Ahmad Ali Nidaulhaq (1113054000027)
M Fahmi Nurdin (1113054000023)
Siklus Politik dan Respon Pertanian
Pendahuluan
Politik nasional dan pertanian bergerak secara dinamis. Namun, dinamika perubahan yang terjadi di dunia politik nasional tampaknya belum mampu mengubah pertanian yang sifatnya involutif kecuali untuk pertanian yang dilakukan oleh perusahaan besar. Pertanian yang dilakukan oleh perusahaan besar, terutama perkebunan dan peternakan unggas mengalami perubahan yang cepat selama beberapa dekade terakhir, setelah mengalami stagnasi yang relatif lama. Perubahan besar di bidang perkebunan besar terjadi setelah ditetapkannya program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) dengan dukungan penyediaan lahan perkebunan dan subsidi bunga modal serta dukungan lainnya pada era tahun 1980-an dan dikembangkannya program Perkebunan Inti Rakyat (PIR), khususnya dalam perkebunan kelapa sawit.
Adapun untuk komoditas lainnya program PIR dapat sdikatakan tidak berhasil. Dukungan politik untuk PBSN, antara lain, diperlihatkan oleh berlipat-gandanya luas areal perkebunan kelapa sawit yang mencapai areal sekitar 5 juta hektar pada saat ini, yang mana pada tahun 1970, luas areal perkebunan kelapa sawit baru sekitar 200 ribu hektar. Secara individu perusahaan pun satu perusahaan dapat memiliki areal perkebunan lebih dari 100 ribu hektar. Adapun dalam bidang peternakan unggas khususnya ayam potong dan ayam petelur didukung oleh investasi pemodal besar termasuk investor asing.
Pembahasan
Kami melakukan analisis terhadap penelitian-penelitian berikut:
1. DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERTANIAN INDONESIA
Globalisasi merupakan kontinum dari skenario idiologi dan mode kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh Adam Smith. Efisiensi (profit maxization) adalah ruhnya, revolusi industri motornya, teknologi dan institutional finance internasional (GATT, WTO, IMF) adalah medianya, dan imperialisme/ kolonialisme awal perwujudannya. Pelaku utamanya adalah kaum borjuis (the big bourgeoisie), yakni Trans National Corporation (Althusser). Tujuannya adalah melanggengkan dominasi dengan menghindari modus fisik melalui hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan ideologi yang berbasis produksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Pada perkembangannya, hegemoni berkembang dari Merkanti Silme ke berbagai aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya).
Secara praktis historis-empiris, pen-Spanyol-an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap pertama, lalu disusul dengan perang d ingin (globalisasi idiologi). Sedangkan Marshal Plan merupakan awal dari peng -Amerika-an dunia (globalisasi ekonomi modern). Secara teoretis globalisasi merupakan episodisdari teori evolusi (Hegel, Comte, Darwin, Ricardo, Mill, Malthus ) yang meyakini bahwa masyarakat akan berkembang dari primitive ke modern, modernisasi seluaruh bangsa (Rostow, McClelland, Inkeles), rekayasa sosial ( social engineering) atau Social Darwinisme (Spencer), pengintegrasian ekonomi nasion al kepada sistem ekonomi global (Fakih ), pembiasan batas-batas sosial, ekon omi, idiologi, politik, dan budaya suatu negara atau bangsa (Tjiptoherijanto), penghapusan peta dunia (Naisbith, Huntingt on, dan Topler), development aid (Kruijer), percepatan kapitalisme pasca krisis kapitalis di tahun 1930-an (Fakih), dan basic need strategy (Grant).
Pertanian (pangan) dan pertambangan (bahan bakar) merupakan dua sektor yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan karena keduanya merupakan determinan lahirnya globalisasi. Adapun idiologi dan politik, tidak lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu pada natural resources. Inti dari globalisasi sesungguhnya tidak berbeda dengan imperialisme atau kolonialisme, yaitu penguasaan bahan baku (Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Arndt, dan Becker, jalan menuju globalisasi adalah human kapital.
2. KONVENSI LAHAN
Utomo dkk (1992) mendefenisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu: Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/ tidak produktif dan terdesakan ekonomi pelaku konversi.
Konversi sistematik berpola 'enclave' dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Dampak negatif lain akibat konversi lahan lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Mengakibatkan pendapatan petani akan semakin sedikit dan akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Pada saat yang sama, terjadi pula perubahan budaya dari masyarakat agraris ke budaya urban. Yang mengakibatkan peningkatan kriminalitas. Oleh karena kriminalitas pada hakekatnya juga merupakan biaya social yang harus ditanggung oleh komunitas yang bersangkutan maka hal itu berarti net social benefit turun. Sampai saat ini memang belum ada suatu penelitian yang secara komprehensif mengkaji persoalan ini.
Tabel 1. Perkiraan Luas Sawah di Pulau Jawa Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain
Propinsi | Periode | Total (Ha) | Hektar/ tahun |
Jawa Barat | 1987-1991 | 37 033 | 7 046 |
Jawa Tengah | 1981-1986 | 40 327 | 6 721 |
Yogyakarta | 1986-1990 | 2 910 | 224 |
Jawa Timur | 1987-1993 | 57 996 | 8 285 |
Sumber: Sumaryanto dan Suhaeti, 1997.
Tabel 2. Konversi Lahan Sawah Selama Periode 2000 – 2002 Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003
| Konversi lahan sawah | Alokasi penggunaan | ||
| (000 ha/th) | % thd luas sawah 2002 | Non pertanian | Pertanian bukan sawah |
Jawa | 55.72 | 1.68 | 43.60 | 12.12 |
| (29.68) |
| (78.25) | (21.75) |
Luar Jawa | 132.01 | 2.98 | 66.56 | 65.45 |
Indonesia | (70.32) |
| (50.42) | (49.58) |
187.73 | 2.42 | 110.16 | 77.57 | |
(100.00) |
| (58.68) | (41.32) |
Keterangan: ( ) = persentase
Sumber: Sutomo, 2004 (diolah)
Pengaturan/ pengendalian konversi lahan pertanian ke non pertanian dalam konversi lahan pertanian terdapat beberapa aturan, antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan – ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan. Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak boleh menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan pula untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya. Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan umum.
Kesimpulan
Dari beberapa penelitian diatas kami menganalisis bahwa penulis menggunakan Teori Karl Marx yaitu subjeknya merupakan kelas sosial, metodologi yang digunakan adalah partisipasi advokasi, dan output yang didapat dari penelitian berupa rekomendasi.
Subjeknya, alih fungsi lahan berarti perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Metodologi, Pengaturan/ Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Dalam konversi lahan pertanian terdapat beberapa aturan, antara lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan – ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan. Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak boleh menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan pula untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya. Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan umum.
Output, dampak negatif lain akibat konversi lahan lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Mengakibatkan pendapatan petani akan semakin sedikit dan akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan sehari-harinya. Pada saat yang sama, terjadi pula perubahan budaya dari masyarakat agraris ke budaya urban. Yang mengakibatkan peningkatan kriminalitas. Oleh karena kriminalitas pada hakekatnya juga merupakan biaya social yang harus ditanggung oleh komunitas yang bersangkutan maka hal itu berarti net social benefit turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar