Senin, 17 Maret 2014

Tugas 2_Aulia Ulfa (1113054000020)_PMI2

PERTAUTAN BUDAYA
PEMBANGUNAN
DAN BUDAYA WARGA MENUJU
DESA 2030
 
Ivanovich Agusta
Merumuskan Masalah Pertautan Budaya
            Konsep "pembangunan" sebagai
perubahan sosial yang terencana dari keadaan tradisional menuju keadaan modern.
"Desa" dilihat sebagai satuan administrasi formal di bawah kecamatan.  Sejalan dengan posisi penulis, maka "budaya"
diarahkan secara lebih aktif sebagai alasan-alasan pelaku yang dipandangnya
paling tepat untuk menjelaskan lingkungan sekitar. Alasan tersebut berkedudukan
sebagai fiksional, dalam arti menyusun centang perenang fakta fisik, interaksi
sosial dan ideologi sehingga bermakna bagi warga untuk menjelaskan kehidupan
lingkungannya. Pada titik inilah posisi penjelasan beragam pihak bersenjata,
bail akademis, aparat pemerintah, awasta, tokoh masyarakat, maupun rakyat
jelata.
            Pertama, warga desa menganut suatu budaya dan struktur sosial yang sesuai dengan sejarah
mereka selama ini, sehingga sejara struktur dan kultur tersebut mampu
menciptakan suatu identitas diri yang di inginkan.
            Kedua, pembangunan desa yang di wujudkan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan
(mungkin berguna untuk membedakan pola "proyek" pembangunan yang memang harus
dibatasi oleh waktu dan tempat/regional dalam suatu daftar isian proyek, dengan
pola birokrasi pembanguana yang berupa kerja terus menerus oleh aparat
pemerintah ke seluruh wilayah Negara) merupakan ideologi dan paraksis pihak
dari luar desa yang mendatangi warga (berikut budaya, struktur dan sejarag
sosial).
Pautan Budaya dan Struktur Sosial
            Dalam banyak kebudayaan, selama
bertahun-tahun nilai kepercayaan menjadi tali yang kuat bagi logika-logika
subtansif (dapat dipandang sebagai logika atau cara berpikir yang terpaut
dengan budaya lokal) guna mengatur atau menyusuun praktek atau tindakan
konstitutif seharri-hari. Konsekwensinya, sekalipun kondisi bagi praktek
transformasi lingkungannya bersifat historis, namun praktek konstitutif
sehari-hari (sifat dinamis) tersebut juga memberikan efekpenyusuan struktur
komulatif, sehingga membatasi pemikiran dan tindakan pada suatu waktu tertentu.
Disinilah bertemu dinamika pembentukan struktur sosial dan budaya secara
dinamis.
 
Kritik Terhadap Budaya Pembangunan
Desa
            Pengembangan kritik terhadap
pembangunan desa yang dilaksanakan sejak pemerintahan soeharto. Kritik
diarahkan kepada landasan budaya humanism Kantian, evolusionalisme dan
perencanaan pembangunan politik, serta kapitalisasi pembangunan desa.
Kritik Terhadap Humanisme untuk Warga
Desa
            Humanisme ala Kantian muncul dalam
bentuk pemberdayaan bagi Yang Lain (Other),
terutama dalam konsep pembangunan kapasitas (capacity building). Patut dicatat bahwa sejak awal pemerintahan
Soeharto, ternyata klompok kritis berpotensi pada filosof pembangunan yang
berpusat pada rakyat (people-centered development).
Kritik Terhadap Politik Ruang Desa
            Setidaknya pada masa Kerajaan Mataram
(sekitar abad ke 16) suatu dessa di jawa tengah berkembang dari kemampuan
seorang lurah untuk mengelola sekelompok warga. Sampai disini terlihat bahwa
pembentukan desa selalu menunjukkan kemandirian lurah untuk mengelola warga.
Ketidak mandirian desa sekaligus penempatannya sebagai birokrasi terbawah
terjadi ketika beberapa desa di gabung. Makna penggabungan inilah upaya
mempertahankan mekanisme kontrol terhadap desa gabungan tersebut.
  Keragaman Budaya Ekonomi
            Dalam pandangan moderenisme, budaya
eekonomis dipandang secara tunggal. Memang terdapat pandangan tentang subkultur
budaya ekonomi, namun tetap diterima tesis keberadaan inti budaya. Inti budaya
sering dipahami sebagai unsur kebudayaan yang tidak bisa atau hampir mustahil
diubah. Oleh sebab itu, inti budaya dapat kita maknai sebagai pengikat budaya
dan inilah yang mendasari pemahaman ketunggalan kebudayaan.
Kesimpulan: Pintu-pintu "Desa" 2030
Basis Toleransi
            Upaya warga desa untuk memilih,
meminjam, menyerap, menggunakan, mengadaptasi budaya pembangunan berlangsung
dalam proses dinamis secara terus menerus yang bisa disebut hibriditas. Melalui
konsep hibriditas inilah dapat dikemukakan emansipasi warga desa atau suara mereka.
Hal yang dipandang sebagai modal sosial desa dalam prespektif lainnya,
sebenarnya merupakan hibriditas warga dan budaya lokal.
            Hibriditas merupakan upaya
mengambil, meminjam, mengubah diri untuk merespons pihak luar. Meskipun pada
akhirnya berada pada posisi kultural, namun pemerintahan kultur hlbrid tersebut
melalui tindakan sehari-hari yang berlangsung lama. Konsep inilah yang sama
dengannnya dinamakan kreolisme.
"Familiasi" dari Bawah
            Akhirnya hendak diajukan proporsi
bahwa upaya pemihakan pada suatu proses perubahan sosial dilakukan dengan
menggunakan familiasiuntuk menguatkan
posisi dan narasi lapisan bawah dalam suatu masyarakat. Emansipasi lapisan
bawah dimungkinkan ketika suara atau narasi lapisan tersebut turut muncul dalam
proses penyusunan struktur sosial.
            Sampai disini konsep familisasi dari bawah mulai disusun.
Untuk mengatasi diskurs keluarga dan kekeluargaan yang menekan kelompok  marjinal, maka keluarga dan ikatan
kekeluargaan perlu dikembangkan menjadi solidaritas bersama. Familisasi dari bawah tersusun manakala refleksi
dan praksis lapisan bawah bersama agensi lain dalam penyusunan struktur desa.
Untuk mengembangkan lebih lanjut, maka pengetahuan bisa digali melalui
komparasi habituasi keluarga dan kekeluargaan dari wilayah lain di Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini