualis pada masyarakat kota secara umum bisa dibedakan dalam 2 aspek, yaitu perwujudan dalam ungkapan fisik (spasial, material dan bentuk), serta perwujudan dalam sikap dan perilakunya. Kedua aspek tersebut bersama-sama mengupayakan suatu "pertahanan" atau "perlawanan" terhadap kondisi kehidupan kota.
Peran Pendidikan Sosial (Social Education) Untuk Merubah Sikap Dan Perilaku Masyarakat Kota
Secara umum pendidikan merupakan suatu upaya yang berkaitan dengan pengembangan dan pembinaan kepribadian manusia. Dengan demikian peran pendidikan secara luas dimaksudkan untuk dapat mengubah kepribadian manusia, yang pada muaranya adalah perubahan pada sikap dan perilaku manusia pada umumnya. Perubahan di sini berupa perbaikan dan peningkatan kualitas perilaku sosial, yang akan meningkatkan kualitas lingkungan komunitas atau masyarakat luas.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan pada masyarakat kota, yang cenderung kurang dapat menyesuaikan diri dan individualistis, sangat diperlukan adanya sarana guna merubah kondisi tersebut, yaitu perlunya pendidikan sosial bagi para penghuni maupun calon penghuni kota. Pengertian umum "pendidikan sosial" yaitu suatu upaya memberikan bekal dan wawasan berupa konsep penyesuaian diri sebagaimana dikemukakan Cole (1953), yang salah satunya mencakup dimensi perkembangan sosial. Pada dimensi perkembangan sosial tersebut, di antaranya disebutkan: 1) mampu mengembangkan potensinya tanpa menimbulkan benturan baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat lingkungannya, 2) hubungan diri sendiri dengan orang lain tanpa merugikan dan melanggar hak-hak orang lain.
Realisasi logis dan konsep Cole di atas adalah suatu struktur masyarakat kota yang saling membutuhkan dan saling menghargai sehingga tercipta kondisi masyarakat kota yang koheren dan solid, walaupun dalam kondisi heterogen. Dan uraian tersebut, maka pihak yang sangat berpeluang untuk proaktif menerapkan konsep tersebut adalah pihak yang masuk dalam kategori "pemenang" (yang cenderung "overload") dalam kompetisi kehidupan kota. Realisasi yang lebih konkrit terhadap konsep tersebut adalah spesialisasi keahlian antar anggota masyarakat, sehingga timbul adanya kondisi saling membutuhkan dan ketergantungan pada masing-masing komunitas masyarakat kota.
E. Contoh Yang Terjadi Dalam permasalahan Kota
1. Arus urbanisasi yang cepat
2. Kriminalitas meningkatnya sektor informaldisparitas pendapatan antar penduduk perkotaan (kesenjangan sosial)
3. Meningkatnya kemacetan
4. Pencemaran lingkunganjumlah anak jalanan, gelandangan dan pengemis (gepeng) yang makin banyak.
5. Hilangnya ruang publik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar