Emile Durkheim
Suicide
"Fenomena-fenomena sosial merupakan benda dan harus diperlakukan sebagaimana benda." Demikian formula yang diungkapkan dalam Les Regles de la Methode sociologique diterapkan oleh Emile Durkheim dalam studinya tentang bunuh diri (1897).
Ia mempergunakan berbagai variasi situasi sosial untuk melakukan perbandingan. Durkheim berpegang pada metode variasi yang terjadi pada waktu yang sama (korelasi-korelasi) dengan membangun rangkaian-rangkaian mulai dari peristiwa yang harus terseleksi, Ia memisahkan sejumlah variabel berupa umur, seks, situasi sipil, keanggotaannya pada suatu agama dan tingkat pendidikan yang dibandingkannya dengan angka kematian.
Metode Statistik dan Komparatif
Dengan membangun hubungan antara angka bunuh diri dalam dua kategori, kita bisa memunculkan jarak dengan mengalkulasi "koefisien perlindungan (preservasi)" atau "keparahan (aggravation)". Contoh: di sebuah propinsi angka bunuh diri orang yang sudah menikah dari usia 20 hingga 25 tahun adalah 95 bandingf seribu penduduk; sementara yang dilakukan oleh para duda pada usia yang sama sebanyak 153. Maka hubungan 153/95 memberi sebuah koefisien preservasi sebesar 1,61 sedangkan untuk perempuan pada kategori yang sama koefisiennya sebesar 1,46. Dengan mengkonfrontasikan koefisien-koefisien yang berbeda ini muncul suatu keteraturan yang menunjukkan bahwa pada usia manapun dan di daerah tempat tinggal manpun (baik di Paris atau di provinsi-provinsi) status menduda memang lebih memperparah angka bunuh diri laki-laki dibanding status menjanda perempuan.
Proses Sosialisasi
Setelah membantah teori-teori yang menganggap bunuh diri disebabkan oleh kegilaan, ras dan hereditas, Durkheim lalu mengembangkan teori sosialisasinya dengan membuat suatu tipologi.
Ø Bunuh diri egoistis
Sebuah studi komparatif yang teliti terhadap angka bunuh diri menurut agama yang dianut oleh pelakunya di berbagai negara Eropa(Jerman, Inggris, Denmark, Perancis, Italia dsb...) memberi hasil berikut ini: ternyata lebih banyak penganut Protestan yang bunuh diri ketimbang penganut Katolik, dan kaum Yahudi paling sedikit melakukan bunuh diri. Sedangkan sesudah meneliti tingkat pendidikan ia menyimpulkan bahwa "jika dalam lingkungan yang berpendidikan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri itu lebih parah, maka tingkat keparahan itu sangat terkait dengan (...) melemahnya kepercayaan-kepercayaan tradisional dan karena situasi individualisme moral yang diakibatkan karenanya."
Sedangkan jika menyangkut keluarga ternyata "Masyarakat domestik sebagaimana sebuah masyarakat religius menjadi kekuatan preservatif terhadap upaya bunuh diri. Perlindungan (pengamanan) ini kian sempurna jika keluarga itu lebih padat." Agama, keluarga dan masyarakat politik sama-sama merupakan kelompok sosial yang mendefinisikan identitas si individu. Ketika ia melemah atau terputus, individu akan kehilangan tempat bernaung dan mundur ke arah dirinya sendiri, yaitu kepada egonya. Dari sinilah asalnya istilah yang agak sesuai dengan istilah yang dipakai biasanya yaitu "bunuh diri egoistis".
Ø Bunuh diri altruistis
Sebaliknya, jika integrasi sosial terlalu kuat dan individu terlalu terkungkung, maka bisa saja menghasilkan "altruisme intens" yang menyebabkan orang melakukan bunuh diri.
Ø Bunuh diri anomik
Jika dalam proses sosialisasi ternyata integrasi sosial bisa menunjukkan adanya defisiensi lewat ekses atau kekurangannya, maka hal yang sama juga terjadi bagi peraturan sosial: yakni ketika dominasi intelektual atau moral kelompok melemah, individu akan menghadapi sendiri keinginan dan nafsunya. Terputusnya keseimbangan ini menyebabkan timbulnya anomie, yaitu desosialisasi. Akan terjadi peraturan ekonomi jika masing-masing individu berkeinginan untuk memiliki benda material yang secara logis bisa diharapkannya jika berfungsi sesuai tempatnya didalam masyarakat.
Bunuh diri anomik juga bisa disebabkan oleh "hilangnya aturan matrimonial" di mana perkawinan yang mengatur hubungan cinta dan perceraian yang terjadi di mana-mana menjadi suatu indikator adanya anomie dalam perkawinan (anomie konjugal).
Kemiskinan moral suatu masyarakat
Durkheim menghubungkan hasil-hasil yang diperolehnya dengan konsep moral masyarakat. Jika "agama, keluarga dan negara bisa menjadi pencegah bunuh diri jenis 'egoistis' maka sebaliknya, peningkatan angka bunuh diri yang dilaporkan pada masa itu bukanlah hal tersebut merupakan kenyataan pada masyarakat yang telah melepaskan diri dari ikatan tradisional yang menghubungkan individu dengan masyarakat? Bahwa "bunuh diri pada masa sekarang memang merupakan indikasi adanya kemiskinan moral". Dan tema yang menghantui pikiran para perintis sosiologi adalah: bagaimana cara memperbaiki ikatan sosial pada suatu zaman dimana industrialisasi telah menyebabkan hancurnya batas-batas lama sosiabilitas, munculnya krisis nilai atau kemerosotan religius yang menyertainya?
Warisan Durkheim
Karya berjudul Le Suicide ini pada saat disusun merupakan suatu inovasi intelektual yang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Metode statistik yang dipergunakan tetap masih menjadi contoh, meski sejak saat itu permasalahan tentang validatis sumber-sumber dan ketidaksempurnaan atau kelalaian yang bisa diketahui dalam pembahasannya sangat sering diangkat.
Namun demikian mereka yang tidak mau mendukung sosiologi aliran Durkheim mengeluhkan masalah determinisme dimana masyarakat bertindak terhadap individu diluar pengetahuan orang terakhir ini.
Rule of Sociological Method
1. Mendefinisikan Objek yang dikaji Secara Objektif
Disini yang menjadi sasaran adalah sebuah peristiwa sosial yang bisa diamati diluar kesadaran individu. Definisi tidak boleh mengandung prasangka terlepas dari apapun yang kira-kira akan menjadi kesimpulan studi.
2. Memilih Satu atau Beberapa Kriteria yang Objektif
Dalam buku pertamanya (De la division du travail social atau Pembagian Kerja Secara Sosial) Durkheim mempelajari berbagai bentuk solidaritas sosial yang berbeda-beda dari sudut hukum. Begitu pula ia berusaha mencari penyebab tindakan bunuh diri dengan mempergunakan angka kematian akibat bunuh diri. Namun masih harus lebih banyak diperhatikan tentang kriteria-kriteria daalam mengajukan analisis tersebut.
3. Menjelaskan Kenormalan Patologi
Kita harus bisa membedakan situasi-situasi normal yang menjadi dasar kesimpulan-kesimpulan teoritis. Dapat kita bandingkan pemikiran dengan metode idealtipikal dari Max Weber. Yang riil selalu terlihat orisinal dalam kompleksitasnya, namun bisa pula kita mencari struktur dari ciri khas yang menonjol ini.
4. Menjelaskan Masalah Sosial Secara "Sosial"
Sebuah peristiwa sosial tidak hanya bisa dijelaskan lewat keinginan individual yanng sadar, namun juga melalui peristiwa atau tindakan sosial sebelumnya.
5. Mempergunakan Metode Komparatif Secara Sistematis
Inilah semua hal yang telah kita singgung diatas. Hanya komparativisme ruang dan waktu yang memungkinkan hal ini berakhir dengan suatu demonstrasi sosiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar