Senin, 27 Oktober 2014

Tugas 7_Syifa Fauziah Syukur_KPI 5 D

Etika dalam Komunikasi dan Kebudayaan

Komunikasi

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dahulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.

Pengertian komunikasi paling populer datang dari Harold Lasswell, yakni "Who says what in which channel to whom and with what effects", siapa mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa dan dengan pengaruh apa.[1]

Komunikasi didefinisikan sebagai apa yang terjadi bila makna diberikan kepada suatu perilaku. Bila seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberinnya makna, komunikasi telah terjadi terlepas dari apakah kita menyadari perilaku kita atau tidak. Bila kita memikirkan hal ini kita harus menyadari bahwa tidak mungkin bagi kita untuk  tidak berperilaku. Setiap perilaku memiliki potensi komunikasi. Maka tidaklah mungkin bagi kita untuk tidak berkomunikasi; dengan kata lain, kita tak dapat tidak berkomunikasi.

Budaya

Kata budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir,  perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.[2]

Menurut Koentjaraningrat (1980), kata "kebudayaan" berasal dari kata sansakerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti "budi" atau "akal". Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan "hal-hal yang bersangkutan dengan akal". Sedangkan kata "budaya" merupakan perkembangan majemuk dari "budidaya" yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut.[3]

Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan

Komunikasi antar manusia selalu berdasarkan etika tertentu. Termasuk dalam komunikasi antar budaya yang etikanya sudah tentu berdasarkan budaya tertentu atau berdasarkan kesepakatan dari sekelompok masyarakat budaya tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada banyak kode etik yang ditampilkan sebagai etika yang berbeda-beda karena berasal dari kebudayaan yang berbeda pula. Dalam kebudayaan, etika digunakan sebagai prioritas dalam membedakan apa yang patut dan tidak patut dalam berinteraksi. Salah satu perangkat interaksi tersebut melalui etika komunikasi dalam kebudayaan itu.

Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, kita harus menyadari faktor-faktor budaya yang mempengaruhi komunikasi kita, baik dari budaya kita maupun dari budaya pihak lain. Kita tidak hanya perlu memahami perbedaan-perbedaan budaya, tetapi juga persamaan-persamaannya. Tidak ada standar etika komunikasi antarbudaya yang baku.

Inilah yang menjadi pangkal tolak bagi jalan pikiran dari aliran relativisme yang menetapkan etika dan norma-normaperbuatan baik menurut adat kebiasaan. Relatif artinya nisbi, lawan dari mutlak. Pendapat ini didasarkan atas hasil penelitian sarjana Sosiologi dan sarjana Antropologi tentang berbagai jenis kebudayaan. Hal ini selengkapnya diberi nama relativisme dalam kebudayaan. Menurut pendapat mereka norma-norma yang mutlak tidak ada. Sesuatu dinilai baik dalam suatu kebudayaan, tetapi mungkin dinilai buruk di dalam kebudayaan lain. Contohnya adalah di dalam masyarakat yang bersifat matrilineal ditentukan benar bahwa posisi perempuan adalah posisi yang paling dihargai dibanding laki-laki. Sedangkan dalam masyarakat yang bersifat patrilineal nilai-nilai ini sangat berbalik, dan jelas sangat berlainan.[4]

K.S Sitaramdan Roy Cogdell (Johannesen, 1996; 231) menyajikan standar etika komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama terhadap budaya sendiri.

2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain.

3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya.

4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain.

5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain.

6. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen yang beebeda.

7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang lain.

8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang lain yang berbeda budaya.

9. Berhati-hati dengan simbol nonverbal yang digunakan pada budaya orang lain.

10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang dari budaya yang sama di hadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.

Dari standar etika yang dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar etika komunikasi dalam kebudayaan dapat dikategorikan kedalam tiga hal yaitu:

  1. Kognitif (pengetahuan) tentang budaya lain, Menurut Mulyana, ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama, atau ras yang berbeda, kita dihadapkan dengan sistem nilai atau aturan yang berbeda. Oleh karena itu, memahami sistem nilai orang lain adalah suatu keharusan.[5]
  2. Afektif (sikap) terhadap budaya lain, hendaknya menghargai dan tidak memandang rendah budaya lain serta harus memperhatikan perilaku nonverbal. Arnold Ludwig dalam bukunya, menggarisbawahi setiap implikasi etika beberapadimensi komunikasi nonverbal: kebohongan tidak hanya ditemukan dalam pernyataan verbal.
  3. Psikomotorik (perilaku), berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya perlu menghormati budaya tersebut dengan segala aspeknya, serta perlu menghindari stereotip. Dengan demikian, stereotip antarsuku, agama, dan ras harus ditinggalkan dengan mengedepankan persamaan dan saling menghormati perbedaan di antara kita. Sehingga pada gilirannya komunikasi diantara budaya yang berbeda akan berjalan baik.

 



[1]Onong Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 1994.

[2]Suharsodan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya), 2005.

[3]Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: PT. Refika Adimata), 1998, Hlm. 12.

[4] Muh. Said, Etik Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita), 1980, Cet ke-2, hlm. 99.

[5] Deddy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: PT remaja Rosdakarya), cet ke-12, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini