Nama : Jauza Hibatulloh Majiid
KPI5C
Etika Komunikasi dan Kebudayaan: Memahami Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Dalam istilah filsafat, etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat dan kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak. Tindakan manusia ditandai oleh berbagai macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral dan otonom.
Komunikasi diperlihatkan sebagai ilmu yang berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lain. Ini menandakan bahwa komunikasi menyentuh berbagai macam bidang kehidupan manusia. Etika komunikasi mencoba untuk mengelaborasi standar etika yang digunakan oleh komunikator dan komunikan. Budaya (culture) adalah produksi dan sirkulasi dari rasa, makna, dan kesadaran. Ranah makna yang menyatukan ranah produksi (ekonomi) dan hubungan sosial (politik). Dengan kata lain, budaya adalah ranah reproduksi bukan atas benda-benda (material) tetapi atas hidup.
Hubungan antar budaya dan komunikasi penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar komunikasi. Kemiripan budaya dalam presepsi memungkinkan makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial maupun peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan, dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya. Sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut akan berbeda pula (Mulyana: 2000,25).
Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Komunikasi antar manusia selalu berdasarkan etika tertentu. Termasuk dalam komunikasi antar budaya yang etikanya sudah tentu berdasarkan budaya tertentu atau berdasarkan kesepakatan dari sekelompok masyarakat budaya tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada banyak kode etik yang ditampilkan sebagai etika yang berbeda-beda karena berasal dari kebudayaan yang berbeda pula. Dalam kebudayaan, etika digunakan sebagai prioritas dalam membedakan apa yang patut dan tidak patut dalam berinteraksi. Salah satu perangkat interaksi tersebut melalui etika komunikasi dalam kebudayaan itu.
Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, kita harus menyadari faktor-faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi kita, baik dari budaya kita maupun dari budaya pihak lain. Kita tidak hanya perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga persamaan-persamaannya. Tidak ada standar etika komunikasi antarbudaya yang baku.
Inilah yang menjadi pangkal tolak bagi jalan pikiran dari aliran relativisme yang menetapkan etika dan norma-normaperbuatan baik menurut adat kebiasaan. Relatif artinya nisbi, lawan dari mutlak. Pendapat ini didasarkan atas hasil penelitian sarjana Sosiologi dan sarjana Antropologi tentang berbagai jenis kebudayaan. Hal ini selengkapnya diberi nama relativisme dalam kebudayaan. Menurut pendapat mereka norma-norma yang mutlak tidak ada. Sesuatu dinilai baik dalam suatu kebudayaan, tetapi mungkin dinilai buruk di dalam kebudayaan lain. Contohnya adalah di dalam masyarakat yang bersifat matrilineal ditentukan benar bahwa posisi perempuan adalah posisi yang paling dihargai dibanding laki-laki. Sedangkan dalam masyarakat yang bersifat patrilineal nilai-nilai ini sangat berbalik, dan jelas sangat berlainan.
K.S Sitaramdan Roy Cogdell (Johannesen, 1996; 231) menyajikan standar etika komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama terhadap budaya sendiri.
2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain.
3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya.
4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain.
5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain.
6. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang beebeda.
7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang lain.
8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang berbeda budaya.
9. Berhati-hati dengan simbol nonverbal yang digunakan pada budaya orang lain.
10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang dari budaya yang sama di hadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.
Dari standar etika yang dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar etika komunikasi dalam kebudayaan dapat dikategorikan kedalam tiga hal yaitu:
- Kognitif (pengetahuan) tentang budaya lain, Menurut Mulyana, ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama, atau ras yang berbeda, kita dihadapkan dengan sistem nilai atau aturan yang berbeda. Oleh karena itu, memahami sistem nilai orang lain adalah suatu keharusan.
- Afektif (sikap) terhadap budaya lain, hendaknya menghargai dan tidak memandang rendah budaya lain serta harus memperhatikan perilaku nonverbal. Arnold Ludwig dalam bukunya, menggarisbawahi setiap implikasi etika beberapadimensi komunikasi nonverbal: kebohongan tidak hanya ditemukan dalam pernyataan verbal.
- Psikomotorik (perilaku), berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya perlu menghormati budaya tersebut dengan segala aspeknya, serta perlu menghindari stereotip. Dengan demikian, stereotip antarsuku, agama, dan ras harus ditinggalkan dengan mengedepankan persamaan dan saling menghormati perbedaan di antara kita. Sehingga pada gilirannya komunikasi diantara budaya yang berbeda akan berjalan baik.
Referensi :
Hartley John, Communication, Cultural, & Media Studies, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2010),hlm. 29
Muh. Said, Etik Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita), 1980, Cet ke-2, hlm. 99.
Deddy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: PT remaja Rosdakarya), cet ke-12, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar