Selasa, 17 September 2013

Labib Faishal Ariq PMI3 _ Tugas 2 _ struktur sosial menurut para sosiolog

1. STRUKTUR SOSIAL

Struktur sosial bagaikan sebuah bangunan yang tersusun dari berbagai bagian yang saling terkait. Perbedaan-perbedaan individu dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh potensi yang ada pada dirinya juga dipengaruhi oleh potensi yang berasal dari luar, yakni lingkungan alam. Perbedaan yang disebabkan oleh faktor fisiografis alam ini meliputi curah hujan, iklim, jenis tanah, kandungan mineral, kondisi tanah, dan lain-lain. Kesemuanya ini juga akan memengaruhi jenis flora dan fauna yang hidup di dalamnya
.
EMILE DURKHEIM

Sedangkan Emile Durkheim berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya melalui proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan kehidupan sosial mereka. Bagi Durkheim walaupun kita mungkin menganggap dapat memilih perilaku tertentu untuk berinteraksi dengan orang lain, dalam realitasnya pilihan sebenarnya sudah disediakan oleh sistem nilai dan sistem norma untuk kita. Durkheim mengungkapkan bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, dimantapkan oleh sosialisasi, yang melalui proses tersebut manusia secara kolektif belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku.

TALCOTT PARSON

Sedangkan menurut Talcott Parsons Struktur Sosial berarti berbicara tentang saling keterkaitan antar institusi, bukan hanya pola hubungan antar individu.

ANTHONY GIDDENS

Anthony Giddens menyatakan bahwa struktur social adalah sumber daya yang bias memberdayakan sekaligus membatasi masyarakatnya. Menurutnya pada masa lalu lebanyakan pandangan tentang struktur social terkonsentrasi pada ciri-ciri yang restriktif dan membatasi. Bagi Giddens hal ini jelas merupakan sebuah kekeliruan dalam memahami bagaimana kekuatan dan struktur beroperasi dalam kehidupan sosial. Memberikan penekanaan pada aspek negatif struktur social sama halnya dengan mengingkari potensi sosial manusia. Hal ini sama saja dengan mengklaim bahwa manusia tidak dapat memberikan penolakan secara refleksif dan tidak bisa menentang alasan ini secara aktif.

NIKLAS LUHMANN

          Strukutur social sebagai kontingensi, Secara sederhana kontigensi bisa diartikan sebagai suatu ketidakniscayaan. Ketidakniscayaan inilah yang memungkinkan setiap ego menjadi bebas. Setiap ego di dalam sistem sosial bisa menentukan pilihannya sendiri dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Akan tetapi, pilihan ego tersebut tidak akan terpenuhi tanpa adanya alter-ego (si yang lain). Alter-ego ini juga bersifat kontigen. Ia bebas menentukan pilihannya dari sekian banyak pilihan.
Artinya terdapat dua kontigensi di dalam sistem sosial. Kontigensi si ego sendiri dan kontigensi yang dimiliki oleh si alter-ego (si yang lain). Kontigensi ganda ini menyebabkan ego dan alter-ego untuk menemukan konsensus, dan ini menggiring pada terjadinya proses komunikasi.Pilihan ego akan menjadi input bagi alter-ego dan sebaliknya pilihan alter-ego pun akan menjadi input bagi ego. Karena ego-ego yang ada di dalam sistem memiliki kontigensi di mana kontigensi ini akan menggiring pada instabilitas. Instabilitas inilah yang memungkinkan sistem untuk selalu mengorganisasikan dirinya sendiri (autopoiesis).
 
2. Struktur Masyarakat Perkotaan
 
Pengertian kota secara sosiologis didefinisikan sebagai tempat pemukiman yang relatif besar, berpenduduk padat dan permanen terdiri dari individu-individu yang secara sosial heterogen. Dari definisi tersebut dapat kita ketahui banyak sekali struktur yang dapat kita jumpai di daerah perkotaan.
 
a.         Segi Demografi
 
            Ekspresi demografi dapat ditemui di kota-kota besar. Kota-kota sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat jasa lainnya menjadi daya tarik bagi penduduk di luar kota. Jenis kelamin dalam hal ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial dipengaruhi oleh proporsi atau perbandingan jenis kelamin. Suatu kenyataan ialah bahwa pada umumnya kota lebih banyak dihuni oleh wanita daripada pria.
 
            Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang lebih tenang. Suasana ini terdapat di daerah-daerah pedesaan atau sub urban.
 
b.        Segi Ekonomi
 
            Struktur kota dari segi ini dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduk atau warga kota. Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
 
c.         Segi Segregasi
 
            Segregasi dapat dianalogkan dengan pemisahan yang dapat menimbulkan berbagai kelompok (clusters), sehingga kita sering mendengar adanya: kompleks perumahan pegawai bank, kompleks perumahan tentara, kompleks pertokoan, kompleks pecinan dan seterusnya. Segregasi ini ditimbulkan karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan tingkat pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainnya, Segregasi menurut mata pencaharian dapat dilihat pada adanya kompleks perumahan pegawai, buruh, industriawan, pedagang dan seterusnya, sedangkan menurut perbedaan strata sosial dapat dilihat adanya kompleks golongan berada. Segregasi ini tidak akan menimbulkan masalah apabila ada saling pengertian, toleransi antara fihak-fihak yang bersangkutan.
 
Segregasi ini dapat disengaja dan dapat pula tidak di sengaja. Disengaja dalam hubungannya dengan perencanaan kota misalnya kompleks bank, pasar dan sebagainya. Segregasi yang tidak disengaja terjadi tanpa perencanaan, tetapi akibat dari masuknya arus penduduk dari luar yang memanfaatkan ruang kota, baik dengan ijin maupun yang tidak dengan ijin dari pemerintahan kota. Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums. Biasanya slums ini merupakan daerah yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan bangunan dan kesehatan.
Adanya segregasi juga dapat disebabkan sewa atau harga tanah yang tidak sama. Daerah-daerah dengan harga tanah yang tinggi akan didiami oleh warga kota yang mampu sedangkan daerah dengan tanah yang murah akan didiami oleh swarga kota yang berpenghasilan sedang atau kecil. Apabila ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku bangsa yang mempunyai kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompleks ini atau clusters semacam ini disebut dengan istilah "natural areas".
 
3. Masalah Perkotaan dalam Perspektif Analisis Struktural
Dari penjelasan tentang struktur social masyarakat perkotaan diatas dapat kita ketahui bahwa akan banyak permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi oleh masyarakat perkotaan, seperti masalah pergaulan, masalah ekonomi, masalah sosial, masalah kriminalitas dan masih banyak sekali masalah-masalah di perkotaan.

Seperti di Indonesia masalah kemiskinan sangatlah parah, Membahas masalah kemiskinan tidak lengkap rasanya jika tidak mendefinisikan dan menganalisa sebenarnya apa yang menjadi standar seseorang dikatakan miskin itu? Untuk membahas pertanyaan dasar tersebut ada baiknya, jika kita meminjam berbagai pendapat beberapa tokoh dalam menganalisa masalah kemiskinan secara struktural ini. Kata-kata kemiskinan memang sudah tidak asing lagi didengar, namun jawaban tentang apa itu makna kemiskinan masih bermacam-macam dan simpang siur.

Meminjam istilah Ghose dan Keffin dalam Andre Bayo (1996), mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain. Memang sepakat dengan analisa Ghose dan Keffin bahwa dalam mengidentifikasikan kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, terbukti dalam memberikan standar orang dikatakan miskin mereka menggunakan aspek-apek lain seperti kesehatan, pemenuhan gizi, dan pendidikan. Aspek-aspek non-material tersebut bukan dari si miskin yang kurang respek untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) namun karena kurangnya kesempatan seperti yang dikatakan oleh Ghose dan Keffin.

Lebih lanjut untuk lebih memperjelas dan memberikan kemantapan dalam menganalisa kemiskinan struktural Friedmann dalam Andre Bayo (1996), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah tertutupi dengan adanya gap antara si miskin dan si kaya, dari orang kaya dapat dengan mudah mendapatkan semuanya itu. Kemiskinan structural ini dimana sumber daya ekonomi, politik, teknologi dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Namun bagaiman dengan si miskin mereka semakin terpinggirkan akibat pola sistem ekonomi yang berlaku dalam negara Indonesia.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini