Senin, 06 Oktober 2014

Nur syamsiyah_Pmi 3_tugas 4_Relasi Produktif dan Non-Produktif di Perkotaan

Produktivitas merupakan istilah dalam kegiatan produksi sebagai perbandingan antara luaran (output) dengan masukan (input). Menurut Herjanto, produktivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan bagaimana baiknya sumber daya diatur dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil yang optimal. Produktivitas dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan suatu industri atau UKM dalam menghasilkan barang atau jasa. Sehingga semakin tinggi perbandingannya, berarti semakin tinggi produk yang dihasilkan. Ukuran-ukuran produktivitas bisa bervariasi, tergantung pada aspek-aspek output atau input yang digunakan sebagai agregat dasar, misalnya: indeks produktivitas buruh, produktivitas biaya langsung, produktivitas biaya total, produktivitas energi, produktivitas bahan mentah, dan lain-lain.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyakat yang pola hidupnya konsumtif. Terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan. Padahal sebagai penduduk kota seharusnya juga ikut berpacu dalam memproduksi barang maupun jasa. Di sisi lain, perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Pada tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Hal ini menyebabkan semakin sedikit Ruang Terbuka Hijau (RTH). Di kota-kota besar seperti Jakarta.
Menurut pengamatan saya dari aspek lingkungan secara langsung akan melahirkan terjadinya relasi atau hubungan antara para produktivitas maupun non. Rata-rata para pelaku produktif memiliki hubungan yang baik dengan para pelaku non produktif. Dikarenakan para pelaku memiliki rasa toleransi diantaranya, secara agama Islam telah mengajarkan umatnya untuk menghormati yang besar dan yang lebih kecil. Dari sisi religius biasanya sering terjadi adanya perbedaan. Perbedaan itu tidak menjadi hambatan justru adanya perbedaan sangat membantu proses produktivitas yang ada di perkotaan. Contoh kasus yang saya ambil yakni pada masyarakat sekitar tempat tinggal saya. Di Jln. Pertanian Timur, Klender Jakarta Timur. Yakni adanya hubungan baik antara pemilik usaha konveksi celana jins dan para karyawannya. Saat saya tanya pemilik yang bernama Koh Andi. Yang mengaku turunan Tionghoa beragama Budha. Beliau telah merintis usahanya sejak tahun 1975. Koh Andi berkata usaha yang ia rintis adalah usaha kepemilikan bersama istrinya. Memulai dari kemampuan menjahit istrinya dan mampu memproduksi pakaian. Lama kelamaan usahanya berkembang hingga kini ia memiliki 50 karyawan yang bertugas sebagai penjahit, 40 karyawan yang bertugas mencuci setelah celana jins di jahit dan karyawan yang bertugas memeriksa barang yang layak dipasarkan. Saat saya tanya bu Inah(56th) penjahit di konveksi ia mengaku adanya relasi yang baik dengan pemilik dan lingkungannya. "Lingkungannya cukup aman, warga sekitarnya juga ramah". Bu Inah termasuk angkatan kerja. Para karyawannya rata-rata berusia antara 30-59 tahun. Adanya toleransi umat beragama antara pemilik, karyawan, dan masyarakat sekitar. Rata-rata karyawan di konveksi ini beragama Islam pada saat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha karyawan diliburkan. Begitu juga agenda tanggal merah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Perekatnya saling menghormati antara karyawan dan masyarakat sekitarnya dengan menghormati adanya perbedaan diantara kedua belah pihak.
Koh Andi menggaku konveksinya sehari dapat menghasilkan 20 kodi celana. Setelah celana jadi proses berikutnya adalah pencucian, pengeringan, pengecekan, dan pengepakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini