Selasa, 01 Desember 2015

TugasKelompokOBSERVASI_MuhammadNawawi(Jurnal1B)_SivaulFuadah(KPI1A)

AGAMA DALAM KAJIAN TEORI MARXIAN DAN NEO-MARXIAN
(Menilik Dinding Sosial Pesantren)
 
Disusun oleh:
Sivaul Fuadah -  11150510000014 – KPI 1A
Muhammad Nawawi – 11150510000217 – Jurnalistik 1B
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari struktur sosial yang meliputi perubahan sosial memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari kebanyakan displin ilmu yang lainnya karena sosiologi mencakup hubungan individu dengan individu, imdividu dengan kelompok dam kelompok dengan kelompok.
Sosiologi memiliki ruang lingkup kajian yaitu Ekonomi, Manajemen dan Sejarah dengan objek kajian meliputi: Objek Material, Obek Non-Material, Objek Formal, Objek Budaya dan Objek Agama.
Dalam hal ini, Agama sebagai salah satu objek kajian sosiologi jarang tersentuh untuk dibahas permaslahan di dalamnya, karena dalam sejarah perkembangan sosiologi Karl Marx terkenal dengan ucapannya yaitu 'Kenestapaan keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan kesengsaraan nyata dan sekaligus protes melawan penderitaan nyata tersebut. Agama adalah keluh kesahnya makhluk yang tertindas, jantungnya dunia yang tidak punya hati, karena itu ia merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki roh sama sekali. Ia adalah candu rakyat".[1] (Feuer, 1969)
Maka dalam pembahasan kal ini, kami akan membahas tentang agama sebagai objek kajian sosiologi dengan menggunakan pendekatan teori Marxian dan Neo-Marxian. Dengan objek penelitian yang di fokuskan pada kehidupan masyarakat Pondok Pesantren.
 
B.     Pertanyaan Penelitian
1.      Apa yang menjadi masalah sosial di Pondok Pesantren?
2.      Apa yang melatar belakangi terjadinya masalah sosial yang?
3.      Bagaimana bentuk upaya penyelesaiannya?
 
 
 
TINJAUAN TEORITIS
            Karl Marx yang lahir di Trier, Prusia, 5 Mei 1818[2] (Goodman, 2007) yang merupakan tokoh dibalik terbentuknya teori Marxisme. Marxisme merupakan dasar teori komunisme modern Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat oleh Marx dan Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum, sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk menyejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx, kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Inilah dasar dari marxisme[3].
            Dalam karya-karyanya Karl Marx di pengaruhi oleh Hegel dan Feuerbach, dimana Hegel lebih mmusatkan teorinya pada kesadaran bukan pada kehidupan material yang nyata atau yang terkenal dengan istilah meletakan "dunia diatas kepalanya". Sedangkan Feuerbach lebihmemusatkan perhatiannya pada kehidupan keagamaan yang kemdian dilebur oleh Karl Marx menjadi orientasi filsafatnya sendiri, yakni Materialisme Dialektika yang menekankan dialektika pada kehidupan material.[4]
            Teori yang terkenal dari Karl Marx adalah Teori Konflik dan Teori Kelas, dimana teori konflik menitik beratkan pada konsep kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga menimbulkan konflik[5] (Soyomukti, 2010). Sedangkan teori kelas merujuk pada kelas-kelas sosial yang terbentuk akibat ketidak merataan kekuasaan dalam sistem sosial yang kemudaian oleh Karl Marx  digolongkan dalam dua kelas yaitu kelas Borjuis  dan kelas Pekerja (proletar).
 
            Di sejumlah tempat dalam karyanya Marx berbicara seolah seperti seorang determinis ekonomi; yakni, ia yang menganggap system ekonomilah yang terpenting dan menegaskan system ekonomi menentukan semua sector masyarakat lainnya. Meskipun Marx berpikir dialektis, namn ia masih saja diinterpetasikan sebagai seorang determinis ekonomi.[6]
            Akibat kecaman terhadap pemikiran Marx yang condong determinisme ekonomi, akhirnya determinisme ekonomi mulai memudar perananya dan sejumlah teoritis mengembangkan teori Marxian jenis lain. Para teoritis yang mengembangkan teori Marxian antara lain George Lucas dengan reifikasi dan kesadaran kelasnya, Antonio Gramsci dengan pemikiran Hegemoni  dan teori kritik yang merupakan produk dari sekelompok Neo-Marxis Jerman yan tidak puas dengan keadaan teori Marxian.
            Dari uraian teori diatas, kami memilih menggunakan teori kelasnya Karl Marx yang akan kami padukan dengan teori kritik yang didalamnya terdapat kritik terhadap Masyarakat Modern.
            Kami ambil teori-teori tersebut untk menguraikan kelas social yang ada dalam masyarakat Pondok Pesantren yang menjadi objek penelitian kami serta untuk mengetahui dominasi kelas social apakah seperti dasar pemikiran Marx yang secara tegas tertuju pada bidang ekonomi atau dasar pemikiran teori kritik yang memungkinkan terjadinya dominasi kelas sosial oleh elemen cultural?.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
PEMBAHASAN
(Hasil Observasi)
A.    Profil Objek dan Tempat Penelitian
Pondok Pesantren Daarul Rahman dipimpin oleh K.H. Syukron Ma'mun. Pada awalnya, Ponpes Daarul Rahman I didirikan pada 11 Januari 1975 oleh KH. Syukron Makmun bersama kawan-kawannya; KH. Untung Ghozali BA, KH. Mansyuri Baidlowi MA, Ust. Nuharzim  BA, KH. Kadir Rahaman, KH Abdurahman Naidi, dan H. Muhammad Noor Mughi. Pesantren ini menempati lahan wakaf dari H. Abdurahman Naidi. Kawasan Senopati pada tahun 1970-an masih berbentuk kampung. Tapi pesatnya perkembangan Jakarta pada tahun 1980-an dengan cepat mengubah kawasan ini dari kampung menjadi segitiga emas bisnis Jakarta. Idealismi Kyai Syukron dalam membangu pesantren adalah ingin menggabungkan Antara model klasikal ala pesantren Gontor dan pesantren salafiyah.
Latar belakang salaf dan modern itulah yang coba dikombinasikan dalam wujud Pesantren Daarul Rahman. Dengan begitu santri-santri yang belajar di Daarul Rahman memiliki kemampuan membaca kitab kuning, memperoleh kemahiran berbahasa Arab dan Inggris, serta cara-cara berorganisasi. Seiring perkembangan zaman, mereka juga dibekali dengan kemampuan ilmu-ilmu umum.
Pesantren Daarul Rahman memiliki kurikulum tersendiri yang khas. Komposisi mata pelajaran adalah 75 persen ilmu agama dan 25 persen ilmu pengetahuan umum. Sejak awal, pesantren ini tidak menggunakan kurikulum kurikulum Nasional. Akibatnya, pada masa Orde Baru ijazah yang dikeluarkan Daarul Rahman tidak diakui pemerintah.
Ketika Reformasi bergulir, Mendiknas Malik Fajar memberikan perhatian lebih pada pesantren. Ia mengeluarkan SK yang memperbolehkan Daarul Rahman tidak mengikuti kurikulum pemerintah. Dengan menjalankan kurikulum sendiri, tanpa mengikuti UAN ijazah lulusan Daarul Rahman disamakan sebagai ijazah negeri.
 
Namun, karena pada makalah ini kami akan lebih focus membahas Ponpes Daarul Rahman III, maka yang akan lebih detail kami perjelas adalah Ponpes Daarul Rahman III. Ponpes Daarul Rahman III dibangun pada tahun 2005 yang kemudian membuka tahun ajaran baru pada tahun 2006. Namun yang membedakan Ponpes ini dengan cabang yang lainnya adalah pada sistim kurikulumnya. Jika pada Ponpes Daarul Rahman I dan II, komposisi mata pelajarannya adalah 75% dan agamanya 25%, maka untuk Daarul Rahman 3 ini memakai persentase yang seimbang, yakni 50%  mata pelajaran umum dan 50% untuk mata pelajaran agamanya.
Disini masyarakat Pondok Pesantren (PonPes) terdiri atas Pengasuh, Pengurus Pondok, Ustadz dan Ustadzah serta Santri. Santri merupakan salah satu unsur dalam masyarakat PonPes, santri yang merangkap statusnya sebagai siswa menjalani dua kewajiban yaitu sebagai santri dan peajar. Santri disini terbentuk dalam satuan terpisah yaitu Santri Putra yang terorganisir dalam IP3DR yaitu organisasi semisal OSIS dalam sekolah dan Santri Puteri yang terorganisir dalam IP4DR yaitu organisasi semisal OSIS khusus santri puteri.
Dimana tiap organisasi memiliki peraturan yag mengikat dan hukuman bagi yang melanggarnya. Salah stunya adalah dalan hal berbahasa diamana kegiatan pembelajaran wajib menggunakan Bahasa Arab dan ada hukuman bagi tiap pelanggarnya. Namun, bagi Santri baru selama 6 bulan masih di beri toleransi untuk menggunakan Bahasa Indonesia.
Selain organisasi intra yang menaungi para santri ada pula organisasi ekstra sebagai tempat santri menyalurkan minat dan bakatnya, diantara organisasi ekstara yang ada yaitu; PRAMUKA dan PASKIBRA.
Selain itu, santri bisa terlibat dalam koperasi dan poduksi mukena yang diadakan di PonPes Daarul Rahman.
Sebagai santri taat dan pauh dalam menjalankan peraturan PonPes dan peraturan sekolah adalah suatu kewajiban. Tetepi, hal tersebut masih butuh pengawasan dari pengurus pondok dan para santri senior. Dan disini letak konflik yang sering terjadi antara pengurus, santri senior dan santri baru.
 
 
 
 
 
B.     Pembahasan Teoritis
Teori kelas Karl Marx menjelaskan bahwa sejarah dari masyarakat sampai sekarang adalah dari hasil sejarah perjuangan kelas diamana dijelaskan bahwa pelaku utama sejarah adalah kelas-kelas social[7].
Dalam teori ini, Marx hendak menjelaskan perjuangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemkiran Karl Marx tertuju pada bidang eknomi.
Jika kita hubungkan dengan hasil peneltian kami, suatu kelas social disini sebut saja kelas santri baru mereka adalah sekelompok orang yang mendominasi secara kuantitas, dan kelompok santri baru adalah sekelompok orang yang datang membiayakan diri untuk masuk suatu PonPes dengan segala konsekuensinya. Salah satu konsekuensinya yaitu mengikuti dan patuh pada peraturan PonPes. Maka jika kita lihat kelas Borjuis disini adalah kelas santri baru karena datang dengan pembiayaan. Namun disisi lain kelas pengurus sebagai penegak peraturan PonPes pun bukankelas proletar.
Sehingga dalam suatu konflik peraturan menjadikan kelas pengurus sebagai kelas yang dominan yang membuat sebagian orang dalam kelas santri baru memilih keluar dari PonPes dengan alasan peraturan dan penegak peraturan yang dominan dalam hal ini adalah kelas pengurus. Maka dalam hubungan social teori kelas Karl Marx tidak memuat kasus tersebut sedankan jika kita memasukan teori kritik terhadap masyrakat nodern maka cultural atau kebudayaan yang terbentuk di PonPes tersebut yaitu pengurus sebagai kelas dominan terhadap kelas santri baru yang merupaka budaya PonPes tersebut.
Kita ambil kasus lain, dalam kasus keikut sertaan santri dalan keanggotaan koperasi dan produksi mukena. Modal adalah dimiliki PonPes dimana santri disini adalah sebagai tenaga pembantu untuk melancarkan usaha tersebut. Maka jika kita lihat dari kaca mata kelas milik Karl Marx kelas yang dominan adalah kelas pemilik modal yaitu dalam hal ini PonPes, disisi lain santri adalah Kelas pembantu usaha dengan kata lain jika kita terapkan teori Karl Marx dalam ruang lingkup ekonomi lebih tepat.
 
Konflik dalam bentuk kelas yang sering terjadi adalah konflik santri senior dan santri junior, bagaimana sikap santri senior yang mengangkat dirinya dan mendominasi sebagai kelas santri yang lebih memiliki kekuasaan dan wewenang karena keseniorannya dan menjadikan santri junior sebagai kelas santri yang tersisihkan dalam hal kewenangan dan kekuasaan.
Maka dijelaskan dalam teori kritik terhadap masyarakat modern yaitu hal ini merupakan titik yang tidak tersentuh oleh teori kelas Karl Marx, yaitu sekalipun santri junior adalah santri yang dominan dalam permodalan (kelas borjuis menurut Karl Marx) tetapi kelas yang mendominasi adalah yang di tentukan secara cultural (kebudayaan yang terdapat pada PonPes terebut).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
KESIMPULAN
 
Teori yang terkenal dari Karl Marx adalah Teori Konflik dan Teori Kelas, dimana teori konflik menitik beratkan pada konsep kekuasaan dan wewenang yang tidak merata pada sistem sosial sehingga menimbulkan konflik[8]. Sedangkan teori kelas merujuk pada kelas-kelas sosial yang terbentuk akibat ketidak merataan kekuasaan dalam sistem sosial yang kemudaian oleh Karl Marx  digolongkan dalam dua kelas yaitu kelas Borjuis  dan kelas Pekerja (proletar).
Akibat kecaman terhadap pemikiran Marx yang condong determinisme ekonomi, akhirnya determinisme ekonomi mulai memudar perananya dan sejumlah teoritis mengembangkan teori Marxian jenis lain. Para teoritis yang mengembangkan teori Marxian antara lain George Lucas dengan reifikasi dan kesadaran kelasnya, Antonio Gramsci dengan pemikiran Hegemoni  dan teori kritik yang merupakan produk dari sekelompok Neo-Marxis Jerman yan tidak puas dengan keadaan teori Marxian.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 

 

Feuer, L. S. (1969). Basic Writings on Politics and Philosophy. London: Collins/Fontana.
Goodman, G. R. (2007). Teori Soiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Soyomukti, N. (2010). Pengantar Sosiologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
 
 


1Karl Marx (1884) 'Toward the Critique of Hegel's Philosophy of Right' dalam Louis S. Feuer (ed.) (1969) Marx and Engels: Basic Writings on Politics and Philosophy, London: Collins/Fontana, h.304.
[2] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Ed.6 Cet.4, Jakarta:Kencana (2007) Hlm. 32
[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Marxisme
[4] Gerge Ritzer. Op. Cit, 29
[5] Nuraini Suyomukti, Pengantar Sosiologi, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media (2010) Hlm.72
[6] Ibid.170
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kelas_Marxisme
[8] Nuraini Suyomukti, Pengantar Sosiologi, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media (2010) Hlm.72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini