Senin, 27 Oktober 2014

Dani Perdana Syabani_tugas 5 (1112051000025)

Dimensi etik dalam Ruang Kebudayaan
Keterkaitan antara dimensi budaya dengan ilmu komunikasi tidak terlepas dari estetika. Sedangkan estetika sendiri berhubungan dengan nilai pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya(Bakhtiar, 2004: 166). Ilmu komunikasi dari sudut estetika merupakan seni, karena didalamnya termuat seni indah ataukah tidak indah. Sehubungan dengan hal tersebut komunikasi antar budaya dianggap hal yang sangat penting dalam pembangunan.
Komunikasi adalah pertukaran simbol, jadi komunikasi antar budaya adalah pertukaran simbol dari dua orang atau lebih (etnis/ras) yang dilatar belakangi oleh faktor perbedaan budaya (purwasito, 2004: 2) antara lain:
a.      Bahasa
b.      Keyakinan
c.       Adat istiadat
d.      Kepercayaan
e.      Status sosial-ekonomi dan sebagainya
Masalah pokok yang harus kita lihat, yaitu bahwa nilai-nilai kehidupan masyarakat modern konsumeritis sudah dikomoditikan. Kita mengukur diri kita ini bernilai hanyalah berdasar pada apa yang kita peroleh dan apa yang kita punyai. Dunia modern dengan media komunikasi mencipta gaya hidup dengan memberi pandangan bahwa kepribadian, harga diri dan kebahagiaan hanya dapat diperoleh melalui pembelian dan pemilikan sebuah barang komoditi. Tidak jarang juga banyak orang modern yang merasa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan kalau mereka mulai memasuki masa pensiun. Ini karena mereka merasa dibebani anggapan bahwa sudah tak mampu lagi menghasilkan sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
Kemudian etika komunikasi juga tampak jelas dalam peranan atau fungsi komunkasi. Komunikasi berungsi menyampaikan informasi mengenasi suatu kebenaran. Tetapi dari satu kepentingan dengan cara apapun juga kebenaran yang dimaksud sesungguhnya hanya dimanfaatkan untuk mengejar kepentingan itu. Kebenaran disederhanakan menjadi semacam kepercayaan yang dianggap masuk akal dalam batas-batas pengetahuan atau cara berpikir tertentu.
Ditambah lagi selama ini memang ada kaitan khusus antar ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan perkembangan dunia ilmu pengetahuan biasanya diinformasikan melalui simbol-simbol publik dan disebarluaskan semaksimal mungkin. Karena itu, dalam arti tertentu apa yang dimaksud sebagai kebenaran ilmiah juga kan sangat tergantung pada pihak-pihak yang mampu merekayasa, menguasai dan mendayagunakan simbol-simbol dalam media komunikasi itu.
Lebih lanjut penyebaran pengetahuan, informasi dan produk itu sedapat mungkin diusahakan secara terikat dan seragam. Tujuan pokok biasanya adalah untuk menjangkau konsumen atau populasi manusia umunya secara maksimal. Pemilik modal dan produsen barang bekerja sama dengan para distributor dan pihak-pihak lain yang berkaitan akan sangat berkepentingan agar para konsumen mereka disetiap negara atau lokasi geografis mempunyai kebudayaan atau adat yang seragam.
Media komunikasi yang berstruktur beku dan bakuseperti ini berfungsi secara efektif untuk mengatur isi kepala dan keyakinan masyarakat bahwa yang perlu bukanya apa yang dapat dipikirkan tetapi bagaimana berpikir dan membatasi pemikiran itu hanya dalam hal-hal tertentu saja.
Masalahnya adalah media komunikasi modern sekaran ini cenderung tidak lagi menyajikan makna dan pesan yang komunikatif. Dengan begitu, media komunikasi mengontrdan berfungsi sebagai satpamyang menjaga pintu. Sebuah media dapat saja menentukan siapa siapa saja yang boleh menerima informasi, dan informasi macam mana yang akan dibagikan kepada orang lain. Media komunikasi menyaring, memilih mana yang perlu atau tidak perlu, memolesnya dan mengatur atau mendistribusikan informasi yang masuk dan keluar.
Dengan kesadaran akal budinya seseorangdapat saja memilih sebuah cita-cita (bukan perintah) yang ditawarkan oleh sebuah komunitas tertentu. Cita-cita yang biasanya mensyaratkan kontrol atas birahi, nafsu atau keinginan lain yang juga melekat pada kemanusiaan. Ketiadaan kebebasan menggunakan akal budi sesungguhnya adalah sebuah obsesi, khayalan atau bahkan perokupasi. Tanpa kebebasan berpikir dan berbincang-bincang tentang berbagai macam informasi komunikatif yang disampaikan bisa jadi itulah kemanusiaan yang dimiskinkan. Apalagi hal itu pun dihasilkan oleh salah satu hasil (jerat) rekayasa kebudayaan manusia.
Sumber:
Tebba Sudirman. 2008. Filsafat Dan Etika Komunikasi, Ciputat: Penerbit Pustaka Irvan.
Zamroni Muhammad. 2009. Filsafat Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini