NAMA : IRVAN FATAHILLAH
KPI 5 D 1112051000122
ETIKA DALAM KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain.
Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum.
Tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika.
Istilah etika berasal dari kata ethikus (latin) dan dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan buruk tingkah laku manusia.
Jadi, etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat.
Beberapa pendpat para ahli mengenai pengertian etika antara lain sebagai berikut:
Pendapat Drs. D.P. Simorangkir (Etika atau etik adalah pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik).
Kita menyadari bahwa setiap budaya memiliki kekhasannya masing-masing. Bahkan seringkali saling bertolak belakang. Di satu budaya sikap tertentu dapat diterima, namun dalam budaya yang lain tidak. Sebagai contoh ketika saya seorang Jawa berada di Tumbangtiti (kota kecil yang letaknya sekitar 100 km dari Ketapang, Kalimantan Barat) menanyakan tujuan kepada tetangga dekat yang hendak bepergian. Kemudian dijawab dengan sepatah kata "entah" yang bagi saya cukup mengagetkan. Padahal konteks pembicaraan itu bermaksud untuk menyapa, namun berbeda tanggapannya.
Dari pengalaman itu, saya merasakan perlunya pemahaman lintas budaya sehingga perbedaan itu tidak mengakibatkan persoalan atau kesalahpahaman bagi kedua pihak yang terlibat. Dalam banyak kasus, konflik budaya mudah ditemui di berbagai tempat pertemuan multi budaya seperti Yogya dan kota-kota besar lainnya. Maka dalam artikel ini, saya hendak membahas permasalahan konflik kultural dalam kasus di atas.
Pertama-tama kita perlu menyadari dua budaya antara Jawa dan Kalimantan. Salah satu falsafah Jawa adalah tepa salira terhadap sesama. Artinya kurang lebih saya artikan sebagai sikap saling menghargai terhadap sesama. Falsafah itu mengandung konsekuensi bahwa setiap orang bertanggung jawab juga terhadap kehidupan orang lain. Maka, ia perlu mengerti pula urusan orang lain pula. Dalam hal ini, konteksnya adalah basa-basi untuk mendekatkan relasi dengan tetangga. Tambah lagi, jawaban dari pertanyaan itu bukanlah tujuan yang utama. Sementara itu, masyarakat Kalimantan yang dipengaruhi oleh keluasan alam dan lingkungan mereka membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan orang Jawa. Kebudayaan dipengaruhi juga oleh luas wilayahnya. Semakin luas wilayah kehidupan budaya tertentu, maka semakin luas pula ruang yang diperlukan oleh mereka. Itu berarti bahwa mereka semakin independen dan tak ingin dicampuri urusannya. Maka sebagai jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak menjawab. Secara spontan, pertanyaan di atas juga mengusik kebebasan mereka sehingga menimbulkan stimulus untuk bereaksi spontan dan emosional.
Berdasarkan analisis di atas, persoalannya terletak pada keluasan ruang bebas yang diperlukan oleh masing-masing budaya. Budaya yang satu membutuhkan ruang yang lebih luas dibandingkan oleh budaya yang lain. Sementara budaya yang lain justru merasa bahwa ruang bebas itu dibentuk secara bersama-sama. Apabila dicermati lebih lanjut, maka masing-masing memiliki aturan berbeda yang menerangi realitas yang sama yaitu mengenai penempatan diri terhadap orang lain. Aturan yang satu cenderung mengambil jarak, sementara yang lain cenderung makin menghilangkan jarak dalam tataran relasi bermasyarakat.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan di sini bahwa konflik budaya memungkinkan munculnya masalah yang lebih besar bagi kedua pihak yang bersalah paham. Persoalan kecil, tentang sapaan untuk berelasi dalam masyarakat dapat menghancurkan tujuan yang sebenarnya yaitu untuk bermasyarakat.
Bagaimanapun juga konflik budaya sangat berpeluang memunculkan permasalahan di dalam masyarakat multikultural seperti Yogya. Karenanya, siapa saja dan terutama orang-orang muda perlu belajar tentang pemahaman lintas budaya sehingga mereka dapat memahami perbedaaan budaya sebagai kesempatan untuk memperkaya budaya dan seni hidup manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar