Selasa, 01 Desember 2015

Citra Ayu Lestari, Jurnalistik 1A (11150510000166) dan Raudhatus Shifa,KPI B (11150510000085)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Dalam ilmu ekonomi mainstream, konsep pasar adalah setiap struktur yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk menukar jenis barang, jasa dan informasi. Pertukaran barang atau jasa untuk uang disebut dengan transaksi. Pengaruh ini merupakan studi utama ekonomi dan telah melahirkan beberapa teori dan model tentang kekuatan pasar dasar penawaran dan permintaan.

 

1.2 Metode Penelitian

1)      Subyek Penelitian : Muhammad Musthofa

2)      Sumber data          : Hasil Wawancara

3)      Tekhnik pengumpulan data :

a)      Observasi

b)      Wawancara

4)      Jenis sumber data :

Data primer : data yang diperoleh dari Narasumber langsung dengan mengajukan pertanyaan secara tertulis untuk mendapatkan jawaban diperlukan peneliti.

 

1.3 Tahapan Waktu

1.      Minggu, 29 November 2015

a)        Perkenalan diri dari anggota kelompok kepada subyek yang menjadi tujuan riset

b)        Menjelaskan tujuan wawancara

c)        Melakukan pengamatan terhadap narasumber dan kegiatan yang dilakukan

d)       Wawancara

2.      Senin, 30 November 2015

Menganalisis dengan menggunakan teori Sosiologi Aliran Marxian

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

 

Neo-Marxisme adalah istilah diterapkan pada teori sosial atau analisis sosiologi yang mengacu pada ide-ide Karl Marx, Friedrich Engels dan unsur-unsur dari tradisi intelektual lain, seperti psikoanalisis (teori kritis), sosiologi Weberian (teori Erik Olin Wright tentang kelas yang bertentangan) dan anarkisme (kriminologi kritis). Neo-Marxisme juga meliputi analisis Marxisme, Marxisme Hegelian, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni, feminisme Marxis, Marxisme ekologis, post-Marxisme dan berbagai teori sosial kritis yang berasal dari Frankfurt School.[1]

 

Penganut Neo-Marxisme (Neo-Marxis) menunjukkan bagaimana kebijakan-kebijakan dalam kapitalisme menghambat pembangunan dan meningkatkan kesenjangan antara negara di bagian utara dan selatan. Sejak saat itu, Neo-Marxis menghasilkan teori ketergantungan dan teori sistem dunia sebagai ilustrasi tentang bagaimana kapitalisme neo-liberal meningkatkan ketidaksetaraan ekonomi global.[2]

 

Teori neo-Marxian pertama secara histories adalah determinasi ekonomi, tetapi determinasi ekonomi kurang penting pada masa sekarang, khususnya bagi pemikir yang berorientasi sosiologis. Teori yang berdasarkan determinasi ekonomi ini ditentang oleh berbagai jenis teori Marxian lain yang berkembang kemudian. Marxisme-Hegelian, teutama yang diwakili karya George Luckas, adalah contoh yang menentang. Pendekatan ini mencoba mengatasi keterbatasan determinasi ekonomi dengan kembali pada akar subyektif Hegelian teori Marxian. Marxisme-Hegelian juga sedikit sekali relevansinya dengan keadaan masa kini. Signifikansinya terletak pada dampaknya  terhadap teori neo-Marxian yang kemudian.[3]


 

Aliran kritis pewaris dari tradisi Marxisme-Hegelian adalah penting untuk sosiologi masa kini. Sumbangan besar teoritisasi kritis (Marcise, Habermas, dan sebagainya) adalah diskursus yang tentang kultur, kesadaran, dan hubungan timbale balik antara keduanya. Teoritisasi ini telah meningkatkan pemahaman kita mengenai fenomena cultural seperti rasionalitas instrumental, "industri kultur", "industri ilmu pengetahuan", tindakan komunikatif, diminasi, dan legitimasi. Mereka menambahkan konsep-konsep kesadaran, terutama dalam bentuk penginterasian teori Freudian, kedalam pemikiran mereka. Tetapi, teori kritis telah bergerak terlalu jauh dalam upayanya mengimbangi keterbatasan determinasi ekonomi dalam menganalisis kekuatan social berskala luas pada umumnya.[4]

 

Berikutnya dikemukakan dua aliran pemikiran dalam sosiologi ekonomi neo-Marxian.Pertama, yang menerangkan hubungan antara modal dan tenaga kerja, terutama dalam karya Baran-Sweezy dan Braverman. Kedua, yang menerangkan transisi dari Fordisme ke post-Fordisme. Ketiga,kumpulan pemikiran ini mencerminkan upaya untuk kembali ke beberapa pemikiran ekonomi tradional sosiologi Marxian. Pemikiran ini penting karena upayanya untuk memperbarui sosiologi ekonomi Marxian dengan memperhatikan realitas yang muncul dalam masyarakat kapitalisme saat ini. Pemikiran lain adalah Marxisme berorientasi sejarah, khususnya pemikiran Immanuel Wallerstein dan pendukungnya mengenai system dunia modern.[5]


 

BAB III

ANALISIS HASIL

 

 

Nama                                    : Kartini

Tempat, Tanggal, Lahir        : Banyuwangi, 5 Juli 1968

 

Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh dan kotor. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.

Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatar belakangi oleh perilaku dari pedagang pasar dan pengunjung serta pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.

Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.


 

Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan sering kali dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional yang masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,

Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.

Ibu Kartini yang biasa di panggil oleh pelanggannya adalah Mba Karti atau Ibu Karti ini memulai usaha ini sejak tahun 1996. Alasan beliau selama 19 tahun memilih berdagang adalah karena beliau beranggapan bahwa dengan berdagang, kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi. Dan walaupun hanya berdagang sayuran, beliau mengutip kata – kata dari Bob Sadino "sekecil kecilnya usaha, maka bosnya adalah saya sendiri". Dan beliau setuju dengan pernyataan itu.

Awalnya Bu Karti memulai usaha ini karena membantu Alm.Ibu beliau berjualan sekaligus mengelola kebun keluarganya. Saat itu Bu Karti berusia 15 tahun dan akhirnya sekarang di teruskan olehnya. Seiring berjalannya waktu beliau memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan menjual kebunnya, sebagai modal awal beliau hidup di Jakarta.

Di Jakarta beliau meneruskan berjualan sayur. Setiap pagi, beliau berjualan di Pasar Kebaoran Lama. Ketika siang dia memindahkan barang dagangannya ke halaman rumahnya. Tidak sulit baginya karena beliau dibantu oleh sang suami Pak Murdini. Pak Murdini selalu membantu Ibu Karti disaat berjualan. Tempat berjualan pasti membutuhkan tempat sewa. Begitu juga di pasar, beliau membayar sewa setiap satu bulan sekali.

Sebelum kebunnya di jual, beliau selalu menjual sayur dari hasil kebunnya sendiri. Dan berhubung kebunnya sudah di jual, jadi Bu Karti selalu membeli dari saudaranya yang berada di kampung sejak 5 tahun lalu.

Jika seandainya ada sayur yang jelek, tidak mungkin bisa di jual dan tidak mungkin ada orang yang mau membeli sayuran yang sudah tidak layak. Ingin di masak juga tidak akan enak. Jadi sebelum dipasarkan, sayuran itu harus di pilah pilah mana yang bagus mana yang jelek. Yang bagus di jual dan yang jelek mungkin di kembalikan untuk di tukar ke yang lebih baru atau bahkan di buang.

Setiap pedagang pasti pernah mengalami turun omset. Dan banyak sebabnya. Bu Karti pernah mengalami turun omset. Sebabnya karena gagal panen di kebun milik saudaranya. Ada juga harga kebutuhan pokok yang tinggi. Dan masih banyak hal lain.

Bu Karti sama sekali tidak merasa tersaingi dengan pedagang yang berjualan sama dengannya. Yang namanya berdagang pasti ada yang sama dan ada juga yang berbeda. Jadi kenapa harus merasa tersaingi, karena semua sudah diatur oleh Allah.

Hambatan ketika berdagang pasti ada,tapi Bu Karti dan keluarganya bukan hanya diam dan melihat hambatannya tetapi berfikir bagaimana terlepas dari hambatan itu.

Suka duka berdagang menurut Bu Karti itu banyak. Sukanya Bu Karti ketika berjualan adalah beliau selalu di temani oleh suaminya baik dalam keadaan susah ataupun senang, beliau bisa membantu suaminya menghasilkan penghasilan untuk kebutuhan hidupnya dan masih banyak lagi. Dukanya mungkin lelah karena harus berjualan setiap harinya, banyak orang yang merasa tersaingi dengan beliau. Tetapi beliau selalu optimis dengan apa yang beliau kerjakan.


 

BAB IV

KESIMPULAN

 

Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh dan kotor yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional.

Pedagang sayur tidak hanya berdagang di pasar, tetapi berdagang sayur bisa di lakukan di rumah. Dengan tujuan mulia menghidupi keluaga dan menciptakan keluarga yang harmonis bagi para pedagang sayur.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.        http://www.markfoster.net/struc/nm.html

2.        http://www.ukessays.com/essays/politics/neo-marxist.php

3.        Studi lapangan pasar tradisional Kebayoran Lama

4.        Studi lapangan kediaman Narasumber

5.        Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi. Diterjemahkan Oleh : Nurhadi. Bantul : Kreasi Wacana



[3] George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, Bantul, 2012, hlm. 296

[4] George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, Bantul, 2012, hlm. 301

[5] George Ritzer Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, Bantul, 2012, hlm. 315

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini