EMILE DURKHEIM
1) Suicide (bunuh diri)
Studi tentang bunuh diri diambil oleh Durkheim dan pengikutnya sebagai bukti bahwa sosiologi punya tempat yang sah dalam ilmu sosial. Dan dia juga berpendapat bahwa sosiologi bisa menjelaskan sifat individualistis sebuah tindakan misalnya saja bunuh diri. Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relatif merupakan fenomena konkret dan spesifik dimana tersedia data secara nyata.
Dalam studinya ini Durkheim tidak terlalu fokus mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri (karena merupakan masalah yang dibahas dalam psikologi). Ia lebih tertarik kepada penjelasan perbedaan angka bunuh diri lebih dari suatu kelompok dengan kelompok lain.
Untuk mendapatkan hasil data dari perbandingan penilitiannya tersebut Durkheim menggunakan berbagai macam variasi situasi sosial diantaranya metode statistik dan komparatif. Ia berpegang pada metode variasi yang terjadi pada waktu yang sama dimulai dengan membangun rangkaian-rangkaian mulai dari peristiwa yang harus terseleksi dan memisahkan sejumlah variabel berupa umur, seks, situasi sipil, keanggotaan pada suatu agama, dan tinggkat pendidikan yang dibandingkan dengan angka kematian.
A. Empat jenis bunuh diri
Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat lebih jelas jika mencermati hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya yaitu Integrasi (merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat) dan Regulasi (merujuk pada tingkat paksaan eksternal yang dirasakan individu).
Integrasi | Rendah | Bunuh diri egoistis |
Tinggi | Bunuh diri altruistis | |
Regulasi | Rendah | Bunuh diri anomik |
Tinggi | Bunuh diri fatalistis |
i. Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dikarenakan ditemukannya dalam suatu masyarakat atau suatu kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas sehingga menyebabkan kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus sosial tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Arus sosial yang melindungi dan mengayomi yang lahir dari masyarakat yang padu akan mencegah meluasnya kasus bunuh diri egostis.
ii. Bunuh Diri Altruistis
Bunuh diri altruistis terjadi ketika adanya integrasi sosial sangat kuat. Secara harfiah dijelaskan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Tingginya tingkat bunuh diri altruistis dikarenakan makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia ini. Ketika integrasi melemah, seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat digunakan untuk meneruskan kehidupannya. Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang besar.
iii. Bunuh Diri Anomik
Bunuh Diri Anomik terjadi karena ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu (biasanya disebabkan oleh gangguan faktor ekonomi baik positif berupa peningkatan ekonomi maupun negatif berupa penurunan ekonomi). Perubahan-perubahan semacam ini menempatkan orang dalam situasi diman norma lama tidak lagi berlaku sementara norma baru belum dikembangkan. Periode gangguan inimelapaskan arus anomi (rasa ketercerabutan dari akar dan rasa kehilangan dari norma-norma mengikat) dan arus ini cenderung mempertinggi anka bunuh diri anomik.
iv. Bunuh Diri Fatalistis
Bunuh diri fatalistis terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim (1897/1951:276) menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistis seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas.
2) Rule of Sociologichal Method
Ada lima aturan fundamental dalam metode Durkheim, diantaranya yaitu:
1. Mendefinisikan objek yang dikaji secara objektif
Yang menjadi sasaran ialah sebuah peristiwa sosial yang bisa diamati diluar kesadaran individu. Definisi tidak boleh mengandung prasangka terlepas dari apapun yang kira-kira akan menjadi kesimpulan studi.
2. Memilih satu atau beberapa kriteria yang objektif
Durkheim mempelajari berbagai bentuk solidaritas sosial yang berbeda-beda dari sudut hukum. Begitu pula ia berusaha mencari penyebab tindakan bunuh diri dengan mempergunakan angka kematian akan bunuh diri. Namun masih harus lebih banyak diperhatikan tentang kriteria-kriteria dalam mengajukan analisis tersebut.
3. Menjelaskan kenormalan patologi
Ada beberapa situasi yang bersifat kebetulan dan sementara yang bisa mengacaukan keteraturan peristiwa. Jadi kita harus membedakan situasi-situasi normal yang menjadi dasar kesimpulan teoritis.
4. Menjelaskan masalah sosial secara "sosial"
Sebuah peristiwa sosial tidak hanya bisa dijelaskan lewat keinginan individual yang sadar, namun juga melalui peristiwa atau tindakan sosial sebelumnya.
5. Mempergunakan metode komperatif secara sistematis
Hanya komperativisme terhadap ruang dan waktu yang memungkinkan berbagai hal yang kita bahas diatas berakhir dengan suatu demonstrasi sosiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar