Senin, 17 Maret 2014

Qayumah_tugas2_max weber

TEORI MAX WEBER

Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya.


Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber.


Weber Theory Of Bureaucracy disebut  sebagai “teori yang ideal” karena mencoba merumuskan sesuatu yang abstrak mengenai bagaimana seharusnya organisasi yang ideal dibentuk. Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif, membuatnya lebih berbentuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual.
Menurut Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti administrasi, efek daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan.

Birokrasi ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”.
Berikut bebera papemikiran-pemikirannya:
• Weber percaya bahwa birokrasi seharusnya dioperasikan dalam sistem hierarki.
Menurut prinsip ini, organisasi harus diatur dalam sistem hierarki vertikal yang ketat dan komunikasi antar pekerja dibatasi sesuai jabatannya
• Weber merancang sistem birokrasi agar memiliki pembagian kerja.
Karena menganut aliran klasik dimana manusia dianggap seperti mesin, maka terjadi pembagian kerja sebagaimana spare part dalam tubuh mesin, dimana masing-masing bagian memiliki spesifikasi kerja yang berbeda.
• Weber Birokrasi memiliki karakteristik bahwa alur kekuasannya terpusat.
Dalam pandangan ini, organisasi dianggap akan menjadi paling efektif apabila manajemen pusat memiliki kontrol terhadap proses pengambilan keputusan dan kegiatan pekerja.
• Weber menekankan bahwa sistem birokrasi adalah sistem tertutup.
Menurut Weber, organisasi seharusnya menutup diri dari lingkungannya karena dapat mengganggu kinerja organisasi.
• Weber juga menekankan bahwa peraturan sangat penting dalam sistem birokrasi.
Menurutnya, semua hal dalam organisasi harus memiliki peraturan tertulis agar pekerjaan berjalan dengan teratur dan formal.
Weber juga mambagi 3 functioning of authority (fungsi kekuasaan) bagian:
a. Traditionally authority, yaitu kekuasaan yang berasal dari kepercayaan secara tradisional, misalnya mengenai penetapan Ratu Elizabeth sebagai ratu Inggris karena kepercayaan lama.
b. Charismatic authority, yakni kekuasaan yang berdasarkan kemampuan seseorang untuk berinteraksi atau menarik hati orang lain. Kekuasaan tipe ini sangat tidak stabil.
c. Rational-legal authority, adalah kekuasaan yang didapatkan dari kemampuan individu. Weber sangat menekankan pada kekuasaan tipe ini karena menurutnya ini adalah dasar dari functioning of authority.

Kelebihan dari birokrasi ini adalah
a. Ada Aturan, Norma, dan Prosedur untuk Mengatur Organisasi
b. Ada Spesialisasi Pekerjaan dan Job Description yang Jelas
c. Ada Hierarki Otoritas yang Formal, Sehingga Memudahkan Pengkoordinasian
sedangkan kekurangannya :                                                                                       a. Hierarki Otoritas Yang Formal Malahan Cenderung Kaku
b. Aturan dan Kontrol yang Terlalu Rinci Menyebabkan Impersonality

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme sebagai sebuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951; 1958).

Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama, serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja atau pada kepentingan dari individu yang terlibat.

Otoritas legal rasional tersebut di atas, diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat pada masa kini, yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Walaupun organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan timbulnya hubungan-hubungan pribadi, namun stidaknya sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi ini mencakup karakteristik-karakteristik yang istimewa, dan dipandang sebagai tipe yang ideal (Johnson, 1986: 226).

Di dalam The Protestant Ethic (1958), juga menjelaskan masalah kebenaran dan interpretasi sejarah baik yang materialistis maupun yang idealistis sebagai pola-pola teoritis yang menyeluruh. Akan tetapi, metodologi Weber harus ditempatkan di dalam kerangka pertentangan yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau sosial. Ruang lingkup tindakan manusia dikatakan sebagai suatu ruang lingkup dimana metode-metode ilmu alam tidak berlaku, sehingga di dalam ruang lingkup itu harus dipakai prosedur-prosedur intuisi, yang tidak eksak dan persis.

Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986: 164).

Penggunaan ilmu pengetahuan empiris dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada seseorang tentang apa yang dapat dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi selanjutnya, serta membantunya menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang keputusan apa yang harus diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang logika motivasi politik, didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku politik dapat diarahkan dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam suatu etika pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan, atau paling tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan atribut-atributnya yang luar biasa.

Inti dari pembahasan Weber tentang sifat obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, menurut Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri yang tampak dalam Economy and Society menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam menitikberatan di dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya memiliki arti penting. (Giddens, 1986: 168-178).

Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori tentang rasionalisasi (Brubaker, 1984). Secara spesifik, berkembangnya brokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik dan arsitektur. Kecenderungan

Karyanya tentang agama (Weber,1951;1958a; 1958b), apabila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata-mata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, akan tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi struktur sosial. Interpretasi karya Weber pada sisi ini jelas menempatkannya sangat dekat dengan teori Marxian. Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikan teori Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi (Ritzer & Goodman, 2003: 36).

Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas perubahan. Baginya, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Menurutnya, kita dapat bicara tentang suatu kelas apabila: (1) sejumlah orang sama-sama memiliki sumber hidup mereka sejauh; (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan kesempatan memperoleh pendapatan yang terlihat dalam; (3) kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja (Johnson, 1986: 222).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini