Rabu, 26 September 2012

pandangan Karl Marx (tugas 3)

karl Marx (1818-1883)
     Karl Marx lahir di Trier, Jerman pada tahun 1818 dari kalangan keluarga rohaniwan Yahudi. Pada tahun 1841 ia mengakhiri studinya di Universitas Berlin dengan menyelesaikan disertasi yang berjudul On the Differences between the Natural Philosophy of Democritus and Epicurus. Karena pergaulannya dengan orang yang dianggap radikal ia terpaksa mengurungkan niat untuk menjadi pengajar universitas dan merjunkan diri ke kancah politik. Setelah menikah ia mengembara ke negara lain di Eropa mula-mula secara sukarelaa diusir oleh pemerintah setempat. Mark lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori mengenai sosialisme yang di kemudian hari dikenal dengan nama Marxisme daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Meskipun demikian sebenarnya Marx merupakan pula seorang tokoh teori sosiologi. Levebvre mengemukakan, misalnya, bahwa Marx bukan bukan ahli sosiologi namun tulisannya mengandung sosiologi (lihat levebvre, 1969:22). Menerut kornblum (1988) Mark tidak menganggap dirinya sebagai ahli sosiologi melainkan sabagai ahli filsafat, ekonomi politik, dan sejarah.
            Sumbangan utama Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas yang disajikannya dalam berbagai tulisan-termasuk di dalamnya The Communist Manifesto yang ditulisnya bersama Friedrich Engels. Marx berpandangan bahwa sejarah masyarakat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurut Marx perkebangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda: kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alat produksi, yang dinamakan kaum bour geoisie, yang mengeksploitasi kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kaum proletar. Menurut Marx pada suatu saat kaum proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka sehingga bersatu dan memberontak, dan dalam konflik yang kemudian berlangsung—yang oleh Marx dinamakan perjuangan kelas—kaum bourgeoisie akan diklahkan. Marx meramalkan bahwa kaum proletar kemudian akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
            Meskipun ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pemikiran Marx mengenai stratifikasi sosial dan konflik tetap berpengaruh terhadap pemikiran sejumlah besar ahli sosiologi. Sebagaimana halnya dengan tokoh sosiologi lainnya. Maka, sebagaimana telah kita lihat, pemikiran Mark pun diarahkan pada perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak perkembangan pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan kapitalisme.
(Prof. Dr. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, jakarta 2004)
 
Stratifikasi Sosial
          Pandangan stratifikasi yang sangat menonjol dalam sosiologi ialahpandangan mengenai kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Menurut Marx kehancuran feudalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling bermusuhan, yaitu kelas borjuis (bourgeoisie) yang memiliki alat produksi dan kelas proletar (proletariat) yang tidak memiliki alat produksi (lihat Marx dalam smelser, 1973:73-85). Dengan makin berkembangnya industri para pemilik alat produksi semakin banyak menerapkan pembagiamn kerja dan memakai mesin sebagai pengganti buruh sehingga persaingan mendapat pekerjaan di kalangan buruh semakin meningkat dan upah buruh makin menurun. Karena kaun proletar semakin dieksploitasi mereka mulai mempunyai kesadaran kelas dansemakin bersatu melawan kaum borjuis. Marx meramalkan bahwa suatu saat buruh yang semakin bersatu dan melalui suatu perjuangan kelas akan berhasil merebut alat produksi dari kaum borjuis dan kemudian mendirikan masyarakat tanpa kelas karena pemilikan alat pribadi akan alat produksi telah dihapuskan.
            Pandangan Marx ini dikecam oleh banyk ilmuan sosial. Kritik utama ditujukan pada digunakannya hanya satu dimensi, yaitu dimensi ekonomi, untuk menetapkan stratifikasi sosial, banyak ilmuan yang berpendapat bahwa disamping dimensi ekonomi dijumpai pula dimensi lain untuk membeda-bedakan anggota masyarakat. Kritik lain ialah bahwa dalam kenyataan masyarakat industri mengenai lebih dari dua kelas. Contohnya: para pengusaha lebih memilih mesin canggih daripada pegawai yang cekatan sehingga banyak jasa yg terbengkalai dan mengakibatkan banyak pengangguran.
(Prof. Dr. Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, jakarta 2004)
            Konlik antara kaum borjuis dan proletar contoh lain dari kontradiksi material yang sebenarnya. Kontradiksi ini berkembang sampai menjadi kontradiksi antara kerja dan kapitalsme. Tidak satupun dari kontradiksi-kontradiksi ini yang bias diselesaikan kecuali dengan mengubah struktur kapitalis. Bahkan sampai perubahan tersebut tercapai, kontradiksi makin memburuk. Masyarakat akan semakin berisi pertentangan dua kelas besar yang berlawanan. Kompetisi dengan took-toko besar dan rantai monopoli akan mematikan bisnis-bisnis kecil dan independen; mekanisasi akan menggantikan buruh tangan yang cekatan dan bahkan beberapa kapitalis akan ditekan melalui cara-cara ampuh untuk memonopoli,misalnya dengan melakukan merger. Semua orang yang digantikan ini akan terpaksa turun kelas menjadi proletariat. Marx menyebut pembengkakan yang tak terelakkan di dalam proletariat ini dengan proletarianisasi.
(Geoge Ritzen dan Douglas J.Goodman, Sociological Theory, New York 2004, Kreasi Wacana)
Teori Ideologi
            Sebagaimana halnya tentang pemerintahan, Mark tidak memiliki teori yang sistematik tentang ideologi. Sebaliknya hanya ada analisis-analisis parsial dan belum rampung namun serigkali berbobot dan tajam. Analisis ini berkisar pada beberapa tema yang sifatnya fundamental.
            Marx menempatkan ideologi sebagai keseluruhan ide yang dominan dan diusung oleh sebuah masyarakat sebagai kelompok sosial dalam bingkaisuperstruktur masyarakat. Ideologi ini dikondisikan oleh bingkai atau batas ekonomi dan menjadi semacam refleksi atas bingkai itu. Dengan demikian kaum borjuis yang semakin menanjak telah menentukan pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, hak asasi manusia, kesetaraan dihadapan hukum (hak)dalam bingkai pergulatan menghadapi orde atau tatanan lama. Mereka ini cenderung memindahkan apa-apa yang menjadi ekspresi kepentingan kelasnyamenjadi nilai-nilai yang universal.
            Marx juga memiliki sebuah teori tentang ideologi sebagai semacam alienasi. Pengertian ini dipinjam fisuf Ludwig Feuerbach yang merupakan penulis L'Essence du christianisme (Esensi Kristianisme) (1864). Bagi Feuerbach agama itu merupakan proyeksi dalam bentuk " surga bagi pemikiran (ide)", harapan dan keyakinan manusia. Orang bisa mempercayai eksistensi Tuhan secara riil seperti yang ditemukannya. Marx mengambil pemikiran ini (bahwa agama adalah "candu bagi masyarakat"). Selanjutnya ia akan mengusungnya ke dalam analisis komoditas.
            Elemen-elemen analisis ini diambil kembali dan dikembangkan oleh sejumlah penulis Marxis (Antonio Gramsci, Gyorgy Lukacs, Karl Mannheim dan Louis Althusser). Para penulis yang bukan aliran marxisme ikut menggarisbawahi bobot penemuan beberapa analisisnya. Demikianlah ketika Raymond Boudon berbicara tentang "efek posisi" untuk menberi pemahaman bagaimana posisi sosial seorang individu memberinya aspek-aspek terhadap realitas tertentu namun justru membuatnya buta terhadap hal lainnya, ternyata ia mengambilnya dari sebuah tesis karya Marx.
Ambiguitas Peran Negara
            Dalam beberapa naskah karya Marx pemerintah (negara)ternyata terbatas pada satu peran saja yang sifatnya langsung dan brutal: bahwa negara ialah instrumen atau alat di tangan kelas yang dominan (kaum berjuis), dan ditujukan untuk mendominasi kelas proletar. Negara mengarahkan polisi dan tentara untuk 'menjinakkan' pemberontakan rakyatnya; keadilan dan hukum hanya melayani kekuasaan dan kepemilikan pribadi. Analisis Marx memang tanpa nuansa. Namun harus diingat bahwa ia menulisnya pada tahun 1848 ketika negara saat itu melakukan tindakan refresif yang keras dalam menghadapi rakyatnya yang memberontak. Dalam naskahnya yang lain Marx memberi nuansa terhadap analisisnya. Untuk mempertegas dominasinya, kaum borjuis mempercayakan pengaturan kepentingan umum kepada Negara, tetapi mereka mendapat sejumlah keuntungan darinya. Kadang-kadang Negar bahkan meninggikan diri "di atas kelas-kelas sosila" untuk menegakkan tatanan sosial yang tengah terancam.
(Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Forse, etc, Sosiologi SeJARAH dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Wacana, Bantul 2004)
            Perubahan-perubahan yang penting untuk kekuatan-kekuatan produksi tidak hanya cenderung dicegah oleh relasi-relasi yang sedang eksis, akan tetapi juga oleh relasi-relasi pendukung, institusi-institusi, dan khususnya, ide ide umum. Ketika ide-ide menunjukan fungsi ini, Marx memberikan nama khusus terhadapnya yaitu ideology.
            Marx menggunakan istilah ideology untuk merujuk kepada system-sistem aturan ide-ide yang sekali lagi berusaha menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi yang berada di pusat sistem kapitalis. Pada kebanyakan kasus, mereka melakukan hal ini dengan salah satu dari tiga cara berikut: (1) mereka menghadirkan suatu system ide yang mejadikan kontradiksi-kontradiksi tampak koheren; (2) mereka menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi, biasanya sebagai problem-problem personal atau keanehan-keanehan individual; tau (3) mereka menghadirkan kontradiksi kapitalis sebagai yang benar-benar menjadi suatu kontradiksi pada hakikat manusia dan oleh karena itu satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh perubahan sosial.
            Marx juga melihat agama sebagai sebuah ideology. Dia merujuk pada agama sebagai candu masyarakat adapun catatannya:
Kesukaran agama-agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan kesukaran yang sebenarnya. Agama adalah nafas lega makhluk yang tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati, spiritnya kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat.
(Marx, 1843/1970)
 Komoditas
            Pandangan Marx tentang komoditas berakar pada orientasi materialisnya, dengan fokus aktivitas-aktivitas produktif para actor. Sebagaimana yang telah kita lihat di awal, pandangan Marx adalah bahwa di dalam interaksi-interaksi mereka dengan alam dan dengan para actor lain, orang-orang memproduksi objek-objek yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Objek-objek ini diproduksi untuk digunakan oleh dirinya sendiri ataupun orang lain di dalam lingkungan terdekat.
            Namun proses ini di dalam kapitalisme merupakan bentuk baru sekaligus berbahaya. Para actor bukannya memproduksi untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain (kapitalis). Produk-produk memiliki nilai tukar, artinya bukan digunakan langsung tapi di pertukarkan di pasar demi objek-objek lain.
            Diskusi Marx tentang komoditas dan fetisismenya membawakita dari tingkat actor individual ke tingkat struktur social secara luas.fetisisme komoditas member ekonomi suatu realitas objektif indepeden yang berada di luar actor dan paksaan terhadapnya. Contohnya: dominasi personal dan kelompok dalam pengembangan kerjasama.
(Geoge Ritzen dan Douglas J.Goodman, Sociological Theory, New York 2004, Kreasi Wacana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini