Marxisme
Jika kita mendengar istilah Marxisme apa yang muncul di benak kita pertama kali mungkin adalah Karl Marx –meski ajaran Marx sendiri justru pertama kali dibakukan menjadi Marxisme oleh Friedrich Engels (1820-1895) dan Karl Kautsky (1854-1938)- dan Komunisme beserta 'kekejaman' dan 'kesadisan'nya yang menyertai tabir gelap sejarah dunia. Namun, masyarakat, khususnya di Indonesia yang pernah memiliki sejarah 'kelam' (baca: dikelamkan oleh rezim Orde Baru melalui represi dan stereotipe segala perilaku subversif-kiri radikal serta opresi ideologis anti-Komunisme-nya) dengan Komunisme, yakni pemberontakan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), seringkali mencampuradukkan istilah Komunisme dengan Marxisme seolah-olah Marxisme adalah Komunisme dan juga sebaliknya.
Akibatnya, masyarakat terkadang menolak, bahkan membenci, Marxisme secara membabi buta tanpa pernah mempelajarinya. Salah satu bukti 'alergi' masyarakat Indonesia terhadap segala hal yang berbau Marxisme adalah pembakaran buku milik Franz Magnis-Suseno, salah satu guru besar di STF Driyakarya, yang berjudul "Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme" oleh Aliansi Anti-Komunisme (AAK) serta pencekalan film 'Lastri', yang masih dalam proses pembuatan, besutan sineas Eros Djarot oleh Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap 'sengaja' memunculkan kembali nuansa Komunisme. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ideologi anti-Komunisme menancap dalam benak mayoritas masyarakat Indonesia, yang selalu digambarkan sebagai ideologi yang menolak eksistensi Tuhan dan Pancasila sebagai falsafah dasar negara. Namun, diskursus mengenai Komunisme dan Marxisme pada era pasca Orde Baru pernah mencapai klimaksnya saat terjadi perseteruan antara DPR dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid berkenaan dengan pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pelarangan ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisime.
Dari beberapa kejadian tersebut, kita dapat melihat bahwa mempelajari Marxisme atau ideologi-ideologi "Kiri" lainnya (atau bahkan hanya membaca buku-buku Karl Marx) masih dianggap sebagai kegiatan terlarang bagi sebagian besar masyarakat kita, karena dianggap dapat menumbuhkan kembali ideologi Komunisme yang pernah mengalami masa jayanya di negeri ini melalui kendaraan politiknya, Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, untuk memperoleh sedikit gambaran awal mengenai Marxisme dan perbedaannya dengan Komunisme, agar tidak terjadi misinterpretasi diantara keduanya, kiranya perlu bagi penulis untuk mengutip salah satu penjelasan dari ahli ilmu sosial mengenai pengertian Marxisme.
Menurut Franz Magnis-Suseno (2003: 5), Marxisme tidak sama dengan Komunisme. Komunisme, sejak Revolusi Oktober 1917 dibawah kepemimpinan V.I Lenin, adalah gerakan dan kekuatan politis-ideologis internasional partai-partai Komunis yang menggunakan "Marxisme-Leninisme" sebagai doktrin dan ideologi formal mereka. Jadi, Marxisme hanyalah salah satu komponen dalam sistem ideologi Komunisme, meski kaum Komunis memang selalu mengklaim merekalah pewaris resmi konsepsi Marx tersebut. Namun, istilah Komunisme sendiri, sebelum Lenin memonopoli istilah tersebut, telah digunakan untuk mengacu pada cita-cita utopis masyarakat, dimana semua kepemilikan pribadi (private ownership) dihapus dan dianggap sebagai milik umum (public property) guna mengeliminasi gap antara kaum borjuis dan proletar serta membantu dalam menciptakan kemakmuran bersama.
Setalah memperoleh penjelasan singkat mengenai perbedaan Marxisme dan Komunisme (dengan harapan tidak ada lagi anggapan bahwa Marxisme adalah Komunisme dan juga sebaliknya) beserta respon masyarakat Indonesia terhadap segala hal yang berkaitan dengan Marxisme/Komunisme setelah tumbangnya rezim Orde Baru, cukup penting pula bagi penulis untuk memaparkan titik pijak teori-teori Marxisme seperti teori alienasi, teori nilai-lebih ataupun materialisme historis, serta mengenai alur perkembangan Marxisme dan varian-variannya, mulai dari Marxisme Ortodoks, Revisionisme dan Marxisme-Leninisme di bab-bab selanjutnya.
Landasan Teori Marxisme
Alienasi
Alienasi adalah suatu keadaan dimana individu terasing dari dirinya sendiri. Menurut Marx, alienasi dalam pekerjaan adalah asal muasal segala bentuk alienasi manusia karena, di dalam pekerjaan, manusia berusaha untuk mengobjektifikasi diri mereka dalam kehidupan. Pertama, pekerjaan merupakan aktivitas khas semua manusia. Manusia, bila dibandingkan dengan binatang, bekerja secara bebas dan universal sementara binatang bekerja menurut insting mereka, hanya sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, pekerjaan merupakan sarana objektifikasi manusia. Ini artinya bahwa, di dalam pekerjaan, manusia mengambil bentuk alamiah dari objek alam guna memciptakan bentuk/kreasi mereka sendiri terhadap objek alam tersebut. Ketiga, didalam pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, manusia selalu bergantung pada hasil kerja manusia lain, yang sekaligus membuktikan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial (Magnis-Suseno, 2003: 89-94)
Misalnya, saya memiliki seekor sapi yang tubuhnya sangat gemuk karena selalu memberinya rumput pilihan yang saya beli dari pasar. Suatu hari, saya menyembelihnya untuk keperluan makanan keluarga selama satu minggu dan sisanya untuk dijual ke penjual daging atau pembuat kerupuk kulit. Kulit sapi tersebut ternyata juga bisa saya manfaatkan untuk membuat bedug. Ilustrasi ini membuktikan ke-bebas-an dan ke-universal-an saya sebagai manusia yang dapat bekerja tanpa harus merasakan langsung kebutuhan dari barang yang saya hasilkan (menjual daging sapi tersebut). Dari kejadian ini, saya juga telah mewujudkan apa yang ada dikepala saya untuk menjadi suatu realitas objektif seperti yang saya kehendaki (memanfaatkan kulit sapi sebagai bedug). Terakhir, contoh ini membuktikan bahwa saya, sebagai manusia, adalah makhluk sosial karena membutuhkan hasil pekerjaan orang lain atau orang lain membutuhkan hasil pekerjaan saya (membeli rumput di pasar serta menjual daging sapi saya ke penjual daging/pembuat kerupuk kulit untuk dijualnya kembali).
Oleh karena itu, Marx memberikan penjelasan komprehensif tentang efek alienasi dalam pekerjaan terhadap para pekerja, khususnya yang berada dalam sistem kerja kapitalis, sebagai inti dari teori alienasinya. Pertama, pekerja teralienasi dari aktivitas produksi mereka karena mereka tidak mempunyai peran dalam menentukan apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana melakukannya. Kedua, pekerja teralienasi dari barang-barang hasil aktivitas produksi mereka sendiri karena mereka tidak memiliki otoritas atau privilese terhadap barang yang telah atau akan mereka buat. Ketiga, pekerja teralienasi dari para pekerja lain karena kompetisi dan uniformitas (seperti yang umumnya terjadi dalam sistem kapitalis) semakin menjauhkan mereka dari interaksi dan kooperasi dengan pekerja lain. Terakhir, pekerja teralienasi dari potensi yang terdapat di dalam diri mereka sebagai manusia.
Materialisme Historis
Sebelum menjelaskan tentang konsep materialisme historis Marx, kiranya perlu bagi penulis untuk menjelaskan terlebih dahulu prinsip dasar pandangan materialisme historis, yakni keadaan dan kesadaran. Marx menyatakan bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, melainkan sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Keadaan sosial manusia, menurut Marx, adalah produksinya atau pekerjaannya. Manusia ditentukan baik oleh apa yang mereka produksi maupun bagaimana mereka berproduksi. Pandangan inilah yang kemudian disebut materialis karena sejarah dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi, Marx menggunakan istilah Marxisme bukan sebagai kepercayaan bahwa hakikat seluruh realitas adalah materi, tetapi menunjuk pada faktor yang menentukan sejarah, yaitu keadaan material manusia (cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup) bukan pikiran manusia.
Selain itu, Marx juga mengambil filsafat dialektikanya GWF Hegel untuk mengembangkan konsepnya mengenai materialisme historis. Dialektika Hegel ini menyatakan bahwa sesuatu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh hubungannya, yang semuanya terkait dalam satu gerak penyangkalan dan pembenaran (tesis-antitesis-sintesis). Apapun merupakan kesatuan dari apa yang berlawanan, hasil dari proses dialektis yang melalui negasi atau penyangkalan. Dalam menjelaskan karakteristik penyangkalan dialektis ini, Hegel menggunakan istilah Jerman aufheben yang mempunyai tiga arti: menyangkal/membatalkan, menyimpan dan mengangkat. Dengan demikian, Hegel telah mengenalkan sebuah filsafat yang telah mempengaruhi pemikiran Marx bahwa sesuatu pada dasarnya mengandung unsur kebalikan/negasinya (opposite). Negasi dianggap sebagai penghancuran dari yang lama, sebagai hasil dari perkembangan sendiri yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradiksi internal. Jadi, segala sesuatu bergerak dari taraf yang rendah ke taraf yang lebih tinggi, atau dari keadaan yang masih sederhana kea rah yang lebih kompleks. Inilah yang kemudian mendorong Marx untuk mengembangkan filsafat materialisme dialektis.
Konsep materialisme dialektis ini, yang menyatakan bahwa setiap materi menghasilkan negasi di dalam entitasnya, merupakan aspek utama yang mempengaruhi Marx dalam menganalisa masyarakat, mulai dari permulaan zaman (primeval period) hingga masyarakat dimana Marx berada, sehingga teori ini disebut Materialisme Historis. Karena materi, oleh Marx, diartikan sebagai keadaan ekonomi, maka teori Marx juga sering disebut 'analisa ekonomis terhadap sejarah' (the economic interpretation of history). Marx beranggapan bahwa perkembangan dialektis awalnya terjadi pada struktur bawah (basis) masyarakat, yang nantinya menggerakkan struktur atas-nya (supra-struktur). Basis masyarakat bersifat ekonomis dan tersusun atas dua aspek, yaitu cara berproduksi (teknik dan alat-alat) dan relasi ekonomi (sistem kepemilikan, pertukaran dan distribusi barang). Sementara itu, supra-struktur, yang berdiri diatas basis ekonomi, terdiri atas kebudayaan, hukum, ilmu pengetahuan, kesenian, agama, dan ideologi. Berdasarkan hukum dialektika, masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis seperti dimana Marx berada. Gerak dialektis ini, yang disebabkan oleh kontradiksi dari dua kelas utama dalam masyarakat, dimulai dari komune primitif, dimana mereka masih tidak mengenal kelas dan kepemilikan pribadi, menjadi sebuah masyarakat-kelas yang mulai mengenal milik pribadi dan dan pembagian kerja, sehingga mengenal pula pembagian kelas-kelas sosial. Dalam masyarakat-kelas yang pertama, masyarakat budak (the slave-society), terjadi pertentangan/negasi antara kelas budak dan kelas pemilik budak, yang kemudian secara dialektis menjadi masyarakat feodal (the feudalist-society) dan pada akhirnya masyarakat kapitalis (the capitalist-society). Menurut materialisme historis ini, masyarakat-kapitalis, terdesak oleh kontradiksi antara kaum kapitalis dan kaum proletar, akan bertransformasi sebagai gerak dialektis terakhir menjadi masyarakat komunis (the communist-society), dimana masyarakat-tanpa-kelas ini akan terlepas dari segala bentuk kepemilikan pribadi, eksploitasi, opresi dan koersi.
Perkembangan Aliran Marxisme
Setelah kematian Marx pada 1883 serta disusul Engels pada 1895, perbedaan dan konflik dalam penafsiran pemikiran Karl Marx justru semakin menguap ke permukaan di dalam kalangan Marxis sendiri seperti Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Bernstein dan Lenin. Perdebatan tersebut dipicu oleh wacana mengenai strategi bagaimana cara mewujudkan cita-cita Karl Marx untuk menciptakan sebuah masyarakat Sosialis-Komunis.
Menurut Karl Kautsky, Marxis Ortodoks yang juga memformulasikan ide-ide Karl Marx menjadi Marxisme serta salah seorang teoretisi Partai Sosial Demokrat (PSD) Jerman, revolusi sosialis akan pecah dan kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya karena sudah menjadi hukum objektif sejarah. Hal ini tidak lepas dari teori evolusi Darwin yang menyatakan organisme-organisme berkembang dengan sendirinya kearah bentuk yang lebih tinggi, semata-mata karena faktor alami (mutasi dan seleksi). Sehingga, tambahnya, revolusi tidak perlu dipersiapkan, tetapi ditunggu. Kaum proletar tidak perlu dipersiapkan untuk kegiatan-kegiatan revolusioner, melainkan cukup diorganisasi agar mereka siap pada saat kondisi ekonomis akan melahirkan revolusi.
Tetapi menurut Eduard Bernstein, yang juga salah satu wakil PSD Jerman, Kapitalisme telah lolos dari prediksi Marx-Engels mengenai kehancurannya sendiri dengan menyesuaikan diri terhadap kondisi masyarakat yang baru. Bernstein juga me-reformulasikan gagasan Marx tentang basis dan bangunan atas yang meniscayakan sejarah sebagai perkembangan ekonomi, dengan menambahkan pentingnya etika, dengan semboyannya "Kembali ke Kant!". Selain itu, dengan anggapan bahwa Kapitalisme telah mampu melewati ramalan Marx-Engels, Bernstein kemudian lebih tertarik pada perencanaan dan perjuangan di parlemen dalam mewujudkan sosialisme. Usaha Bernstein dalam mengadakan penyesuaian Marxisme dengan perkembangan ekonomi mutakhir inilah yang kemudian dicap sebagai revisionisme.
Pertentangan antara Kautsky dengan Bernstein kemudian sedikit mencair seiring dengan munculnya interpretasi baru mengenai Marxisme dari Vladimir Lenin, yang berhasil mendirikan Republik Sosialis Uni Soviet (USSR) bersama partai Bolshevik-nya setelah keberhasilan Revolusi Oktober 1917. Lenin lebih memilih perjuangan revolusioner melalui sebuah partai revolusioner yang terdiri dari kader-kader partai yang revolusioner pula. Sehingga, partai perlu dipimpin dan diorganisir oleh kaum intelektual guna selalu menyalakan kesadaran revolusioner dalam tubuh proletariat karena kaum proletar dapat dengan mudah dibusukkan oleh opresi ideologis kaum borjuis, seperti kenaikan upah dan segala macam perbaikan sosial. Interpretasi baru Marxisme oleh Lenin inilah yang kemudian melahirkan aliran baru Marxisme-Leninisme.
"Kamu pahlawan dari angkatan revolusioner, tuntunlah massa si lapar, si miskin, si hina, si melarat, si haus itu menempuh barisan musuh, dan pecahkan bentengnya itu, cabut nyawanya, patahkan tulangnya dan tanamkan galah benderamu diatas benteng itu. Janganlah kamu biarkan benderamu itu diturunkan atau ditukar oleh siapapun juga. Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putera tanah air tempat darahmu tumpah."
(Tan Malaka, Massa Actie)
TEORI KRITIS
Teori kritis adalah produk sekelompok neo-Marxis Jerman yang tak puas dengan keadaan teori Marxian (Bernstein, 1995; Kellner, 1993; untuk tinjauan yang lebih luas terhadap teori kritis, lihat Agger, 1998), terutama kecenderunganya menuju determinasi ekonomi. The Institute of Social Research, organisasi yang berkaitan dengan teori kritis ini resmi didirikan di Frankrut, Jerman, meski sejumlah anggotanya telah aktif sebelum organisasi ini didirikan (Wiggershaus, 1994). Teori kritis telah berkembang melampaui batas aliran Frankrut (Calhoun dan Karaganis, 2001; Telos, 1989-90). Teori kritis berasal dari dan sebagian besar berorientasi ke pemikir eropa, meski pengaruhnya tumbuh dalam sosiologi Amerika (Marcus, 1999; van den berg, 1980).
Teori kritis sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat (Bleich, 1977).
Kritik terhadap teori Marxian. Teori kritis mengambil kritik terhadap teori Marxian titik tolaknya. Teoritisi kritis ini merasa sangat terganggu oleh pemikir Marxispenganut determinasi ekonomi yang mekanis. Beberapa orang diantaranya mengkritik determinasi yang tersirat dibagian tertentu dari pemikiran Marx, tetapi kritik mereka sangat ditekankan pada neo-Marxis terutama karena mereka telah menafsirkan pemikiran Marx terlalu mekanistis. Teoritisi kritis tak menyatakan bahwa determinis ekonomi keliru, ketika memusatkan perhatian pada bidang ekonomi, tetapi karena mereka seharusnya juga memusatkan perhatian pada aspek kehidupan sosial yang lain. Seperti akan kita lihat aliran kritis mencoba meralat ketidakseimbangan ini dengan memusatkan perhatianya pada bidang cultural, selain menyerang aliran teori Marxian lain, aliran kritis mengkritik masyarakat seperti bekas Uni Soviet yang pura-pura dibangun berdasarkan teori Marxian (Marcuse, 1958).
Refrensi:
Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz, 2003, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
___________________, 2005, Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Santoso, Listiyono, dkk., 2007, Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia.
Supriyadi, Eko, 2003, Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari'ati. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Wadilapa, Rendy, 2010, Reproduksi Komunisme dalam Perfilman Indonesia Pasca Orde Baru (Perspektif Teori Strukturalisme).
Teori Sosiologi Modern, Variasi Teori neo-Marxis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar