Senin, 12 Mei 2014

iratun nisa dan milva susanti_Tugas 7_Siklus politik dan respon pertanian

Siklus Politik dan Respon Pertanian

Dinamika perubahan yang terjadi di dunia politik nasional tampaknya belum mampu mengubah pertanian yang bersifat involutif kecuali untuk pertanian yang dilakukan oleh perusahaan besar. Pertanian yang dilakukan oleh perusahaan besar, terutama perkebunan dan peternakan unggas mengalami perubahan yang cepat selama beberapa dekade trakhir, setelah mengalami stagnasi yang relatif lama.

Perubahan besar dibidang perkebunan besar terjadi setelah ditetapkannya Program Perkebunan Swasta Nasional (PBSN) dengan dukungan penyediaan lahan perkebunan dan subsidi bunga modal serta dukungan lainnya pada era tahun 1980-an dan dikembangkannya Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR), khususnya dalam perkebunan kelapa sawit. Adapun untuk komoditas lainnya program PIR dapat dikatakan tidak berhasil. Dukungan poltik untuk PBSN, antaralain, diperlihatkan oleh berlipatgandanya luas areal perkebunan kelapa sawit yang saatinimencapai areal sekitar 5 juta hektar, yang mana pada tahun 1970, luas areal perkebunan kelapa sawit baru sekitar 200 ribu hektar.

Mengapa siklus politik belum mempengaruhi kinerja pertanian?

            Ekonomi politik (political economy) pada dasarnya adalah suatu proses transformasi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat luas yang pada akhirnya secara real mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya. Kebijaksanaan yang dilahirkan dari proses politik tersebut merupakan resultante dari seluruh kepentingan yang berinteraksi dalam masyarakat tersebut.

            Selama masa orde baru struktur politik nasional dapat dikatakan bersifat sentralistik. Walaupun proses pasar berjalan secara umum dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi politik, khususnya yang berkaitan dengan pertanian masih ditentukan secara komando dari pemerintah pusat. Dalam sistem politik seperti ini, status dan posisi petani hanyalah sebagai sekrup-sekrup dari suatu mesin ekonomi yang besar yang juga sifatnya sebagai alat saja. Dengan model kepemimpinan elite politik, maka rakyat kebanyakan juga sebagai alat politik saja. Oleh karena itu, walaupun produktivitas pertanian rakyat meningkat, tetapi tetap saja yang terjadi adalah involusi pertanian.

Kami melakukan analisis terhadap dua hasil penelitian yang dianggap cukup berhubungan dengan judul yang kami ambil. Analisis tehadap hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Pertanian Indonesia dalam Dominasi Politik Global

 

Kondisi pertanian Indonesia yang berhadapan dengan pertanian Negara lain, menimbulkan kegundahan hati bagi para pakar yang bergerak dibidang pertanian. Yang lebih disorotkan diseputar kebijakan ekonomi makro baik fiskal, moneter, investasi maupun perdagangan yang kurang, bahkan sama sekali tidak memihak dan mengorbankan kepentingan pembangunan sektor pertanian. Kebijakan yang diterapkan terlalu didominasiolehperkotaan, jasa dan industri, seperti otomotif, petrokimia, tekstil, baja, properti, dan lain-lain. Dimana terus mendorong proses konglomerasi yang merapuhkan pondasi perekonomian nasional.

Diskriminasi politik terhadap sektor pertanian tersebut sangat paradoksal, padahal disadari atau tidak perekonomian nasional masih bertumpu kepada sektor pertanian. Peran agrobisnis pertanian yang sangat strategis, jelas dapat dilihat dari sumbangannya pada tahun 2003 sebesar 12% kepada PDB nasional serta menyediakan kesempatan kerja kurang lebih 60% dari total tenaga kerja keseluruhan, juga sebagai penyedia pangan bagi 220 juta penduduk, bahan baku industri, sumber devisa, sekaligus menjadi pasar potensial bagi produk-produk sektor manufaktur. Lebih dari itu sektor pertanian khususnya petani pangan memberikan kontribusi yang sangat signifikan kepada stabilitas nasional melalui penciptaan ketahanan pangan.

Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumber daya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional.

Pertanian, tidak memiliki pabrik alat dan mesin pertanian yang mampu mendorong mekanisasi pertanian, dukungan terhadap temuan teknologi tinggi di bidang pertanian sangat lamban khususnya rekayasa bioteknologi, upaya pengembangan industri hasil pengolahan sangat tidak memadai setelah swasembada pangan (beras) dicapai pada tahun 1984, kebijakan makro pembangunan ekonomi langsung melompat dari pertanian tradisional kepada "broad base and hi-tech industry" dan tahapan agro-based industry diabaikan atau dilewati. Kebijakan ini merupakan suatu kekeliruan yang mendasar karena tidak sesuai dengan teori keilmuan.

Kesemuanya itu karena terbawa arus liberalisasi atau permainan politik bisnis internasional sehingga Indonesia semakin tergantung kepada negara-negara maju. Politik ekonomi pertanian seakan telah mati. Ini tercermin juga dengan diturutinya desakan IMF menurunkan bea masuk beras hanya 30 – 35 % bahkan sempat 0 % sementara Jepang sebagai negara industri menerapkan bea masuk beras sebesar 480 % untuk melindungi petaninya. Demikian pula subsidi pupuk dan pestisida dicabut menyebabkan daya saing produk dalam negeri semakin melemah. Padahal negara-negara maju sekalipun hingga saat ini masih mensubsidi pertaniannya dan sangat protektif terhadap produk pertaniannya sebagai cerminan nasionalisme yang tinggi.

Kompleksitas permasalahan yang dihadapi Indonesia merupakan buah kekeliruan desain dari strategi dan perangkat kebijakan ekonomi makro yang dilakukan dengan pendekatan neoklasik. Dan ini jelas tidak dapat dipisahkan dari visi serta derajat pemahaman ekonomi pertanian para politisi dan mind-set dari pemimpin nasional.

2.      Membangun Politik dan Ekonomi Pertanian

Betapa menderitanya bila kita tidak mempunyai tanah, bukan karena tidak bisa berproduksi, tetapi tempat tinggal untuk beristirahat saja tidak punya. Kita juga bisa lihat betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, tetapi sangat disayangkan bila tanah dan pembangunan infrastruktur pertanian hanya menguntungkan segelintir orang saja. Pertumbuhan ekonomi Indonesia  berlangsung sangat cepat dan tidak terarah membuat ketimpangan diberbagai sektor, misalanya saja pada sektor pertanian pertumbuhannya sebesar 3,8%, sedangkan pada bidang industri  sebesar 13,4% (pada zaman orde baru).

Politik pertanian tentunya tidak sama dengan politik ekonomi karena politik pertanian bukan semata-mata berbicara penerapan ekonomi dalam bidang pertanian, tetapi politik pertanian adalah sebuah kebijakan untuk mengembangkan pertanian dengan melihat kebiasaan, tradisi, dan aspek sosial budaya lainnya yang berkambang dalam masyarakat. Untuk mengembangkan pertanian Indonesia maka harus memperhatikan kebijakan makro dan mikro, hal ini juga pernah dikatakan oleh prof.Mubyarto.

Dalam kebijakan makro atau tingkat nasional pemerintah melihat berbagai persoalan dari sektor ekonomi. Misalnya pemerintah meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan  selama satu tahun,  selain itu pemerintah juga harus memperhatikan sistem ekspor-impor agar tidak merugikan produksi pertanian nasional dan mencegah kelangkaan barang di pasar yang dapat melibatkan harga barang melambung tinggi. Dalam kebijakan mikro pemerintah harus memeperhatikan kehidupan para petani dan meningkatkan kesejahtraan mereka. Penyuluhan terhadap petani harus dilakukan secara intensif agar setiap permasalahan dan keluhan mereka bisa didengar langsung dan dipelajari. Permasalahan internal yang mereka hadapi seperti pengetahuan dalam menggunakan teknologi baru merupakan  tangung jawab pemerintah dalam tingkatan mikro.

Kesimpulan

            Dari beberapa penelitian diatas kami menganalisis bahwa penulis menggunakan Teori Karl Marx yaitu subjeknya merupakan kelas sosial, metodologi yang digunakan adalah partisipasi advokasi, dan output yang didapat dari penelitian berupa rekomendasi.

Subjeknya merupakan kelas sosial hal ini dapat dilihat pada kalimat "Kondisi pertanian Indonesia yang berhadapan dengan pertanian Negara lain, menimbulkan kegundahan hati bagi para pakar yang bergerak dibidang pertanian."

Metodologi yang digunakan adalah partisipasi advokasi ditunjukkan oleh kalimat berikut "Kesemuanya itu karena terbawa arus liberalisasi atau permainan politik bisnis internasional sehingga Indonesia semakin tergantung kepada negara-negara maju."

Output yang didapat dari penelitian berupa rekomendasi, hal ini dapat ditunjukkan dalam kalimat ". Misalnya pemerintah meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan  selama satu tahun,  selain itu pemerintah juga harus memperhatikan sistem ekspor-impor agar tidak merugikan produksi pertanian nasional dan mencegah kelangkaan barang di pasar yang dapat melibatkan harga barang melambung tinggi. Dalam kebijakan mikro pemerintah harus memeperhatikan kehidupan para petani dan meningkatkan kesejahtraan mereka."

Sistem ekonomi politik pembangunan pertanian perlu mendapatkan prioritas mengingat alokasi  dan distribusi sumberdaya pembangunan nasional akan ditentukan oleh keputusan ekonomi politik nasional yang dilahirkan dari suatu tatanan struktur politik suatu  Negara. Dalam konteks ini pertanian harus dipandang sebagai persoalan Negara, bukan sekedar persoalan sektoral mengingat kehidupan pertanian ini akan menentukan mati hidup nya suatu Negara.

Siklus lima tahunan keputusan politik nasional selama ini walaupun sudah memberikan perhatian terhadap pertanian, namun ternyata belum mampu mengubah pertanian Indonesia menjadi pertanian yang tangguh. Perkembangan sejarah pertanian Indonesia semacam ini tentunya memerlukan perubahan atau penataan ulang. Pelajaran penting perlu di ambil dari perkembangan usaha perkebunan besar khususnya kelapa sawit yang ternyata telah bertumbuh pesat. Demikian juga dengan perubahan struktural yang pesat yang telah terjadi pada bidang pertanian lainnya.

Petani dan insan pertanian perlu menghimpun pengaruh agar dapat dihasilkan system ekonomi politik yang bisa mempengaruhi masa depan pertanian Indonesia secara progresif. Pernyataan Abraham Lincoln bahwa apabila terdapat kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan pertanian, Maka kepentingan-kepentingan tersebut haruslah mengalah, Perlu dijadikan bahan pembelajaran  renungan kita semua dalam berpartisipasi membangun siklus politik nasional dan respon pertanian.

 

Nama anggota kelompok:

Milva Susanti D Putri(1113054000015)

Mir'atunNisa(1113054000038)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini