Senin, 29 September 2014

Sarah Meida Pratiwi, 1112051000160, KPI 5E, Tugas Etika Terapan

SARAH MEIDA PRATIWI
KPI 5 E
1112051000160
 
A.                Bidang yang Menjadi Garapan Etika Terapan
            Etika terapan dapat menyoroti suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh tentang etika terapan yang membahas profesi dapat disebut: etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dsb. Etika kedokteran sekarang sering dimengerti dengan cara lebih luas daripada pembahasan pekerjaan dokter saja, sehingga mencakup semua masalah etis yang berkaitan dengan kehidupan. Cakupan lebih luas ini tercermin dalam nama-nama baru untuk cabang etika terapan tersebut, seperti "etika biomedis" dan "bioetika".
            Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas masalah-masalah moral pada skala besar. Sedangkan mikroetika membicarakan pertanyaa-pertanyaan etis dimana individu terlibat, seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban pengacara terhadap kliennya, kewajiban menyimpan rahasia pejabat, dan sebagainya. Etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberi pelayananan professional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dengan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka pelakasanaan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
            Peranan etika yang terbatas di tengah ilmu-ilmu lain mempunyai dua efek. Di satu pihak kita lihat bahwa etika terapan sering dipraktekan tanpa mengikutsertakan etikawan professional. Kalangan ilmiah yang bersangkutan sendiri berusaha untuk mencari pemecahan yang memuaskan bagi masalah-masalah etis yang dihadapi. Misalnya, banyak pekerjaan di bidang etika dalam komisi-komisi, laporan-laporan atau publikasi, dilakukakn oleh dokter-dokter yang tidak mempunyai pendidikan khusus tentang etika.
 
B.                 Pendekatan Etika Terapan
1.                  Praktis
            Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat praktis, untuk itu di dalam kajiannya, etika profesi tidak meninggalkan segi atau landasan teoritisnya. Sebagai ilmu praktis maka etika profesi memiliki sifat yang mementingkan tujuan perbuatan dan kegunaannya, baik kegunaan secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan deontologis.
2.                  Pragmatis
            Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat bagaimana kegunaan itu memiliki makna bagi seorang profesional melalui tindakan yang positif yang berupa pelayanan terhadap klien, pasien atau pemakai jasa. Sejalan dengan kegunaan pragmatis, maka, kegunaan yang bersifat utilitaristis akan sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang baik. Seorang arsitek akan mendapatkan kebahagiaan apabila rancang bangunnya dipakai oleh seseorang dan diterapkan dalam pembuatan rumahnya dan pada akhirnya orang itu merasa puas atas disain rumahnya.
3.                  Moralis
            Di dalam penerapannya atau dalam dunia kerja, seorang profesional harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang mewajibkan tanpa syarat (begitu saja) tanpa disertai pertimbangan lain.
 
C.                Metode Etika Terapan
            Etika terapan merupakan pendekatan ilmiah yang pasti tidak seragam. Metode etika terapan dalam hal ini sejalan dengan proses terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya. Empat unsur metode etika terapan yaitu :
1.                  Dari Sikap Awal menuju Refleksi
            Dalam usaha membentuk suatu pandangan beralasan tentang masalah etis apapun, kita tidak pernah bertolak dari titik nol. Selalu sudah ada sikap awal. Kita mulai dengan mengambil suatu sikap tertentu terhadap masalah bersangkutan. Demikian halnya juga dengan orang yang mulai menekuni etika terapan. Sikap awal ini bisa pro atau kontra atau juga netral, malah bisa tak acuh, tapi bagaimanapun mula-mula sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan. Pada mulanya kita belum berpikir mengapa kita bersikap demikian. Seperti misalnya, di negara yang terdapat hukum pidana mengenai praktik hukuman mati, para warga tidak berpikir mengapa mereka menyetujui keadaan itu.
2.                  Informasi
            Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang dibutuhkan adalah informasi. Hal itu terutama mendesak bagi masalah etis yang terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bisa saja terjadi sikap awal yang pro atau kontra itu sebenarnya masih sangat emosiaonal atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh faktor subjektif yang tidak sesuai dengan kenyataan objektif. Melalui informasi kita dapat mengetahui bagaimana keadaan objektif itu. Misalnya, diskusi tentang penggunaan energi nuklir untuk membangkitkan listrik sangat dipengaruhi segi-segi ekonomi.
3.                  Norma-norma Moral
            Unsur berikut dalam metode etika terapan adalah norma-norma moral yang relavan untuk topik atau bidang bersangkutan. Norma-norma moral itu sudah diterima dalam masyarakat, tapi harus diakui juga sebagai relavan untuk topik atau bidang yang khusus ini. Tidak bisa disangkal, penerapan norma-norma moral ini merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan norma-norma disini tidak berlangsung seperti penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik. Norma bersangkutan harus diterima oleh semua orang sebagai berlaku untuk kasus atau bidang tertentu. Pembentukan penilaian moral sering dimulai oleh suatu kelompok kecil. Misalnya, partai politik atau lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan suatu pandangan etis tertentu. Melalui perjuangan yang sering kali panjang, pandangan mereka akhirnya diterima sebagai suatu pandangan etis yang berlaku bagi umum.
4.                  Logika
            Uraian yang diberikan dalam etika terapan harus bersifat logis juga. Ini tentu tidak merupakan tuntunan khusus bagi etika saja, sebab berlaku untuk setiap uraian yang mempunyai potesial rasional. Logika dapat memperlihatkan bagaimana dalam suatu argumentasi tentang masalah moral perkaitan kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan juga apakah penyimpulan itu tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Logika dapat menunjukan kesalahan penalaran dan inkonsistensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi. Logika juga memungkinkan kita untuk meilai definisi dan klasifikasi yang dipakai dalam argumentasi.
 
D.                Relasi Etika dan Filsafat
            Etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini