Rabu, 14 Oktober 2015

Siti Maghfiroh_Masalah Kota dengan Teori labeling Lemert ¬_Tugas 5 Soskot

NAMA:           SITI MAGHFIROH

NIM:               11140540000007

PRODI:           PMI

MASALAH PREMANISME DALAM TEORI LABELING

 

A.PENDAHULUAN

Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.

Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

Menurut E.J Habsbown, kelahiran kelompok bandit (preman. pen) ini, khususnya di Jakarta tidak lepas dari proses sejarah kota Jakarta itu sendiri sebagai kotanya kaum pendatang. (Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemon, penerbit Grafiti). Peta Premanisme sendiri sebagaimana di tulis Jerome Tedie (2009), dibagi menjadi sekitar 15 etnik kesukuan, diantaranya ialah Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Maluku, dan Papua. Pun memiliki spesialisasi masing-masing yakni ada yang spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul. (Wilayah kekerasan di Jakarta, Jerome Tedie).

 

B.     PEMBAHASAN

Salah satu fenomena kejahatan yang terjadi dalam masyarakat saat ini adalah begitu maraknya praktik atau aksi premanisme di kalangan masyarakat. Belakangan diberbagai media memberitakan salah satu gembong penjahat di Jakarta ditangkap polisi.

Kajadian ini kembali membuka mata publik akan pandemi premanisme di Indonesia. Premanisme memang acapkali menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Suatu hal yang sejatinya tidak hanya terjadi di kota besar seperti di Jakarta, melainkan marak pula di pelosok-pelosok desa. Namun bedanya kalau di Jakarta kasus premanisme telah memiliki

nilai historis yang begitu panjang dan tampak lebih dahsyat. Perhatian utama dari sejarah sosial ini ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungannya (alamiah atau sosial) dan dengan tetangga

Secara definitif, preman memiliki beberapa arti, dalam kamus Wikipedia, kata preman berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran. sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, preman salah satunya diartikan sebagai orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan). Terminologi Premanisme sendiri pada dewasa ini semakin komplek, seperti halnya premanisme hukum yakni orang yang memperalat atau mempermainkan hukum, premanisme politik yakni pihak yang memperalat atau melakukan kejahatan politik untuk kepentingan dirinya atau golongannya, dll.

Olehnya dapat disimpulkan bahwa preman telah memiliki definisi yang khas sebagaimana pemaparan di atas. Pelaku kekerasan tidak semuanya bisa disebut preman, sehingga jelas tidak tepat semisal teman-teman di FPI ada yang memberi label sebagai preman berkalung surban.

Praktek premanisme memang bisa tumbuh di berbagai lini kehidupan manusia. Apalagi di Indonesia kini berkembang informalitas sistem dan struktur di berbagai instansi. Jadi sistem dan struktur formal yang telah ada memunculkan sistem dan struktur informal sebagai bentuk dualitasnya. Kondisi tersebut telah ikut menumbuh suburkan premanisme. Secara sosiologis, munculnya premanisme dapat dilacak pada kesenjangan yang terjadi dalam struktur masyarakat. Kesenjangan di sini bisa berbentuk material dan juga ketidak sesuaian wacana dalam sebuah kelompok dalam struktur sosial masyarakat.

Di sini yang disebut masyarakat dapat dimaknai sebagai arena perebutan kepentingan antar kelompok, di mana masing-masing ingin agar kepentingannya menjadi referensi bagi masyarakat. Dalam perebutan kepentingan ini telah menyebabkan tidak terakomodirnya kepentingan individu atau kelompok dalam struktur masyarakat tertentu. Kesenjangan dan ketidaksesuaian ini memunculkan protes dan ketidakpuasan dan kemudian berlanjut pada

dislokasi sosial individu atau kelompok tertentu di dalam sebuah struktur masyarakat. Dislokasi ini bisa diartikan sebagai tersingkirnya kepentingan sebuah kelompok yang kemudian memicu timbulnya praktik-praktik premanisme di masyarakat. Praktik premanisme tersebut tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah, namun juga merambah kalangan masyarakat atas yang notabene didominasi oleh para kaum intelektual.

Kenyataan sosial dari preman di kota-kota besar seperti Jakarta, merupakan akibat tidak langsung dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan urbaninsasi. Fenomena premanisme di Indonesia mulai berkembang hingga sekarang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Sikap preman ada hubungannya dengan pertumbuhan finansial masyarakat yang tidak seimbang, yang menimbulkan kecemburuan sosial, ketegangan hidup, serta kebrutalan sosial.

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang pada saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk

 

penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.

Contoh:

  • Preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari sopir-sopir, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya yang melewati terminal.
  • Preman di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kakilima, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap dirusaknya lapak yang bersangkutan.

Sering terjadi perkelahian antar preman karena memperebutkan wilayah garapan yang beberapa di antaranya menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas karena ekonomi yang semakin memburuk dan kolusi antar preman dan petugas keamanan setempat dengan mekanisme berbagi setoran.

Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang

terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.

Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :

·           Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.

·          Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.

·         Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa

·         Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.

·           Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.

 

https://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/kriminologi/premanisme-dalam-teori-labeling/ di akses pada tanggal 13 oktober.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini