Rabu, 26 September 2012

Emile Durkheim_Lilis Yuniarsih JRN 1B_Tugas ke 2

1.         FAKTA SOSIAL
Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sosiologi penting dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Dalam The Rule of Sociological Method (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Dalam bukunya yang berjudul Suicide (1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial ) maka ia akan dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi. Tetapi, Durkheim tak sampai menguji mengapa individu A atau B melakukan bunuh diri; ia lebih tertarik terhadap penyebab yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri dikalangan kelompok, wilayah, negara, dan dikalangan golongan individu yang berbeda (misalnya, antara ornag yang kawin dan lajang). Argumen dasarnya adalah bahwa sifat dan perubahn fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Misalnya, perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri.
Dalam The Rule of sosiological Method ia membedakan antara dua tipe fakta sosial: meterial dan nonmaterial. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya , perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial nonmaterial ( misalnya kultur, institusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum). Perhatianya terhadap fakta sosial nonmaterial ini telah jelas dalam karyanya paling awal, The Division of Labor in Society ( 1893/1964). Dalam buku ini perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatuka terutama oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utama dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang yang satu dengan orang lainnya dalam hubungan saling tergantung. Tetapi, menurut Durkheim, pembagian kerja dalam masyarakat modern menimbulkan beberapa patologi (pathologies). Dengan kata lain, divisi kerja bukan metode yang memadai yang dapat membantu menyatukan masyarakat. Kecendrungan sosiologi konserpatif durkheim terlihat ketika ia menganggap revolusi tak diperlukan unrtuk menyelesaikan masalah. Menurutnya, berbagai reformasi dapat memperbaiki dan menjaga sistem sosial modern agar tetap berfungsi. Meski ia mengakui tak mungkin kembali ke masa lalu dimana kesadaran kolektif masih menonjol, namun ia menganggap bahwa dalam masyarakat modern moralitas bersama dapat diperkuat dan karena itu manusia akan dapat menanggulangi penyakit sosial yang mereka alami dengan cara lebih baik. [1]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.         PEMBAGIAN KERJA
Kombinasi pertumbuhan isi sosial dan kepadatan moral menyebabkan kondisi timbulnya diferensiasi  sosial. Demikian pula kondisi kompetisi, perjuangan untuk keberadaan (kehidupan) menjadi lebih kuat. Pembagian kerja merupakan bagian untuk hidup, tetapi penyelesaiannya perlahan. Antara lawan tidak mewajibkan menghilangkan satu terhadap yang lainnya, tetapi dapat hidup berdampingan. Pembagian kerja semakin berkembang maka individu-individu tidak akan selamanya sama, sebab pekerjaan mereka mengikuti fungsi spesialis. Tetapi perasaan solidaritas mengikat sesuai dengan pembagian kerja, yang membawa kepada posisi saling melengkapi "tidak sama tapi mirip" yang akan menyebabkan kegiatan bersama, sumber perasaan solidaritas dari macam-macam perbedaan tertentu. Sebagai pengganti saling bertentangan saling mengasingkan satu sama lain, adalah saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga pembagian kerja menetapkan bentuk kontrak moral baru antara individu, dan inilah yang yang dinamakan "solidaritas organik". Pembagian kerja yang semakin besar, maka saling ketergantungan semakin besar, karena semakin bertambahnya spesialisi kerja. Indikator organik ini adalah ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutif).
Menurut Durkheim struktur masyarakat adalah ketetapan, bukan dengan pengulangan dari unsur-unsur homogen yang sama, tetapi oleh suatu sistem dari organ yang berbeda, masing-masing setiap sesuatu telah mempunyai peran khusus dan milik mereka tidak terbentuk dari bagian yang berbeda. Unsur dalam masyarakat tidaklah semua asli, tidak menempati bersama dan kemudian berakhir. Tidak terpancang satu dengan yang lainnya, tetapi da koordinasi dan subordinasi satu sama lainnya dengan organ pusat sama, berusaha melampaui ketahanan dari organisme yang cukup.
Meskipun masyarakat tumbuh dengan cepat, maka kondisi kehidupan individu tidaklah sama untuk setiap tempat. Hal ini menurut Durkheim karena masyarakat menyebar lebih cepat, sehingga kesadarna bersama menekan dirinya untuk naik ke atas dan akibatnya menjadi lebih abstrak. Semakin umum munculnya kesadaran bersama, maka kehidupan untuk variasi individu lebih luas. Solidaritas organik hanya mungkin jika masing-masing orang perseorangan mempunyai lingkungan kegiatan yang berakibat bagi pribadi. Jadi kesadaran kolektif tidak melindungi kesadaran individu, tetapi disini membangun untuk fungsi kohesivitas yang muncul dari solidaritas.
       "Solidaritas mekanik" berkaitan dengan pertumbuhan pembagian tenaga kerja, dimana semakin meningkat pembagian kerja, maka terjadi perubahan struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama, yang menunjuka kepada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang rata-rata ada pada warga masyarakat merupakan solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Karena itu individu tidak berkembang terus menerus dilumpuhkan oleh tekanan besar untuk konformitas (penyesuaian-penyesuaian). Indikatornya ada hukum yang bersifat menekan  (represif). [2]
 
 
 
 
 
 
3.         AGAMA
Dalam bukunya yang berjudul Les Formes Elementaires De La Vie Religion (bentuk-bentuk awal kehidupan agama), yang diterbitkan dalam bahasa Perancis pada tahun 1912, Emile Durkheim melihat bahwa semua agama membedakan antara hal-hal yang dianggap sakral dan yang dianggap profan. Yang sakral adalah hal-hal yang dipisahkan daripada yang lain dan yang dilarang, terdapat benda sakral tempat sakral, waktu sakral, kata sakral. Sakral bisa mempunyai konotasi "suci", bisa juga berarti "berbahaya, terlarang".
Durkheim menawarkan definisi agama sebagai berikut : "A religion is a unified system of beliefs and practices relatives to sacred thins, that is to say, things set apart and forbidden         beliefs and practices which write into a single moral community called a church, all those who adhere to them." ( suatu agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan hal-hal yang dianggap sakral, yaitu hal-hal yang dipisahkan dan yang dilarang         kepercayaan dan perilaku yang mempersatukan semua penganutnya menjadi satu komunitas moral, yaitu berrdasarkan nilai-nilai bersama, yang disebut umat). Dengan kata lain, masyarakat tidak ingin terpecah memerlukan agama. Walaupun Durkheim sendiri seorang atheis, dalam semua karyanya ia berulang kali menekankan sumbangan positif agama terhadap kesehatan masyarakat. [3]
Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965), ia memusatkan perhatian pada bentuk terkahir fakta sosial nonmaterial yakni agama. Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Dalam agama primitif (totemisme) ini benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang didewakan. Selanjutnya tottemisme dilihat sebagai tipe khususfakta sosial nonmaterial, sebagai sebentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Jelasnya, dalam mendewakan masyarakat ia menampakkan pendirian yang sangat konservatif: orang tak mau menjatuhkan sumber ketuhanannya sendiri atau sumber kehidupan masyarakatnya. Karena ia menyamakan masyarakat dengan dewa (Tuhan), maka Durkheim tak berkecenderungan untuk mendorong revolusi. Durkheim adalah seorang reformis yang mencari cara untuk meningkatkan fungsi masyarakat.[4]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.         FUNGSIONALISME
Sebagai ahli waris tradisi pemikiran sosial Perancis, khususnya ajaran organisme yang dilancarkan oleh Comte, tidaklah terlalu mengherankan jika hasil-hasil karya awal Emile Durkheim terpengaruh terminologi organismik. Walaupun dalam bukunya The Division Of Labor Durkheim melancarkan kritik terhadap Spencer, namun hasil-hasil karya sesudahnya sangat terpengaruh oleh aliran biologis dalam situasi intelektual abad ke-19. Kecuali itu, asumsi-asumsi dasar durkheim mencerminkan pokok-pokok pikiran mereka yang sangat terpengaruh oleh aliran organisme. Asumsi dasar itu adalah :
a.       Masyarakat tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang berdiri sendiri yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya. Masyarakat juga tidak dapat dihabiskan kedalam bagian-bagiannya. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu keseluruhan.
b.      Bagian-bagian suatu sistem dianggap memenuhi fungsi-fungsi pokok, maupun kebutuhan sistem secara keseluruhan.
c.       Kebutuhan pokok suatu sistem sosial harus dipenuhi, untuk mencegah terjadinya keadaan abnormal atau patologis.
d.      Setiap sistem mempunyai pokok-pokok keserasian tertentu yang segala sesuatunya akan berfungsi secara normal.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.         ANOMALI / ANOMIE
Teori anomie berasumsi bahwa penyimpangan adalah akibat dari adanya berbagai ketegangan dalam suatu struktur sosial sehingga ada individu-individu yang mengalami tekanan dan akhirnya menjadi menyimpang. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Robert Merton pada sekitar tahun 930an, dimana konsep anomi itu sendiri pernah digunakan oleh Emile Durkheim dalam analisisnya tentang Suicide Anomique. [6]
Apabila kondisi masyarakat sudah tidak mempunyai sistem pengaturan utama dan tidak berfungsi lagi dalam membentuk keteraturan dan hubungan harmonisnya, maka hal demikian membawa kepada kondiri "anomi". Secara subjektif individu mengalami keadaan tidak pasti, tidak aman, dimana keinginan dan ambisi pribadinya tidak mungkin untuk dipenuhinya secara realistik, ada perasaan tidak punya arti yang merasa curiga bahwa hidup ini benar-benar tidak punya tujuan dan tidak punya arti. Ada tekanan budaya yang kuat pada individualisme. Fenomenanya dalam bentuk penyakit masyarakat:
1.         Anomie pada pembagian kerja, seperti kasus krisis industri dimana terjadi permusuhan antara buruh dengan pengusaha, sehingga individu terisolasi.
2.         Tingginya intensitas pembagian kerja, sehingga penempatan individu tidak berdasarkan kemampuannya.
3.          Bentuk patologis lainnya yaitu fungsi tugas tidal dikerjakan secara penuh pada sistem. [7]


[1] Teori Sosiologi Modern
[2] Dr. M Munandar, Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial,(Bandung: PT. Refika Aditama, cet. 1, 1987), h. 34
[3] J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto (ed.), Soisologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana 2007, cet. 3), h. 246
[4] Teori Sosiologi Modern
[5] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. 3, 2011) h. 388
[6] J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto (ed.), Soisologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana 2007, cet. 3), h.110
[7] Dr. M Munandar, Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial,(Bandung: PT. Refika Aditama, cet. 1, 1987), h. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini