Selasa, 01 Desember 2015

TUGAS SOSKOT_AHMAD RIZAL_TEORI P BURGER DAN THOMAS LUCKMAN_KOTA SEBAGAI LADANG PERJUANGAN_PMI 3

NAMA                                   : AHMAD RIZAL

NIM                                        : 11140540000012

PROGRAM STUDI             : PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

KOTA SEBAGAI LADANG PERJUANGAN: STUDI OBSERVASI PEMULUNG PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN


Ibu Munaroh

BAB I

PENDAHULUAN

 

DKI Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia Berdasarkan data sensus penduduk yang dilakukan jumlah penduduk Kota Jakarta sebanyak 8.792.000 jiwa. Kepadatan penduduk di DKI Jakarta ini menyebabkan jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh warga Kota Jakarta semakin meningkat. Sebab semakin banyak penduduk, maka yang menghasilkan sampah juga akan bertambah. Berdasarkan data jumlah produksi sampah di DKI Jakarta terus naik dan kini diperkirakan mencapai 6.000 ton per hari. Bila dirata-rata setiap individu dapat menghasilkan sampah berkisar antara 48-50 gram perhari. Begitu besarnya volume sampah yang dihasilkan oleh warga menyebabkan sampah itu menjadi permasalahan yang cukup pelik di DKI Jakarta. Akibat permasalahan sampah tersebut, pemerintah Kota Jakarta membuat kebijakan untuk menyediakan Tempat Pembuangan Sementara untuk menampung sampah warga DKI Jakarta.

Tempat Pembuangan Sampah yang selanjutnya disingkat menjadi TPS, salah satu lokasinya dikawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. TPS tersebut terletak di Kelurahan Pasar Minggu, Kecamatan Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan. TPS ini didirikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Jakarta Selatan dengan nama TPS Pasar Minggu. TPS Pasar Minggu difungsikan untuk menampung seluruh sampah yang ada dikawasan Pasar Minggu dan sekitarnya.

Pendirian TPS di Pasar Minggu, menjadikan TPS tersebut sebagai lahan pekerjaan baru bagi para pemulung. Sampah yang merupakan masalah pelik bagi DKI Jakarta, di sisi lain merupakan rezeki bagi para pemulung. Pemulung mencari barang bekas digunungan sampah untuk upaya bertahan hidup. Di kawasan TPS Pasar Minggu ini terdapat perkampungan pemulung yang sudah ada. Semakin banyak pemulung yang datang di daerah tersebut, kemudian menciptakan sebuah komunitas pemulung yang disebut sebagai paguyuban pemulung Pasar Minggu. Komunitas pemulung Pasar Minggu,memiliki kegiatan yang dinamakan iuran wajib. Iuran wajib ini dulunya diberlakukan untuk setiap anggota pemulung. Masing-masing pemulung menyerahkan uang Rp 1.000 setiap harinya dan uang tersebut adalah uang kas pemulung. Iuran wajib ini dimaksudkan untuk dana kesejahteraan pemulung, yaitu apabila ada salah satu anggota pemulung terkena musibah saat mencari barang bekas di tumpukan sampah, dapat dibantu biaya pengobatannya. Namun, iuran wajib ini tidak ada sangkut pautnya dengan pihak ketua atau struktur organisasi, yang dilakukan oleh pihak perseorangan. Oleh sebab itu, karena tidak adanya persetujuandari pihak ketua maka iuran wajib ini sudah ditiadakan. Iuran wajib ini diambil alih oleh pihak paguyuban dengan berganti sistem yang dijalankan. Namun, yang berhak menerima dana bantuan adalah pemulung berkeanggotaan resmi paguyuban dan memiliki KTA. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tujuan dari pemulung di DKI Jakarta Sebagai Ladang Perjuangan.

Dalam penelitian kali ini menggunakan metode kualitatif  yaitu penelitian yang analisis datanya mengutamakan tentang penjabaran data yang diperoleh. Metode ini dipakai apabila data hasil penelitian tidak dapat diukur dengan angka atau dengan ukuran lain yang bersifat eksak. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya adalah, penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang. Di samping itu juga bisa mengkaji tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif. Pada dasarnya ada tiga unsur utama dalam penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:

1. Data, bisa berasal dari bermacam-macam sumber, biasanya dari wawancara dan pengamatan.

2. Prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk mendapatkan temuan atau teori. Prosedur ini mencakup teknik-teknik untuk memahami data atau biasa disebut dengan coding (penandaan).

3. Laporan tertulis dan lisan. Laporan ini dapat dikemukakan dalam jurnal ilmiah atau konferensi. Bentuknya bisa beragam, tergantung pada khalayak dan aspek-aspek temuan atau teori yang disajikannya.

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

 

Teori Konstruksi Realitas Sosial oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman

Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.

Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-makna subjektif, Durkhemian – Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian tentang dialektika, serta pemikiran Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta. Ungkapan Aristoteles ?Cogito ergo sum?, yang artinya ?saya berfikir karena itu saya ada?, menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.

Seorang epistemolog dari Italia bernama Giambatissta Vico, yang merupakan pencetus gagasan-gagasan pokok Konstruktivisme, dalam ?De Antiquissima Italorum Sapientia?, mengungkapkan filsafatnya ?Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan?. Menurutnya, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Ia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.

Terdapat 3 (tiga) macam Konstruktivisme, antara lain:

1. Konstruktivisme radikal

Hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita, dan bentuknya tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif.

2. Realisme hipotesis

Pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.

3. Konstruktivisme biasa

mengambil semua konsekuensi konstruktivisme, serta memahami pengetahuan sebagai gambaran dari realitas itu. Pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas objektif dalam dirinya sendiri.

Dari ketiga macam konstruktivisme terdapat kesamaan, dimana konstruktivisme dilihat sebagai proses kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian Individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang disebut dengan konstruksi sosial menurut Berger dan Luckmann.

Berger dan Luckman berpendapat bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia, walaupun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataannya semua dibentuk dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas dapat terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain, yang memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidup menyeluruh yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial, serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Menurut Berger & Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain:

1. Realitas Sosial Objektif

Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

2. Realitas Sosial Simbolik

merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media.

3. Realitas Sosial Subjektif

Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Setiap peristiwa merupakan realitas sosial objektif dan merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai realitas sosial subjektif dalam diri pekerja media dan individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Pekerja media mengkonstruksi realitas subjektif yang sesuai dengan seleksi dan preferensi individu menjadi realitas objektif yang ditampilkan melalui media dengan menggunakan simbol-simbol. Tampilan realitas di media inilah yang disebut realitas sosial simbolik dan diterima pemirsa sebagai realitas sosial objektif karena media dianggap merefleksikan realitas sebagaimana adanya.

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui 3 (tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:

1. Eksternalisasi               

Merupakan usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (Society is a human product).

2. Objektivasi

Merupakan hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia), berupa realitas objektif yang mungkin akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya (hadir dalam wujud yang nyata). Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality) atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi.

3. Internalisasi

Merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa, sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product).

Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah dialektika yang berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, setiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.

Gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, berlawanan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial.

Kritis Teori Konstruksi Realitas Sosial

Basis sosial teori konstruksi realitas sosial adalah masyarakat transisi-modern sekitar tahun 1960-an, dimana pada saat itu media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Faktor media massa televisi dalam konstruksi sosial ini tidak dimasukkan sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi realitas sosial, tidak pernah terpikirkan oleh Berger dan Luckmann dalam gagasan konstruksi sosialnya, karena pada saat teori itu dibentuk, konteks sosial tidak melihat bahwa media massa akan berkembang seperti saat ini. Meskipun sejak semula telah disadari bahwa individu juga merupakan kekuatan konstruksi sosial media massa yang tetap saja memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan masyarakat. Sehingga teori ini menjadi kurang relevan ketika fenomena media massa menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Realitas iklan televisi membentuk pengetahuan pemirsa tentang citra sebuah produk. Keputusan konsumen memilih atau tidak terhadap suatu produk, semata-semata bukan karena spesifik yang telah terjadi, namun sebenarnya keputusan itu terjadi karena peran konstruksi sosial media massa yang diskenario oleh pencipta iklan televisi. Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan sebagainya.

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kelemahan, dengan kata lain tidak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semisekunder hampir tidak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann menjadi tidak bermakna lagi.

Teori Karl Marx : Perjuangan Kelas dan Revolusi

Alur dan jalan pikiran teori-teori Karl Marx sulit dimengerti kalau kita tidak memahami latar belakang gagasan-gagasan dasar dari dua pemikir sebelumnya yang tentunya sangat berpengaruh bagi Karl Marx yaitu George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) dan Ludwig Feuerbach (1804-1871).

Prinsip terpenting yang diadopsi Karl Marx dari Hegel yaitu pendekatan dialektis terhadap segala gejala yang ada. Dialektika dimengerti sebagai, "kesatuan dari apa yang berlawanan" atau sebagai "perkembangan yang berjalan dalam langkah-langkah yang saling berlawanan". Oleh sebab itudalam prinsip dialektika muncul beberapa istilah yang lantas menjadi kerangka kerja ilmiahnya yaitu tesis, antitesis dan sintesis. Karl Marx lantas menempatkan prinsip-prinsip dialektika Hegal dalam menelaah sejarah.

            Bagi Karl Marx sejarah adalah gerakan ke kebebasan. Sejarah berjalan dalam loncatan-loncatan dialektis. Seperti Hegel, Karl Marx pun yakin bahwa sejarah mempunyai tujuan dan ia yakin pula bahwa kebebasan akan tercapai yaitu dalam masyarakat yang tanpa kelas. Dari Hegel Karl Marx menerima paham bahwa manusia merealisasikan dirinya sendiri di dalam pekerjaannya dan bahwa sejarah adalah karyanya. Filsafat Feuerbach yang sangat berpengaruh sampai saat ini yaitu kritiknya terhadap agama. Bagi Feuerbach, agama hanyalah suatu proyeksi manusia. Agama adalah tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Oleh sebab itu, manusia harus meniadakan agama agar bisa keluar dari keterasingan itu. Karl Marx pada prisipnya tidak menolak kritik agama Feuerbach. Kritik Karl Marx yang dialamatkan pada Feuerbach yaitu bahwa Feuerbach tidak mempersoalkan mengapa manusia sampai mengasingkan diri dalam agama.

            Karl Marx memberikan analisa tajamnya yaitu bahwa manusia terpaksa dan puas dengan perealisasian diri dalam agama saja karena keadaan masyarakat tidak mengijinkannya merealisasikan hakekatnya secara sungguh-sungguh. Tata-susunan masyarakat tidak memberi peluang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh. Yang mendesak perlu diubah bagi Karl Marx yaitu keadaan masyarakat sekeliling yang menghalangi perealisasian hakekat manusia. Dengan demikian Karl Marx meninggalkan kritik agama dan mengarahkan elaborasinya pada masyarakat. Masyarakatlah yang harus diubah. Berdasarkan kerangka ilmiah pemikir-pemikir sebelumnya, entah dengan alur pikiran yang searah maupun yang bertentangan dalam koridor kritik,

            Karl Marx menawarkan beberapa gagasan penting dan baru dalam ranah filsafat yang dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa gagasannya yaitu konsepsi tentang manusia, nilai guna dan nilai tukar, alienasi manusia, dan perjuangan kelas dan revolusi.

Manusia harus bekerja karena manusia harus memenuhi kebutuhannya. Hal demikian berbeda dengan binatang yang langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari alam. Manusia harus merubah alam dan dengannya manusia baru bisa hidup. Pekerjaanlah yang membedakan manusia dari binatang. Menurut Karl Marx, manusia itu makhluk ganda yang aneh. Di satu pihak ia makhluk alam seperti binatang dan dipihak lain ia harus berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing baginya. Manusia tidak tergantung dari lingkungan alam, tetapi bisa mengolah seluruh alam demi tujuannya yang macan-macam. Pekerjaan itu tanda khas yang melekat pada manusia. Pekerjaan itu tanda bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dan universal. Sebagai makhluk yang bebas manusia tidak hanya melakukan apa yang langsung menjadi kecondongannya. Manusia menghadapi kebutuhan-kebutuhannya dengan bebas. Manusia itu universal karena ia tidak terikat pada lingkungan yang terbatas. Manusia dapat mempergunakan seluruh alam demi tujuan-tujuannya. Seluruh alam dapat menjadi bahan pekerjaannya. Ia berhadapan dengan alam secara universal. Bagi Karl Marx, hanya manusia yang dapat berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Pekerjaan adalah tanda martabat manusia. Pekerjaan itu bagi manusia lebih dari sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan. Di dalam pekerjaan manusia merealisasikan dirinya sendiri. Hasil ukiran dari seorang pengukir mencerminkan kecakapan, kemampuan dan hakekat pengukirnya. Di dalam pekerjaan manusia mengambil dari bentuknya yang alamiah dan memberikan bentuknya sendiri kepadanya. Manusia mengobyektivasikan diri ke dalam alam melalui pekerjaannya. Produk pekerjaannya mencerminkan hakekatnya sendiri. Manusia kerasan di dalam alam karena dibenarkan hakekatnya. Dalam pelbagai pekerjaan manusia melahirkan bakat-bakatnya pada alam dan dengan demikian manusia merealisasikan dirinya sendiri. Pada aspek lain, Karl Marx memandang bahwa pekerjaan merupakan tanda bahwa manusia itu mahkluk sosial. Manusia memerlukan orang lain. Pengakuan manusia lain dapat membuat seorang manusia bahagia. Pengakuan atas hasil kerja dari orang lain membuat seseorang menjadi bahagia dan merasa diakui. Pekerjaan adalah jembatan antara manusia yang selalu berinteraksi. Karena pada dasarnya manusia itu mahkluk sosial, Karl Marx menolak baik individualisme maupun kolektivisme. Individualisme keliru karena manusia melalui bahasa dan pekerjaannya sudah sejak semula dibentuk dan dicetak masyarakat dan tidak dapat hidup tanpa adanya masyarakat.

BAB III

HASIL OBSERVASI LAPANGAN

 

Ibu munaroh adalah seorang pemulung dikawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. DKI Jakarta dan Pemulung adalah Sebagai ladang perjuangan hidupnya. Pemulung adalah seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai pencari barang yang sudah tidak layak pakai, maka orang yang bekerja sebagai pemulung adalah orang yang bekerja sebagai pengais sampah, dimana antara pemulung dan sampah sebagai dua sisi mata uang, dimana ada sampah pasti ada pemulung dan dimana ada pemulung disitu pasti ada sampah. Dalam menjalani pekerjaannya, pemulung dapat dibedakan menjadi dua yaitu, pemulung yang menetap dan pemulung yang tidak menetap.

1.      Pemulung menetap adalah pemulung yang bermukim di gubuk-gubuk kardus, tripleks, terpal atau lainnya di sekitar tempat pembuangan akhir sampah.

2.      Sedangkan kelompok pemulung tidak menetap adalah pemulung yang mencari sampah dari gang ke gang, jalanan, tong sampah warga, pinggir sungai dan lainnya.

Tidak semua dari mereka yang berprofesi sebagai pemulung seratus persen menggantungkan penghasilannya dari memulung, tetapi ada juga yang hanya menjadikan memulung sebagai pekerjaan sampingan atau untuk mencari uang tambahan.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengenai seseorang menggeluti profesi sebagai pemulung yang di dapatkan dari hasil wawancara dengan pemulung di daerah pengasinan bekasi :

1)      Faktor ekonomi (berasal dari keluarga yang kurang mampu)

2)      Sulitnya mencari pekerjaan

3)      Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keterampilan

4)      Tidak ada modal untuk membuka suatu usaha

      Pendidikan merupakan dasar dari pengembangan produktifitas kerja.Tingkat pendidikan yang rendah, membuat pola pikir yang relatif sempit.Sebagian besar pemulung hanya tamat pendidikan sekolah dasar.Kemudian didukung oleh faktor ekonomi keluarga yang tidak berkecukupan. Faktor yang lain adalah modal yang dimiliki sangat terbatas, sehingga sarana yang digunakan oeh pemulung sangat sederhana. Yaitu, karung plastik dan gancu untuk mengungkit sampah atau barang bekas.        

      Kelompok masyarakat pemulung tidak memiliki organisasi formal atau yang bersifat akademik namun secara informal, pemulung memiliki hubungan kerja sama yang serupa dengan kegiatan kelompok organisasi. Pemulung biasanya diorganisir oleh beberapa kelompok.

      Dari hasil observasi dan wawancara dengan mereka, kami mengetahui bahawa status sosial pemulung dapat dibagi menjadi tiga yaitu pemulung, bos besar dan bos kecil

      Pemulung merupakan status sosial yang paling rendah.Ia bekerja untuk mengumpulkan sampah seperti kaleng bekas, botol minuman bekas yang dikumpulkan dalam karung, kemudian diserahkan kepada bos kecil. Dalam ekonomi, pemulung dapat disetarakan dengan produsen.

      Bos kecil merupakan orang yang menampung sampah-sampah dari para pemulung..Sampah-sampah tersebut ditimbang untuk kemudian dihitung berapa berat sampah tersebut.Ia memiliki tempat penampungan sampah. Rata-rata dari mereka dapat menampung hingga 2-5 ton per hari.Dalam ekonomi, bos kecil apat disetarakan dengan peran pedagang pengumpul (collector).

      Bos besar memiliki tempat penampungan yang lebih besar dari bos kecil.Ia adalah pengadah dari hasil kumpulan sampah bos kecil. Dalam ekonomi, bos besar dapat disetarakan sebagai lembaga pemasaran atau agen.

      Status sosial dan peran pemulung, membedakan tingkat pendapatannya. Dari hasil wawancara dengan pemulung kedaerah Pasar Minggu, Penghasilan bisa mencapai Rp 50.000,-per harinya. Sedangkan bos kecil, dapat menghasilkan sekitar Rp 200.000,- dan bos besar menghasilkan Rp 400.000,- per hari. Meskipun pemulung terlihat kumuh, tetapi secara finansial, mereka mampu menghidupi keluarganya. Dalam sebulan, pemulung dapat menghasilkan sekitar Rp 700.000,-.

      Para pemulung umumnya memiliki pergaulan yang terbatas dan relasi yang sempit. Jaringan sosial pemulung secara horizontal (hubungan dengan sesama pemulung), terlihat cukup baik.Mereka saling tolong menolong sesamanya.Jika ada diantara mereka yang terkena musibah, mereka meminta pertolongan dengan kawan seprofesi.

      Jaringan sosial pemulung secara vertikal (hubungan dengan kelompok atas dan bawah), terlihat cukup baik pula. Antara kelompok atas dan bawah saling berkepentingan. Kelompok bawah (pemulung) membutukan kelompok atas (bos kecil atau agen) yang menjadi pengadah hasil kumpulan barang bekas yang dikumpulkan pemulung.Tidak hanya kelompok bawah yang bergantung kepada kelompok atas. Namun, kelompok atas pun memiliki kepentingan dengan kelompok bawah. Para agen, membeli barang-barang bekas kumpulan pemulung.

      Bagi agen, biasanya menyediakan minum dan makan sebagai biaya sosial.hal itu juga untuk mempertahankan hubungan baik antara pemulung dengan pengadah atau agen. Dan jika memerlukan uang untuk biaya pendidikan anaknya, misalnya, biasanya pemulung tidak segan juga untuk meminjam uang kepada agen/bos kecil.

      Pemulung-pemulung dapat melakukan kerjasama dalam bentuk uang yang disumbangkan secara sukarela terhadap sesama pemulung yang terkena musibah.Sedangkan dari pihak bos kecil/bos besar/agen biasanya memberikan bantuan seperti pinjaman uang (jika dalam jumlah yang besar).Sedangkan jika dalam jumlah kecil, biasanya diberikan secara sukarela.

      Diantara para pemulung, dalam menjalankan tugasnya juga terdapat persaingan, seperti untuk mendapatkan hasil pulungan yang banyak dan wilayah operasi. Faktor kecekatan tangan, keterampilan, dan daya tahan fisik yang akan menentukan seberapa banyak mereka dapat mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki nilai ekonomi. Siapa yang kuat fisiknya, pagi, siang, sore bahkan malam hari, dapat melakukan aktivitasnya sebagai pemulung, maka akan lebih banyak juga barang-barang bekas yang didapat.

      Persaingan antara pemulung dengan agen, biasanya berkaitan dengan harga pulungan. Biasanya dihitung berdasarkan berat. Jika dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit seperti sekarang ini, biasanya harga barang hasil pulungan cenderung turun.

      Dalam kepemilikan media komunikasi, dalam hal ini penggunaan telepon genggam, hanya beberapa pemulung saja yang memiliki telepon genggam.Biasanya mereka adalah pemulung masih remaja dan menggunakan telepon genggam untuk berkomunikasi dengan teman-temannya.

Konflik Sosial Pemulung

                             Dalam kehidupan sosial suatu masyarakat, adanya persaingan yang tidak sehat, perbedaan kepentingan dan komunikasi yang tidak terjalin dengan baik, dapat menimbulkan konflik sosial. Kehidupan pemulung sebagai masyarakat miskin yang kumuh, tidak terlepas dari konflik-konflik kehidupan.Selain mengembangkan jaringan sosial, juga berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.Biasanya para pemulung memiliki pekerjaan sampingan lainnya seperti berternak, membuka usaha warung makanan, atau bisa juga, memulung untuk tambahan uang saja.Hal itu dilakukan untuk mengatasi himpitan kesulitan ekonomi.

      Agar mampu bertahan hidup, mereka mengerahkan keluarganya untuk bekerja. Misalnya, Ayah memulung di pagi, siang dan sore hari. Ibu, memulung di pagu hari saja dan Anak memulung di sore hari, sepulang sekolah.

                        Menurut hasil obervasi yang di dapat, konflik-konflik kecil juga dapat terjadi di kalangan pemulung dan agen. Biasanya masalah yang terjadi adalah pemulung menjual hasil pulungannya kepada pihak lainnya (bos kecil) dengan alasan untuk menghindari dipotongnya penghasilan untuk membayar utang si pemulung tersebut.Atau bisa juga untuk mencari selisih harga beli yang lebih menguntungkan.

                        Melihat profesi pemulung yang akrab dengan sampah dan barang-barang bekas, tak jarang mereka yang tak kuat fisiknya terserang penyakit.Dalam hal ini, jaminan kesehatan untuk pemulung masih sangat minim. Tak jarang pemulung dianggap penduduk ilegal sehingga terkadang, mereka tidak mendapat perlakuan kesejahteraan yang sama dengan masyarakat lainnya.

                        Mengenai status kependudukan mereka pun terkadang tidak jelas.Sebagian pemulung tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).Kalaupun ada, KTP tersebut berasal dari tanah lahir mereka dan bukan KTP dari daerah mereka bermukim.Misalnya, Pemulung yang berasal dari daerah cilengsi kemudian bermukim di bekasi.Namun, identitas KTP-nya daerah cileungsi.

                        Tetapi secara umum, konflik-konflik yang terjadi di kalangan pemulung, masih dapat dikendalikan dengan baik dan kehidupan sosial ekonomi pemulung berjalan dengan baik.        

                    Penilaian pemulung di mata masyarakat masih dianggap kurang baik. Hal ini disebabkan oleh tingkah laku beberapa pemulung yang suka jahil mencuri. Sudah banyak terjadi kasus pemulung yang memasuki kawasan perumahan, mencuri sepeda motor milik warga. Oleh karena itu sudah banyak warga yang melarang pemulung memasuki kawasan perumahannya karena dianggap meresahkan warga.

                        Namun, tidak semua masyarakat beranggapan negatif terhadap pemulung. Karena.di balik sisi negatif para pemulung yang suka jahil mengambil barang berharga milik warga, pemulung juga memiliki peran yang mulia. Pemulung memilki kontribusi nyata dalam  mewujudkan sebuah kota yang bersih dari sampah.

                        Masyarakat juga enggan untuk berinteraksi sacara langsung atau untuk menjalin hubungan kekerabatan dengan pemulung.Hal ini dikarenakan pemulung yang berpakaian kotor dan cenderung kumuh.

                        Perhatian masyarakat terhadap pemulung dan keluarga pemulung juga kurang. Padahal sebenarnya mereka membutuhkan perhatian dan dorongan materil maupun sosial dari masyarakat sekitarnya.


BAB IV

KESIMPULAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Kesimpulan

Dalam kehidupan sosial suatu masyarakat, adanya persaingan yang tidak sehat, perbedaan kepentingan dan komunikasi yang tidak terjalin dengan baik, dapat menimbulkan konflik sosial. Kehidupan pemulung sebagai masyarakat miskin yang kumuh, tidak terlepas dari konflik-konflik kehidupan.Selain mengembangkan jaringan sosial, juga berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.Biasanya para pemulung memiliki pekerjaan sampingan lainnya seperti berternak, membuka usaha warung makanan, atau bisa juga, memulung untuk tambahan uang saja.Hal itu dilakukan untuk mengatasi himpitan kesulitan ekonomi. Agar mampu bertahan hidup, mereka mengerahkan keluarganya untuk bekerja

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui 3 (tiga) momen dialektis yang simultan, yaitu:Eksternalisasi, Objektivasi, Internalisasi

Daftar Pustaka

1.      Wirawan, Ida bagus. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

2.      Setiadi, Elly M. Kolip,Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

3. Soekanto, Soerjono. 2011. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

3. http://dkv.binus.ac.id/2015/05/18/teori-konstruksi-realitas-sosial/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini