Senin, 06 Oktober 2014

Tugas Etika dan Filsafat III

Nama                           : Rifqi Masruri

NIM                            : 1112051000095

Jurusan/Semester         : KPI/5 (C)

DEFINISI FILSAFAT

Filsafat itu berasal dari kata philos (keinginan) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan), dan ada juga yang mengatakan berasal dari kata phila (mengutamakan, lebih suka) dan Sophia (hikmah, kebijaksanaan).[1]  Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan.  Dan orangnya disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut filasuf.

Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai kepada dasar-dasar persoalan.[2] dan sesuai dengan tugas filsafat yaitu mengetahui sebab-sebab sesuatu, menjawab pertanyaan foundamental, dan pokok serta bertanggung jawab, sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

UNSUR FILSAFAT

- Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu.

- Epistimologi membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu.

- Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.

METODE FILSAFAT

1.      Metode Kritis (Socrates)

Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh Socrates dan Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode dasar dalam filsafat.

Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis. Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Plato meneruskan usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode Socrates. Dalam dialog Plato, orang dituntun untuk memahami hakekat objek dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis dan mencari rumusan jawaban yang benar.

Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. 

2.      Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)

Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah Platinos (205-275 M) dan Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode intuitif atau mistik dengan membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi religious yang dijiwai oleh sikap kontemplatif.

Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang filsuf Yahudi, dia juga seorang matematikus dan fisikawan. Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal.

Menurut Henry Bergson, rasio tidak akan mampu untuk menyelami hakekat sesuatu. Rasio hanya berguna bagi pemikkiran ilmu fisika, matematika, dan mekanika. Untuk bisa menangkap, memahami hakekat suatu kenyataan kita harus mempergunakan intuisi. Intuisi menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani, merupakan naluri yang mendapatkan kesadaran diri.

3.      Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)

Metode Skolastik dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut metode sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan metode mengajar dalam bentuknya yang sistematis dan matang.

Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.

Lectio adalah perkuliahan kritis, diambil teks-teks dari para pemikir besar yang berwibawa untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis.

Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat terarah.

Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat terarah dan sistematis.

4.      Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal.

5.      Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)

Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode kritis transcendental. Kant berpikir tentang unsure-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.

Metodenya merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian tertentu yang objektif sebagai titik tolak. Dalam metode Kant juga dipergunakan kergu-raguan. Kant meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik. Metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan problemnya.

6.      Metode Fenomenologis (Husserl)

Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis dalam filsafat. Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat –pengertian dalam aslinya- harus melalui proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan atau penyaringan dimana objek harus disaring dari beberapa hal tambahannya. Obyek penyelidikan adalah fenomena. Dan yang kita cari adalah kekhasan hakekat yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang menampak. Yaitu data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek justru dalam relasi dengan kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan diri menurut adanya didalam diri manusia.

HAKIKAT FILSAFAT

Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Ciri khas filsafat ialah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris). Kita sebenarnya tidak cukup hanya mengatkan filsafat itu hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. D. C. Mulder mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. Namun dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah menyebutkan intisari filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan logis dan tidak empiris.



[1] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. XI, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.13.

[2] Harun Nasution, Filsafat Agama, cet. VI, (jakarta :bulan bintang, 1987), h.3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini