Selasa, 13 Oktober 2015

YAMA NURAINI KPI 1-B TUGAS 5 KELUARGA BESARKU

Deskripsi Keluarga Secara Sosiologis

I.                   Asal usul

Keluarga dari Ibu saya adalah keluarga keturunan darah Betawi. Tetapi lebih tepatnya nenek yang asli betawi, karena kakek masih ada campuran Sunda. Terbukti dengan cara saya –juga saudara-saudara yang lain– memanggil mereka dengan sebutan 'ninik' dan 'aki' yang berarti 'nenek' dan 'kakek' dalam bahasa Sunda. Keluarga ini sudah lama bermukim di daerah Pondok Ranji, Tangerang Selatan. Dengan bermukimnya keluarga ini di Tangerang, istilah "Betawi Pinggiran"-pun menjadi istilah kami. Keluarga ini cukup terkenal di daerah Pondok Ranji. Karena buyut saya yang bernama Nyai Gajem adalah seorang tokoh yang mempunyai "kharisma" dan sangat dihargai di lingkungan masyarakat. Lalu Nyai Gajem berbesanan dengan Kong Jarman, yang juga merupakan tokoh masyarakat betawi yang cukup terkenal. Dan sampai sekarang, semua cucu dan cicit dari buyut saya rata-rata bermukim di Pondok Ranji.

Keluarga dari ayah saya pun berdarah betawi, tetapi tidak sekental dengan keluarga dari ibu saya. Keluarga ini bermukim di Kampung Utan, Tangerang Selatan. Saya kurang mengetahui baik asal-usul dari keluarga ayah saya karena memang saya kurang dekat dengan keluarga dari ayah saya. Keluarga ini sangat besar. Ayah saya sendiri adalah anak ke-9 dari 11 bersaudara. Walapun ibu saya ikut tinggal di Kampung Utan bersama ayah saya, tetapi saya lebih dekat dengan keluarga ibu.

Keluarga besar saya mempunyai sifat berani, menghargai, jujur, dan toleransi.

II.                Jaringan Sosial

Relasi usaha dalam keluarga besar saya ada berbagai macam. Ada yang pekerjaannya sebagai pengajar, pegawai kantoran, dan sebagai pebisnis. Tetapi bisnis menjadi relasi usaha utama di keluarga besar saya.

Bisnis yang dijalankan keluarga besar saya adalah bisnis kuliner. Bisnis kuliner diawali ninik dan aki dengan berjualan opak. Seiring berjalannya waktu ninik dan aki membuka rumah makan betawi dengan menu anadalannya adalah soto betawi. Rumah makan itu bernama Warung Soto Betawi H. Usman Ali yang telah berdiri sejak tahun 1980-an. H. Usman Ali merupakan nama aki saya. Yang dari awal hanya warung kecil-kecilan, hingga sekarang menjadi sebuah rumah makan yang cukup terkenal sampai ke luar kota. Sudah ada beberapa media cetak yang meliputi rumah makan ini dan pernah juga beberapa kali diliput di televisi. Dan yang bekerja di sini tidak jauh-jauh adalah anak-anak dari ninik dan aki, termasuk ibu saya. Hampir semua anak-anak ninik dan aki bekerja di sini. Sekaligus untuk melanjutkan usaha keluarga ini. Tidak hanya keluarga inti ninik dan aki saya saja yang bekerja disini, tetapi rata-rata semua keturunan Nyai Gajem–yang merupakan ibunya ninik– pun bekerja di sini. Jadi istilahnya rumah makan ini adalah usaha milik keluarga.

Tetapi memang tidak semua anggota keluarga bekerja di rumah makan tersebut. Seperti yang saya tulis tadi, ada juga yang berbisnis di bidang lain, ada juga yang menjadi pegawai kantoran, dan ada juga yang menjadi pengajar. Karena keluarga ini memang tidak mewajibkan anggota keluarganya untuk bekerja di sini. Tetapi keluarga inti dari ninik dan aki saya setidaknya tahu akan bisnis ini. Karena mau tidak mau, bisnis ini akan turun-temurun kepada cucu dan cicitnya.

Budaya Betawi masih dilestarikan di keluarga ini. Contohnya dalam hal berkomunikasi. Di keluarga ini logat betawinya masih kental, hanya saja kami jarang menggunakan kata 'e' di ujung kata seperti apa yang orang-orang tahu tentang logat betawi. Keluarga ini juga masih menggunakan kosakata betawi. Di keluarga inipun masih menggunakan bahasa Betawi dalam panggilan. Seperti halnya panggilan 'nyak'; 'babeh'; 'cing'; 'cang'; 'mpok'; dan 'abang'.

Pada saat pernikahanpun, budaya betawi masih terlihat di keluarga ini. Adanya palang pintu, makanan betawi seperti laksa, dan sebagainya. Tetapi memang tidak terlalu kental. Karena pengantinpun sudah tidak menggunakan pakaian adat betawi, tidak adanya lenong, dan sebagainya. Pada saat dua hari sebelum pernikahan, para wanita  membuat kue. Sementara laki-laki ikut membantu dalam bidang teknisi. Pada saat H-1 pernikahan, ada namanya malam kumpul. Di mana semua sanak saudara berkumpul di tempat yang akan diselenggarakannya pernikahan. Juga ada budaya memberi makanan yang berisi nasi lengkap beserta lauk kepada saudara yang dituakan, sesepuh kampung, guru ngaji dan pejabat desa. Dengan tujuan untuk mengundang datang ke pernikahan secara lebih resmi. Biasanya, semua yang tadi diberi makanan tadi datang dengan membawa rombongan.

Budaya memasak sendiripun sudah ada sejak dulu. Tidak hanya untuk pernikahan, acara lain yang membutuhkan adanya makanan semua dimasak oleh keluarga kami sendiri. Kami jarang atau hampir tidak pernah menggunakan jasa catering.

Budaya lain yang di keluarga ini adalah mengunjungi sanak saudara yang lebih tua dan memberikan kue atau uang pada saat lebaran. Budaya ini telah ada sejak dulu. Pada saat lebaran, ninik saya pun banyak menerima kue-kue ataupun dalam bentuk uang. Budaya ini juga berlaku di keluarga ayah saya. Pada hari lebaran, keluarga ini pun ada budaya berkumpul pada hari pertama lebaran. Biasanya berkumpul di rumah ninik saya yang memang menjadi pusat jika ada perkumpulan keluarga. Budaya ini ada sejak dahulu. Tetapi karena ninik dan aki sudah tiada, acara berkumpul berubah menjadi di rumah adik ninik saya dan harinya diubah menjadi hari kedua lebaran. Budaya ini baru berlaku selama dua tahun. Perkumpulan ini pun sangat santai, biasanya ada acara makan-makan, berbagi cerita dan lebih banyak bercandanya. Rata-rata semua keluarga saya sangat lucu. Pada setiap perkumpulan pasti ada gelak tawanya. Biasanya pada ujung perkumpulan, kami merencanakan liburan.

 

III.             Nilai-nilai dan Sistem Sosial Budaya

 

Bicara soal nilai-nilai dan sistem sosial budaya di keluarga besar saya, keluarga saya merupakan salah satu keluarga yang mempunyai banyak nilai-nilai dan sistem sosial budaya atau lebih tepatnya pantangan. Pantangan ini merupakan adat istiadat yang dipertahankan dari zaman buyut saya. Keluarga ini menggunakan teori struktural-fungsional yang digunakan oleh Spencer dan Durkheim. Di antaranya adalah:

 

1.      Tidak boleh menggunakan gelang kaki. Karena menyerupai anjing.

2.      Pada saat makan, jika ada anak –yang ikut makan–  yang masih perawan atau bujang, alat makan tidak boleh ditumpuk.

3.      Tidak boleh menggunting benang di baju yang sedang dipakai.

4.      Jika sedang makan dan ingin menambah porsi nasi, harus disisakan beberapa butir sebelum menambahkan nasi. Setidaknya piring tidak kosong.

5.      Tidak boleh makan buah labu dan jantung pisang.

6.      Tidak boleh duduk di depan pintu.

7.      Tidak boleh tidur tengkurap.

8.      Tidak boleh meninjak bantal.

9.      Tidak boleh memegang kepala orang lain.

10.  Tidak boleh menyapu, menggunting kuku dan memotong rambut di malam hari.

 

Sebenarnya masih banyak lagi nilai-nilai dan sistem sosial budaya di keluarga kami. Tetapi ada satu hal yang harus ditanamkan di diri anggota keluarga kami yaitu harus selalu menjaga nama baik keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini