Rabu, 04 November 2015

AHMAD RIZAL, SYIFA NUROHMAH, IKRIMA NUR ALFI_UTS_SOSKOT

Nama:

Ahmad Rizal               11140540000012

Syifa Nurohmah          11140540000010

Ikrima Nur Alfi           11140540000015

PENELITIAN TENTANG KOMUNITAS PEDULI ANAK JALANAN

(KOPAJA)

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang terdidik itu sangat penting. Pendidikan pertama kali yang kita dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Seorang anak yang disayangi akan menyayangi keluarganya ,sehingga anak akan merasakan bahwa anak dibutuhkan dalam keluarga. Sebab merasa keluarga sebagai sumber kekuatan yang membangunya.Dengan demikian akan timbul suatu situasi yang saling membantu,saling menghargai,yang sangat mendukung perkembangan anak.Di dalam keluarga yang memberi kesempatan maksimum pertumbuhan,dan perkembangan adalah orang tua.Dalam lingkungan keluarga harga diri berkembang karena dihargai,diterima,dicintai,dan dihormati sebagai manusia .Itulah pentingnya mengapa kita menjadi orang yang terdidik di lingkungan keluarga. Orang tua mengajarkan kepada kita mulai sejak kecil untuk menghargai orang lain.

Sedangkan di lingkungan sekolah yang menjadi pendidikan yang kedua dan apabila orang tua mempunyai cukup uang maka dapat melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi dan akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi kemudian menjadi seorang yang terdidik . Alangkah pentingnya pendidikan itu. Guru sebagai media pendidik memberikan ilmunya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Peranan guru sebagai pendidik merupakan peran  memberi bantuan dan dorongan ,serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak  agar anak dapat mempunyai rasa tanggung jawab dengan apa yang dia lakukan. Guru juga harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup untuk menarik minat anak . Selain itu peranan lingkungan masyarakat juga penting bagi anak  didik . Hal ini berarti memberikan gambaran tentang bagaimana kita hidup bermasyarakat.Dengan demikian bila kita berinteraksi dengan masyarakat maka mereka akan menilai kita,bahwa  tahu mana orang yang terdidik,dan  tidak terdidik. Di zaman Era Globalisasi diharapkan generasi muda bisa mengembangkan ilmu yang didapat sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan zaman. Itulah pentingnya menjadi seorang yang terdidik baik di lingkungan Keluarga,Sekolah,dan Masyarakat.

Krisis moneter yang berkepanjangan telah melanda bangsa kita saat ini semakin tidak memberikan tanda-tanda kearah yang lebih baik. Karena masih banyak sekali di sekitar kita hal – hal yang menjurus ke sisi negative. Baik di lihat dari sisi pergaulan, sisi ekonomi, sisi pendidikan, dan lain sebagainya. Terutama pada sisi pendidikan di masa sekarang yang sebenarnya masih kurang baik. Karena itu perlu penegasan dari pemerintah tentang pentingnya mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tangguh, unggul dan terampil agar bangsa ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang saat ini telah menjadi negara maju.

Pendidikan nasional telah memiliki dasar yang kuat, namun demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan sesuatu yang paten dan baku, namun merupakan suatu proses yang terus menerus mencari dan menyempurnakan bentuknya.

Banyak sekali sebenarnya masalah – masalah dalam suatu pendidikan yang seharusnya di jadikan kewajiban anak – anak bangsa untuk mencari ilmu agar dapat meneruskan perjuangan di Negara ini. Salah satu faktornya adalah masalah ekonomi keluarga yang kurang mampu.

Gagasan ini secara khusus ingin menyinggung tentang persoalan suatu pembinaan bagi anak – anak jalanan yang seharunya mendapatkan pendidikan yang layak.

Anak jalanan merupakan fenomena besar di Indonesia. Dibutuhkan upaya yang lebih besar dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi dan mengurangi banyaknya anak jalanan di Indonesia. Sebagian besar anak jalanan tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan, menjadi pengamen, dan lain sebagainya. Dan salah satu faktor menjadi anak jalanan adalah kemiskinan. Sebenarnya banyak anak – anak jalanan yang berharap bahwa mereka bisa merasakan duduk di bangku sekolah. Tapi apa daya, dengan kondisi ekonomi yang seperti itu mereka berfikir bahwa mereka tidak sanggup untuk membayar biaya – biaya sekolah. Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah ini adalah meningkatkan jumlah lembaga dan meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan social bagi anak jalanan dan kampanye sosial. Dan rasa peduli dari masyarakatpun sangat dibutuhkan.

B. Pertanyaan Penelitian

1.      Bagaimana Proses Berdirinya Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ?

2.      Permasalahan apa saja yang dihadapi ketika mendirikan Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ?

3.      Motivasi apa yang membuat Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) tetap berjalan?

4.      Kegiatan apa saja yang ada dalam Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ?

5.      Bagaimana respon masyarakat terhadap Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ?

6.      Bagaimana prospek ke depannya untuk Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA) ?

C. Metode Penelitian

1.      Subyek Penelitian             : Subyek penelitian ini adalah Pendiri, anggota dan anak

jalanan dari Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA)

2.      Sumber data                      : Data-data yang kami peroleh merupakan wawancara dari

Pendiri Komunitas Peduli Anak Jalanan (KOPAJA)

3.      Tekhnik pengumpulan data :

a)      Observasi

b)      Wawancara

 

4.      Jenis sumber data :

Data primer : data yang diperoleh dari Narasumber langsung dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis untuk mendapatkan jawaban diperlukan peneliti

D. Tinjauan Teoritis

Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Emile Durkheim (1858-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka.

Menurut Durkheim, berdasarkan hasilnya, solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan dengan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri:

1.      yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena individu tergantung dari bagian-bagian yang membentuk masyarakat tersebut.

2.      solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap, walaupun sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun perlu dibedakan

3.      dari perbedaan yang kedua itu muncul perbedaan yang ketiga, yang akan memberi ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam satu kesatuan.

 

Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. Jadi, berdasarkan bentuknya, solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yaitu:

 

1.      SOLIDARITAS SOSIAL MEKANIK

Pandangan Durkheim mengenai masyarakat adalah sesuatu yang hidup, masyarakat berpikir dan bertingkah laku dihadapkan kepada gejala – gejala sosial atau fakta-fakta sosial yang seolah-olah berada di luar individu. Fakta sosial yang berada di luar individu memiliki kekuatan untuk memaksa. Pada awalnya, fakta sosial berasal dari pikiran atau tingkah laku individu, namun terdapat pula pikiran dan tingkah laku yang sama dari individu-individu yang lain, sehingga menjadi tingkah laku dan pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menjadi fakta sosial. Fakta sosial yang merupakan gejala umum ini sifatnya kolektif, disebabkan oleh sesuatu yang dipaksakan pada tiap-tiap individu.

Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantar mereka. Rasa kebersamaan ini milik masyarakat yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif yang merupakan akibat (resultant) dari kebersamaan, merupakan hasil aksi dan reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual itu menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan khusus yang berasal dari perasaan kolektif tersebut.

Pada saat solidaritas mekanik memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekedar mahluk kolektif. Jadi masing-masing individu diserap dalam kepribadian kolektif.

Argumentasi Durkheim, diantaranya pada kesadaran kolektif yang berlainan dengan dari kesadaran individual terlihat pada tingkah laku kelompok. Bilamana orang berkumpul untuk berdemonstrasi politik, huru-hara rasial atau untuk menonton sepakbola, gotong royong dan sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok toko-toko, menjungkirbalikan mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan religius, semangat pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap musatahil oleh yang bersangkutan.


Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar "kewajiban" yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga "kebaikan" ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam batin dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu untuk menyesuaikan diri.


Moralitas mempunyai keterikatan yang erat dengan keteraturan perbuatan dan otoritas. Suatu tindakan bisa disebut moral, kalau tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku, juga demi keterikatan pada kelompok. Jadi, keseluruhan kepercayaan dan perasaan umum di kalangan anggota masyarakat membentuk sebuah sistem tertentu yang berciri khas, sistem itu dinamakan hati nurani kolektif atau hati nurani umum.

Solidaritas mekanik tidak hanya terdiri dari ketentuan yang umum dan tidak menentu dari individu pada kelompok, kenyataannya dorongan kolektif terdapat dimana-mana, dan membawa hasil dimana-mana pula. Dengan sendirinya, setiap kali dorongan itu berlangsung, maka kehendak semua orang bergerak secara spontan dan seperasaan. Terdapat daya kekuatan sosial yang hakiki yang berdasarkan atas kesamaan-kesamaan sosial, tujuannya untuk memelihara kesatuan sosial. Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan). Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu melanggar organ hati nurani umum.

2.      SOLIDARITAS SOSIAL ORGANIK

Solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi industri yang meluas dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya, perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam masyarakat, melainkan dasar integrasi sosial sedang mengalami perubahan ke satu bentuk solidaritas yang baru, yaitu solidaritas organik. Bentuk ini benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan di antara bagian-bagian yang terspesialisasi.

Kesadaran kolektif pada masyarakat mekanik paling kuat perkembangannya pada masyarakat sederhana, dimana semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai, dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Pembagian kerja masih relatif rendah, tidak menghasilkan heterogenitas yang tinggi, karena belum pluralnya masyarakat. Lain halnya pada masyarakat organik, yang merupakan tipe masyarakat yang pluralistik, orang merasa lebih bebas. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi, dan karir individual menjadi dasar masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadaran pada umumnya.

Heterogenitas yang semakin beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan fungsional antar pelbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan terjadi suatu pegeseran dalam tata nilai masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran individu baru. Bukan pembagian kerja yang mendahului kebangkitan individu, melainkan sebaliknya perubahan dalam diri individu, di bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin terdiferensiasi.

Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan pekerjaannnya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.

Terjadinya perubahan sosial yang ditandai oleh meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas sosial, dapat juga dilihat sebagai perkembangan evolusi model linier (Lawang, 1986:188). Kecenderungan sejarah pada umumnya dalam masyarakat Barat adalah ke arah bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Perkembangan ini mempunyai dua akibat penting. Pertama, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya individualitas. Kedua, dia meningkatkan solidaritas organik yang didasarkan pada saling ketergantungan fungsional. Durkheim melihat masyarakat industri kota yang modern ini sebagai perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik.

Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Pada solidaritas organik, ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang. Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika kepentingan-kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi.

Kita dapat membandingkan sifat – sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan solidaritas organik.

 

 

BAB II

GAMBARAN UMUM SUBYEK/OBYEK KAJIAN

A.    Profil Umum Subyek/Obyek Kajian

 

KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Jalanan) adalah komunitas yang bergerak dalam memanusiakan anak jalanan melalui pendidikan dan program-program pemberdayaan. KOPAJA berdiri pada 8 April 2012 dengan semangat berbagi dan peduli yang dimulai dari perteman sesama pengurus yang mulanya hanya saling kenal di Facebook. 

Visi: 

Menjadikan anak jalanan (pengamen, pemulung, termasuk fakir miskin dan anak yatim) pribadi yang pembelajar dan generasi yang layak unggul di masyarakat.

Misi: 
1. Meningkatkan kualitas iman dan taqwa pada diri anak jalanan.
2. Meningkatkan kualitas moral anak jalanan.
3. Meningkatkan budaya baca tulis di kalangan anak jalanan.
4. Memberikan layanan pendidikan formal dan nonformal kepada anak jalanan.
5. Memberikan program-program sosial kepada anak jalanan.


Tujuan: 
Memanusiakan dan memberikan hak-hak anak jalanan sebagaimana anak-anak pada umumnya.

B.     Lokasi dan Waktu Kajian

Lokasi:

Penelitian ini dilaksanakan di Kesekretariatan KOPAJA Pusat: Jl. Kemanggisan Ilir III RT 007 / RW 013, No. 18B, Palmerah, Jakarta Barat, 11480 dan di Samping Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Waktu Penelitian         :  Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2015 dan 01

November 2015

 

 

 

 

 

BAB III

ANALISIS HASIL

Tanggal 8 april 2012 didirikannya komunitas peduli anak jalanan. Awal mula berdirinya komunitas peduli anak jalanan, yaitu dari sebuah status facebook yang di share oleh ka lispa "ingin punya komunitas peduli anak jalanan" lalu dari situ banyak yang mengkomentari dan akhirnya membuat grup peduli anak jalanan di facebook. Ratusan orang yang bergabung di grup tersebut dan diputuskan untuk melakukan kopdar di monas untuk menentukan wilayah/ lokasi, namun hanya ada tiga orang yang datang dan kebetulan dua orang tersebut adalah teman ka erni (narasumber).

Setelah melakukan pertemuan kemudian pergi ketempat lokasi yaitu daerah kramat, bertemu dengan ketua anak jalanan dan meminta ijin untuk mengembangkan anak jalanan. Ketua anak jalanan tersebut mengizinkan namun ada syaratnya yaitu harus ada lapak atau wadah untuk anak jalanan. Lalu mereka mendapatkan tempat di daerah kebayoran yaitu belakang gandaria city dan di rawamangun sebelah kampus UNJ, di kebayoran ada sekitar 30 anak namun tidak semuanya anak jalanan ada juga anak pemulung dan anak dhuafa.

Terdapat  beberapa masalah, yaitu: sulit nya membuat perizinan ke Rt/Rw, harus ada syarat-syarat tertentu; terjadi kebakaran di lapak daerah kebayoran, entah mengapa hanya lapak itu saja yang terbakar sedangkan rumah-rumah yang disampingnya tidak. Pendekatan dengan anak jalanan tidaklah semudah yang dibayangkan, awalnya mereka menolak atau merasa aneh dengan apa yang dilakukan KOPAJA dan bahkan ketika mereka memarkir motor disana motornya disiram dengan air got. Bahasa yang digunakan juga kasar jadi mereka harus menyesuaikan diri karena menurut anak jalanan menggunakan bahasa seperti itu sudah menjadi hal yang wajar. KOPAJA memulai menyesuaikan diri dari bahasa sampai kegiatan yang dilakukan seperti nyanyi bareng dan setelah itu mereka baru dapat kepercayaan untuk mendirikan wadah/ tempat untuk belajar sambil bermain. Usia anak jalanan bervariasi mulai dari umur 5-17 tahun.

Kegiatan yang KOPAJA lakukan yaitu: mengadakan kegiatan belajar setiap seminggu sekali pada hari minggu, namun minggu kemarin baru diadakan open recruitment guru untuk mengajar dilapak seminggu tiga kali dengan guru tetap. Pengajaran yang diadakan disana bervariasi, bukan hanya belajar pelajaran formal saja namun juga belajar menyanyi, bermain music, menari dan lain-lain.

Respon dari masyarakat cukup baik, awalnya anak-anak tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan dilapak oleh orangnya karena menurut informasi yang kami dapat orang tuanya menginginkan anaknya untuk mengamen dijalan ketimbang mengikuti kegiatan yang tidak dapat uangnya, sedangkan komunitas peduli anak jalanan belum mempunyai donatur untuk membiayai hal itu. Jadi jalan tengah yang diambil oleh komunitas peduli anak jalanan yaitu menyesuaikan waktu untuk melakukan kegiatan dan mengajak anak jalanan yang bisa mengikuti kegiatan tersebut.

Prospek kedepannya komunitas peduli anak jalanan menginginkan legalitas dan perhatian dari pemerintah dan juga berharap adanya regenerasi kedepan agar komunitas peduli anak jalanan tetap ada dan berjalan dengan baik.

Motivasi yang membuat komunitas ini tetap bangkit dan berjalan sampai sekarang yaitu rasa prihatin melihat anak jalanan yang tidak mempunyai pendidikan bahkan seumuran anak smp masih belum bias membaca dan menulis. Hanya sekitar 20% dari mereka yang sekolah dan sekolahnya pun sekolah yayasan bukan sekolah formal.

 

BAB IV

KESIMPULAN

 

Durkheim (dalam Lawang, 1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka.

Seperti halnya komunitas peduli anak jalanan (KOPAJA), mempunyai peran penting dalam membantu pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak termasuk anak jalanan. Begitu banyak anak jalanan yang belum mendapatkan pendidikan yang layak dikarekan kondisi ekonomi yang minim sehingga mereka harus mencari uang untuk kebutuhan hidup. Ada anak yang mengamen untuk mencari uang dengan terpaksa atas dorongan orang tuanya, padahal mereka masih ingin mendapatkan pendidikan. Ada juga yang memang berkeinginan mencari uang tanpa di paksa karena factor lingkungan yang menyebabkan anak tersebut mengamen dijalanan.

Di tempat yang kami datangi Hanya sekitar 20-30% dari mereka yang sekolah dan sekolahnya pun sekolah yayasan bukan sekolah formal. Komunitas peduli anak jalanan (KOPAJA) mendirikan beberapa wadah atau tempat untuk anak-anak jalanan berinteraksi dan belajar bersama yaitu di daerah rawamangun dan kebayoran. Disana mereka diajarkan menari, menyanyi, mengaji dan pelajaran yang disesuaikan dengan guru dan minat para anak jalanan tersebut. Kegiatan tersebut awalnya hanya seminggu sekali namun pada hari minggu kemarin telah diadakan open rekruitmen guru tetap untuk mengajar seminggu tiga kali.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Baswori M.Si. 2005. Pengantar Sosiologi. Depok: Ghalia Indonesia

Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar . Jakarta: Rajawali Press

LAMPIRAN

01 November 2015

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini