Senin, 17 November 2014

TUGAS KE 7_DEWI UTARI_1112051000134_KPI 5E_ETIKA DALAM PROFESI KOMUNIKASI (ADVOKAT)

NAMA            : DEWI UTARI
NIM                : 1112051000134
KPI 5E
TUGAS KE 7 ETIKA DALAM PROFESI KOMUNIKASI (ADVOKAT)
 
Di dalam undang-undang dasar republik Indonesia tahun 1945 telah menyatakan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum dengan memegang prinsip bahwa adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum. Oleh karena itu, dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut maka di bentuklah suatu penegak hukum yang di sebut dengan advokat atau pengacara. Advokat atau pengacara memiliki peran dan fungsi sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab.  Dan jika di lihat dari historisnya, advokat atau pengacara termasuk ke dalam kategori profesi yang tertua. Karena dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium mobile atau jabatan yang mulia. Penamaan ini terjadi karena adanya aspek yang menyatakan bahwa "kepercayaan" dari (pembela kuasa, klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.
Akan tetapi, dalam menjalankan tugasnya seorang advokat  juga tidak boleh sembarangan atau semena-mena melainkan harus memiliki etika yang baik. Etika yang baik  disini adalah yang mencakup analisis dan fungsi dari berbagai konsep, seperti benar atau salah, baik atau jahat, serta bertanggung jawab atau tidaknya seorang manusia.[1]  Untuk itulah, pemerintah membuat undang-undang republik Indonesia nomor 18 tahun 2003 tentang advokat dan kode etik advokat guna menjadi pedoman bagi seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Dan tentunya, di dalam undang-undang nomor 18 tahun 2003 dan kode etik advokat terdapat unsur-unsur kajian filsafat. Yaitu: kajian ontology, epistemology, dan  aksiology.
ontology merupakan pengkajian tentang"ada". Dan jika di lihat dalam kasus ini maka bahasan mengenai ontology tertuju kepada keberadaan akan kode etik advokat. Secara ontology, kode etik advokat merupakan himpunan mengenai tata cara etika profesi seoarang advokat. Advokat dalam menjalankan tugasnya berpegang teguh kepada undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat dan kode etik advokat. Adapun kode etik advokat yang telah di jelaskan pada pasal 15 yang berbunyi "Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawab dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan". pada pasal 17 juga telah dijelaskna bahwa "Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
Epistemology merupakan teori pengetahuan, menjawab pertanyaan bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai obyek tersebut.[2] Dalam kasus ini, kajian epistemology berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
Dan dengan adanya kode etik advokat ini sangat berguna untuk advokat dalam menjalankan tugasnya. yaitu advokat menjalankan kewajibannya seorang advokat harus memiliki sikap yang profesional dan bertanggung jawab secara penuh dalam membela orang yang mendapat perlakuan tidak baik. Untuk itulah, maka di harapkan seorang advokat untuk mampu menerapkan dan berpegang teguh  kepada kode etik advokat dan undang-undang nomor 18 tahun 2003.
Aksiology merupakan sebuah ilmu ditemukan dalam rangka memberikan kemanfaatan bagi manusia, dengan ilmu diharapkan semua kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara cepat dan mudah.[3]  Dalam kasus ini yang akan di bahas mengenai kajian aksiologi adalah mengenai  manfaat dari kode etik advokat.  Pada dasarnya, tujuan  di adakan kode etik advokat ini adalah agar seorang advokat dapat bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya. Sedangkan manfaat dari kode etik advokat dapat di lihat pada pasal Pasal 18 yang menyatakan bahwa: "Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya." Maksud dari pelarangan tersebut adalah supaya advokat dapat bersikap secara adil dan merata yang tidak membeda-bedakan antara suku, ras, golongan, agama maupun hal-hal yang lainnya. Agar masyarakat berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan adil.
Kemudian pada Pasal 20 yang menyatakan bahwa:
  1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
  2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya
Maksud dari pelarang pada pasal 20 tersebut adalah supaya advokat dapat bekerja secara penuh dan seoptimal mungkin serta berfikir fokus dalam menjalankan tugasnya yang harus membela kliennya agar masalah sang klient dapat terselesaikan dengan baik tanpa mengecewakan sang klient.
 


[1] Aliah B. Purwakania Hasan, kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi, (Yogyakarta:graham ilmu), cetakan pertama. h 40
[2] Mohammad Zamroni, filsafat komunikasi pengantar ontologism, epistemologis , aksiologis, (Yogyakarta:Graha Ilmu), cetakan pertama, h 76.
[3] Mohammad Zamroni, filsafat komunikasi pengantar ontologism, epistemologis , aksiologis, (Yogyakarta:Graha Ilmu), cetakan pertama, h 100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini