1. 1. Asal Usul
Dilahirkan di Bogor 14 Agustus 1997, saya Mutia Drajat anak pertama dari Ajat Sudrajat dan Iyus Yusro, cucu pertama dari Abah Misnan Zainan dan Umi Awiyah, dan cicit pertama dari Emak Aminah dan Alm. Bapak Usim. Dalam keluarga kecil saya, saya hanya dua bersaudara. Memiliki satu adik perempuan yang bernama Itsna Safira Drajat.
Keluarga bapakberdomisili di Sukabumi. Kakek dan nenek telah meninggal. Almh. Syamsyiah meninggal di tahun 1980 dan Alm. Abdul Rasyid meninggal pada 18 Juni 2014 lalu. Meninggalnya Abah dikarenakan penyakit orang tua. Umur Abah ketika meninggal mencapai usia 115 tahun. Sebelumnya tidak pernah ada riwayat penyakit dalam diri Abah. Abah adalah kakek tua yang paling kuat dan sehat yang pernah saya temui. Pola makan yang sehat dan teratur, ngarit di sawah, serta ibadah yang taat mungkin rahasia beliau sehat dan segar sepanjang hidupnya. Ada cerita lucu yang pernah saya alami bersama Abah. Meskipun umurnya melebihi umur kemerdekaan Indonesia, suatu ketika saya yang waktu itu masih SD, dengan rasa penasaran saya tanya kepada beliau tentang pelajaran sejarah yang saya pelajari di sekolah, saya bertanya seperti bagaimana Indonesia dahulu dijajah oleh Belanda dan Jepang?, bagaimana dahulu hiruk pikuk Indonesia mencapai kemerdekaan?, Abah dulu apakah ikut perang membela Negara?. Panjang lebar saya tanyakan kepada Abah. Namun Abah justu menjawab dengan singkatnya, "Ah.. Abah mah teu nyaho, poho". Sambil senyum- seyum. Saya membalas dengan guarauan "Ah, Abah kumaha..". Begitulah percakapan sinkat yang masih saya kenang hingga saat ini.
Abah dan Umi memiliki 6 anak, namun anak pertama meninggal karena sakit jantung dan kini tersisa 5 anak. Bapak adalah anak ketiga dari 5 bersaudara tersebut.Sebagian besar keluarga bapak tinggal di Sukabumi, hanya 2 orang yang merantau ke Jakarta. Bapak dan adiknya, Suhendra. Intensitas pertemuan saya dengan keluarga di Sukabumi sangat jarang. Via telepon dan pertemuan di setiap hari raya idul fitri yang menjadi penyambung silaturahim. Kini saya telah memiliki 10 sepupu yang berada di Sukabumi.
Dari keluarga ibu Alhamdulillah saat ini, saya masih memiliki satu Uyut, biasa dipanggil Emak Abung. Suami Emak, Alm. Bapak Usim telah meninggal sekitar tahun 80an. Emak dan Bapak memiliki 14 anak, seperti orang- orang jaman dulu pada umumnya yang memiliki jumlah anak diatas 10 orang. Namun kini hanya tinggal 11 anak, karena anak pertama dan keenam meninggal karena keguguran, dan anak kedua meninggal karena sakit. Anak ketiga Emak adalah nenek saya, Umi Awiyah. Umi (60 tahun) dan Abah (63 tahun) memiliki 7 anak yang kini tinggal 6 orang karena anak keempat meninggal karena sakit. Ibu merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara tersebut. Karena kakaknya ibu yang dahulu kuliah dan tinggal selama 12 tahun di Mesir dan adik- adik ibuyang masih di bangku sekolah, membuat ibu menikah muda di masa kuliahnya. Pernikahan ibu dan ayah terjadi karena perjodohan. Sebelumnya mereka saling tidak mengenal, bahkan sebelumnya ibu memiliki kekasih. Singkatnya, kerabat ayah yang mengenalkan ayah pada keluarga ibu. Menikah dan mempunyai anak, yaitu saya. Itulah sebabnya saya menjadi anak pertama yang amat disayang kala itu, cucu pertamanya Abah dan Umi yang makin membuat saya menjadi cucu kesayangan keluarga dikala itu juga, serta leader cicit- cicit Emak yang saat ini masih sangat kecil.
Meskipun banyak anak dan cucu Emak yang telah berkeluarga dan tinggal jauh bersama keluarganya masing- masing, tetap saja karena jumlah anggota keluarga yang sangat banyak, dalam satu RT kampung saya didominasi oleh keluarga saya dan sisanya pindahan atau pendatang.
2. Jaringan Sosial
Keluarga pernah mengelola koperasi keluarga. Modal membangun koperasi ini hasil dari patungan per keluarga. Beberapa hasil panen disetorkan ke koperasi. Ada pula pinjam meminjam uang seperti koperasi pada umumnya. Anak- anak pada masa itu yang bertugas untuk menagih hutang kepada peminjam, salah satu anak itu adalah bapak. Begitulah seperti yang bapak tuturkan. Namun koperasi keluarga ini sudah tidak ada.
Pada tahun 2000an, keluarga memproduksi sepatu yang di bawa ke perusahaan sepatu Yongki Komaladi. Home industry ini dikelola bersama dimana pekerjanya adalah keluarga di bawah pimpinan Abah. Bisnis yang berjalan selama 3 tahun ini terpaksa berhenti karena mengalami kebangkrutan akibat hutang yang tidak dibayar- bayar oleh konsumen.
Koperasi keluarga dan home industry sepatu yang pernah gagal, kini keluarga hanya menjalankan arisan keluarga yang dilaksanakan sebulan sekali. Arisan ini dipegang oleh Mbah Maryam, anak ke 4 Emak Abung.
3. Nilai- Nilai dan Sistem Sosial Budaya yang Dipergunakan di Dalam Keluarga
Dalam teori sosiologi, dikenal teori konflik sebagaimana yang telah dikemukakan Karl Max,menyatakan bahwa teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang ada di atas. Teori ini menekankan pada pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Begitupula dalam keluarga. Setiap keluarga memiliki aturan tersendiri untuk menertibkan anggota keluarganya. Dalam keluarga saya, yang mayoritas anggota keluarganya berlatar belakang pendidikan pesantren, maka dalam keluarga hingga saat ini diwajibkan bagi anak- anak, cucu- cucu, hingga cicit- cicitnya untuk menuntut ilmu di Pesantren atau di sekolah yang berbasis agama. Baik itu ketika SD, MTs, atau pun MA. Tergantung kebijakan setiap orang tuanya. Yang penting memiliki dasar agama sejak kecil.
Di keluarga, setiap minggunya dilaksanakan pengajian yang mengkaji ilmu Al-quran, fiqih, kitab kuning dan ilmu islam lainnya. Pengajian ini dibagi 2, yaitu pengajian ibu- ibu dan bapak- bapak. Pengajan ibu- ibu dilaksanakan setiap hari sabtu siang (ba'da dzuhur sampai ashar) di mushola yang dipimpin oleh nenek saya, Umi Awiyah atau biasa disapa oleh masyarakat Ustadzah Awiyah. Sedangkan pengajian bapak- bapak dilaksanakan setiap hari minggu malam di rumah Umi yang dipimpin oleh kakak ibu, Uwa Sufyan.
Setiap lebaran Idul Fitri di Sukabumi, semua keluarga harus berkumpul di rumah kakek. Ini adalah ritual wajib keluarga. Tidak boleh ada yang makan di rumah masing- masing. Maka mereka membawa makanan dari rumah masing- masing, kemudian makan bersama. Tidak sampai disitu, belum ada yan diperbolehkan makan sebelum kakek makan dahulu. Setelah kakek makan, anak- anaknya dan cucu- cucunya baru diperbolehkan makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar