Nur Syamsiyah_Tugas 2_Otoritas Lokal Dalam Penglolaan Sumberdaya Alam: Menatap Otonomi Desa dalam Perpekstif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi Politik
Desa dalam pusaran kekuatan TNCs, TNSs, dan TNKs
Tidak mudah membayangkan seperti apakah wujud desa dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia pada tahun 2030 nanti. Berbagai spekulasi yang didasarkan oleh kondisi faktual dan prediksi kecendrungan global telah dimulai sejak lama oleh para pakar termasuk kalangan political ecologist agar bisa meraba "bangun struktur sosial dan politik serta nilai-nilai budaya" desa masa depan di kawasan negara dunia ketiga (termasuk Indonesia). "bukan hal yang mudah" untuk menggambarkan desa masa depan, karena proses masih dikawasan lokalitas yang berjalan amat sangat cepat dan membawa konsekwensi perubahan sangat substansial pada setiap aspek kehidupan lokal.
Desa (lokalitas) juga menjadi ajang perebutan magnetik berkepentingan sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksitensinya selalu terkait dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Tesis tentang beradunya thestrong state dan the weak state dalam teori "global national dualism" statemen ini sangat jelas pada arena petarungan kekuatan global yang akan menyeret desa dalam arus kuat politik SDA dan akan mempengaruhi derajat ke daulatannya dalam menata kehidupan entitas sosial yang diayominya. Dari perspektif world system theory, Friedman (1999) bahkan dengan sangat tandas menyatakan bahwa gejala perebutan kekuatan sistem-sistem pengaturan dimana sistem sosial desa yang diwakili oleh indigenous civilization akan terus didesak oleh kekuatan barat-global world yang sangat menekan. Tekanan berlasung melalui ekspansi-ekspansi "sistem pengetahuan Barat" (yang mendesak sistem pengetahuan tempatan),"nilai-budaya modernitas ala Eropa Barat" (yang menggusur cara hidup khas-lokalistik), serta "sistem ekonomi kapitalisme" yang melaju seiring dengan perluasan kapital dari Trans-National Corporations (TNCs) yang mendesak perekonomian lokal (lihat Escobar, 1998, 1999; 2005 lihat juga Tabel 1 pada Lampiran).
Robinson (2001) mengemukakan lebih jauh bahwa kapitalisme menyebabkan kelumpuhan total kawasan periferal melalui 2 cara, yaitu ekspansi kolonialisme di era penjajahan (abad 16-19) dan ekspansi globalisme di era modernisme (abad 20-21).
Hasil akhir dari bekerjanya sistem-sistem pengaturan khas kapitalisme dan globalisme adalah apa yang dikonskeptualisasikan sebagai pengaturan berbasikan kepahaman antar bangsa (antar negara). Kesepakatan antar negara dalam konteks globalisme dikenal sebagai konsep Trans-National States (TNSs). Teladannya sangat sederhana dalam hal ini adalah kesepakatan Indonesia dengan USA atas eksoplotasi bahan tambang yang berharga ekonomi tinggi. Kesepakatan tersebut selanjutnya mempengaruhi kepada TNCs untuk menggarap sumberdaya alam di berbagai lokalitas di Indonesia tanpa harus mengindahkan eksitensi komunitas lokal untuk campur tangan. Dalam konsep TNCs yang demikian itu, kedaulatan lokal terkooptasi dan
terjajah oleh kekuatan politik-ekonomi antar negara yang terkait secara trans-nationalitas. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dihasilkannya seringkali sangat merugikan eksitensi lokal. Dan timbul berbagai konflik sumberdaya alam yang tidak dapat dihindari. Kekuatan kolonisasi ala globalisme menempatkan TNCs menekan wilayah-wiayah kepada daulatan perekonomian suatu lokalitas (desa). TNSs lebih bekerja pada wilayah-wilayah kedaulatan kekuasaan politik-pengaturan suatu sistem sosial, dimana "tangan-tangan birokrasi negara" bekerja dengan cermat dan seksama demi kepentingan TNSs (dan TNCs). Fakta yang kemudian muncul dalam sosiologi pembangunan dikatakan sebagai proses deteritorialisasi struktur dan budaya lokal untuk hidup yang mandiri tanpa penjajahan dari berbagai agensi ekstra-lokal(kelembagaan non-lokal dan agensi asing).
Castels (2001) mengemukakan dalam hal ini, bahwa ekspansi globalisme (trans-nationalism theory) yang menghempaskan sistem sosio-kemasyarakatan lokal dan prasyarat penting bagi terbentuknya "world modern social system" sejak keseluruhan sketsa pembangunan kawasan negara dunia ketiga terperangkap dalam modernization-theory. Dalam kerangka ini, globalisme selain diartikan sebagai integrasi ekonomi dan sistem sosial global, tidak dapat dihindarkan konsep tersebut yang mengkaitkan pula gagasan tentang adanya penetrasi budaya Trans National Knowledge System (TNKs) secara sistematis seluruh dunia. Penetrasi TNK sebagai bagian dari keniscayaan modernisasi dan kapitalisme global ikut menggerogoti kedaulatan lokal terutama di wilayah spiritualitas dan budaya. Dalam hal ini, nilai-nilai kebajikan lokal (local virtues), kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan murni (indigenous knowledge) secara sistematis dipinggirkan oleh pengetahuan Barat yang mendominasi dan datang bersamaan dengan kekuatan kapital-global (Escobar, 1998, 1999, Nygren, 1999).
Strategi "reteritorialisasi kedaulatan lokal" dapat berfungsi sebagai pengatas masalah proses-proses deteritorialisasi akibat globalisme, strateginya berpusat pada keunggulan lokal dan menjadi jalan tunggal pilihan-solusi dari "mazhab kekuasaan". Hanya dari sistem inilah, sistem lokal dapat tertolong dari pusaran yang sangat mematikan di masa kini dan mendatang.
Teladan-teladan yang representitatif dan sangat tepat untuk menggambarkan proses keterdesakan lokal oleh globalisme-modernisme-kapitalisme ala Eropa di Indonesia adalah kasus-kasus marjinalisasi teritorial sistem-sistem peradaban asli oleh kekuatan Barat yakni, "Ngato Toro" di Sulawesi Tengah atau "Suku Anak Dalam" di Jambi.
Dalam kerangka Foucauldian, dijelaskan bahwa otoritas lokalitas dibanyak kawasan dunia ketiga menyerah pasrah dan menjadi tidak berdulat lagi atas SDA, jelas inilah yang sangat mengubah the whole landscape of livelihood system secara totalitas sehingga berdampak nafkah lokal yang sangat rendah. Contoh kasus:
Dimana seluruh SDA dikuras tanpa disisihkan yakni, di Timika Papua, di Kalimantan Timur, di pedalaman Sumatera, di kawasan Pantura Jawa, dsb.
Bagaimana pula seharusnya bentuk desa dimasa 2030 seharusnya dikembangkan? Pilihan strategi apa yang harus ditempuh oleh desa dalam hal pusaran globalisme terlalu kuat untuk dapat dihindarkan begitu saja?
Empat Skenario Sistem Pengelolaan SDA Lokal: Memberikan Kesempatan Bagi Lokalitas untuk Memilih
Dengan tetap berasumsi pada bekerjanya tiga pusaran arus globalisme yang menghempas desa atau lokalitas, maka dapat disusun teoretisasi tentang pengelolaan SDA oleh komunitas lokal dimasa depan. Yang sangat mengacu pada kerangka pemikiran Friedman (1999) yang mengemukakan bahwa kecendrungan global menawarkan dua ranah pemikiran tentang "identitas struktur kekuasaan" di wilayah kekuasaan pengaturan dan" identitas budaya tempatan" di wilayah sistem sosial-budaya lokal.
Dalam teoritasi Friedman (1999), ranah identitas mengenal dua kutub yang saling bersebrangan, yaitu "self-directed regime" (kedaullatan lokal) dan "other-directed regime" (keterjajahan oleh kekuatan asing) di kutub yang lain. Keduanya dihubungkan oleh continuum of identity yang divariasikan dalam struktur kekuasaan dan otoritas turunannya. Keduanya dikenal kutub "kosmopolitanisme" (keterbukaan total) yang bercirikan inter-dan-multikulturalisme di satu sisi, dan kutub "komunitarianisme" (ketertutupan budaya total) yang bercirikan budaya yang homogen di sisi lainnya. Kedua kutub ditemukan variasi identitas budaya turunannya, yang dibangun oleh kutub identitas struktur dan kutub identitas budaya yang saling disilangkan secara tegak lurus, maka diperoleh sebuah matriks dengan 4 kuadran
Dengan menerapkan pemikiran Friedman dapat diperoleh empat kombinasi ekstrem tata-kelola SDA maupun identitas ekstrem. Ruang-ruang tata-pengaturan SDA tersebut adalah:
1) Ruang ekstrem I ("kiri-atas"), adalah ruang dimana pengelolaan SDA mengandalkan struktur-struktur kelembagaan dan aturan-aturan lokal yang sangat otonom sifatnya. Segala kekuatan asing (TNCs, TNKs, dan TNSs)tidak dapat menembus isolasi ruang I sehingga pengelola SDA berkesan bercirikan "lokalisme defensif"(Winter, 2003).
2) Ruang ekstrem II ("kanan-atas"), adalah ruang dimana kedaulatan lokal hanya terjadi dalam hal olah-otoritas pengelolaan SDA saja. Hingga taraf tertentu TNCs dan TNSs tidak mampu mengubah tantanan pengelolaan SDA lokal. "Tata-pengaturan Nagari di Ranah Minang" adalah contoh kedaulatan pengaturan lokal dalam pengelolaan SDA yang dimana struktur lokal masih lunak, namun orientasi nilai masyarakatnya telah mulai memudar.
3) Ruang eksrem III ("kanan bawah") adalah ruang dimana modernitas-Barat yang dibawa oleh gerakan modernisasi (termasuk pemerintahan lokal) via berbagai kegiatan pembangunan, yang mampu mengubah struktur atau tatanan kelembagaan pengelolaan SDA lokal. Pada ruang ekstrem ini didapati struktur tata-pengaturan SDA dan orientasi nilai budaya yang terjajah secara sempurna. Yakni, di desa-desa Jawa yang tidak lagi memiliki otoritas yang memadai pengelolaan SDA.
4) Ruang ekstrem IV("kiri bawah") adalah ruang dimana kelembagaan bentukan pengelolaan SDA (akibat kekuatan proses-proses modernisasi-kapitalisme oleh TNCs dan TNSs) telah mengubah lanskap lokal dan tata-pengaturan SDA lokal tidak berdaya menghadapi keseluruhan mengikuti cara-cara yang diinterogasikan dari luar sistem lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar