Senin, 13 Oktober 2014

MUDILLAH/1112051000132/KPI5E/UTS/ETIKADANFILSAFAT

Nama   : Mudillah
NIM    : 1112051000132
Kelas   : KPI 5E

A.  Latar Belakang
Secara umum, Lembaga Pendidikan merupakan sebuah institusi pendidikan yang menawarkan pendidikan formal mulai dari jenjang pra-sekolah sampai ke jenjang pendidikan tinggi, baik yang bersifat umum maupun khusus (misalnya sekolah agama atau sekolah luar biasa). Lembaga pendidikan juga merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi agen sosialisasi lanjutan setelah lembaga keluarga.
Di dalam suatu lembaga sudah pastinya mempunyai etika. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
 Etika tidak hanya membahas tentang etika individual, dimana etika yang dibangun dan di tentukan oleh individu tertentu terhadap dirinya sendiri, semacam pengendalian diri sendiri. Akan tetapi etika juga membahas tentang etika sosial dimana etika itu terbentuk di dalam lingkungan sosial, yang nilai-nilainya telah dibentuk dan diatur oleh masyarakat sosial. Seperti yang terjadi di salah satu pondok pesantren la tansa, pondok ini mempunyai etika yang disepakati oleh masyarakatnya demi kelangsungan kegiatan para santri.
Pondok pesantren ini  berdiri di sebuah lembah seluas ±13 ha. yang sekelilingnya dialiri sungai Ciberang dan dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit yang menghijau, terhindar dari polusi udara bahkan polusi budaya dan pergaulan amoral, merupakan tempat tafaqquh fiddien yang nyaman dan rekreatif.
Lembaga ini dilahirkan oleh Pondok Pesantren Daar El-Qolam Gintung, Jayanti, Tangerang, sebagai suatu pengembangan wawasan dan pengembangan daya tampung dengan sistem pendidikan serta pengajaran yang lebih variatif dan memenuhi hajat umat yang memberikan prospek yang sangat baik  untuk  sebuah sarana pendidikan.
Pondok pesantren ini terlahir sebagai manifestasi kebutuhan ummat akan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi kekinian, kondisi dimana hajat akan tercipta sebuah generasi yang tidak hanya mengejar nilai-nilai duniawi tetapi juga tidak menghilangkan nilai-nilai ukhrawi yang tertanam dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam pondok pesantren ini selalu melakukan kegiatan formal, seperti mendengarkan wejangan atau ceramah dari pemimpin pondok tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan ilmu kepada santri khususnya ilmu agama.
Kasus:
Dalam kasus utilitarianisme, saya akan mengambil sebuah kasus yang berada di pondok pesantren ini. Tidak seperti pondok pesantren pada umumnya, pondok pesantren ini memperbolehkan santriwati yang sedang berhalangan atau haidh masuk ke dalam masjid dan duduk di dalamnya untuk mendengarkan wejangan atau ceramah dari mudir (pemimpin pondok pesantren) tersebut. Ini terjadi ketika pondok ini belum memiliki aula khusus untuk pertemuan.
Seperti yang telah diketahui secara umum, ada yang berpendapat bahwa perempuan yang sedang berhalangan tidak boleh masuk masjid apalagi sampai berdiam diri di dalamnya sampai berjam-jam. Namun, di pondok ini diperbolehkan.
Jika dipertanyakan kepada salah satu ustadzah yang bersangkutan, mereka menjawab "kami memberlakukan hal demikian karena kami mempunyai alasan tertentu. Kami ingin seluruh santriwati mengikuti kegiatan ini secara maksimal, kami ingin mereka mendapatkan ilmu, tidak hanya di dalam kelas, di dalam masjid pun mereka juga bisa mendapatkannya. Dan jika santriwati yang berhalangan tidak masuk masjid, atau sekedar mendengarkannya dari luar masjid, kemungkinan kecil mereka akan mendengarkannya, dan kemungkinan besar mereka akan asyik bersenda-gurau dengan kawan sebelahnya, yang memungkinkan terjadinya keributan yang akan mengganggu suasana di dalam masjid dan merugikan banyak pihak. selain itu, menurut kami pada zaman sekarang berbeda pada zaman dahulu, mereka yang berhalangan telah menggunakan pembalut yang diyakini tidak akan mengotori masjid.
 
B.  Teori Etika yang mendasari
Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti "bermanfaat". Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, berfaedah atau berguna, tapi menfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Aliran ini memberikan suatu norma bahwa baik buruknya suatu tindakan oleh akibat perbuatan itu sendiri. Tingkah laku yang baik adalah yang menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruknya. Setiap tindakan manusia harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai tanggung jawab kepada orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleoligis ( dari kata Yunani "telos" = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Dalam perdebatan antara para etikawan, teori utilitarisme menemui banyak kritik. Keberatan utama yang dikemukakan adalah bahwa utilitarisme tidak berhasil menampung dalam teorinya dua paham etis yang amat penting, yaitu keadilan dan hak. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar – besarnya untuk jumlah orang terbesar, maka menurut utilitarisme perbuatan itu harus dianggap baik. Jika mereka mau konsisten, para pendukung utilitarisme mesti mengatakan bahwa dalam hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, kalau mau konsisten, mereka harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat. Namun kesimpulan itu sulit diterima oleh kebanyakan etika-wan. Sebagai contoh bisa disebut kewajiban untuk menepati janji. Dasarnya adalah kewajiban dan hak.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Jeremi Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Bentham merumuskan prinsip utilitarisme sebagai the greatest happiness fot the greatest number (kebahagiaan yang sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin). Prinsip ini menurut Bentham harus mendasari kehidupan politik dan perundangan. Menurut Bentham kehidupan manusia ditentukan oleh dua ketentuan dasar:  
1.      Nikmat (pleasure)
2.      Perasaan sakit (pain).
Oleh karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan rasa sakit.
Prinsip dasar Ultilitarisme adalah tindakan atau peraturan yang secara moral betul adalah yang paling menunjang kebahagiaan semua yang bersangkutan atau bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat tindakanmu menguntungkan bagi semua yang bersangkutan. 
Pembagian Utilitarisme.
1.      Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism)
Menyatakan bahwa kita harus memperhitungkan, kemudian memutuskan, akibat-akibat yang dimungkinkan dari setiap tindakan aktual ataupun yang direncanakan.
2.      Utilitarisme aturan (rule utilitarianism).
Menyatakan bahwa kita harus mengira-ngira, lalu memutuskan, hasil-hasil dari peraturan dan hukum-hukum.
 Kelemahan Utilitarisme.
1.      Manfaat merupakan konsep yang begitu luas sehingga dalam kenyataan praktis akan menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
2.      Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius nilai suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan akibatnya.
3.      Etika utilitarisme tidak pernah menganggap serius kemauan baik seseorang.
4.      Variabel yang dinilai tidak semuanya dapat dikualifikasi.
5.      Seandainya ketiga kriteria dari etika utilitarisme saling bertentangan, maka akan ada kesulitan dalam menentukan prioritas diantara ketiganya.
6.      Etika utilitarisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingan mayoritas .
 
C.  Metodologi
Metodologi yang digunakan adalah metodologi kualitatif, yaitu metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah daripada melihat permasalahan untuk penelitian generalisasi. Metode penelitian ini lebih suka menggunakan teknik analisis mendalam ( in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus karena metodologi kulitatif yakin bahwa sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi tetapi pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah. Penelitian kualitatif berfungsi memberikan kategori substantif dan hipotesis penelitian kualitatif.
 
D.  Analisis
Berdasarakan teori utilitarian bahwa suatu kegiatan harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Disini saya akan membahas pembolehan santriwati yang berhalangan masuk masjid. Pada kasus yang telah disebutkan di atas, mereka membolehkannya karena mempunyai alasan tertentu. Pada saat itu, masjid merupakan satu-satunya tempat yang efektif untuk melangsungkan kegiatan para santri tersebut. Dengan cara demikian pula seluruh santri dapat mengikuti kegiatan tanpa terkecuali. Mereka juga memandang bahwa ikut duduk bersama para santri lainnya untuk mendengarkan wejangan atau ceramah dari pemimpin pondok pesantren merupakan salah satu sumber mendapatkan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu kebaikan. Wejangan-wejangan yang diberikan pun tidak luput dari pesan-pesan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Ini pun sesuai dengan landasan filosofis pondok tersebut
Menurut pendapat saya, tindakan memperbolehkan santriwati yang berhalangan masuk ke dalam masjid adalah keadaan yang sangat darurat dan termasuk ke dalam Utilitarisme perbuatan (act utililitarianism), mengingat pondok pesantren tersebut belum mempunyai aula pertemuan. Ini juga dilakukan mereka untuk keefektifan dalam melaksanakan kegiatan. Saya yakin mengambil tindakan seperti itu adalah tidak mudah dan memerlukan pemikiran yang panjang.
Sesuai teori utilitarian yang mengatakan bahwa suatu kegiatan harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, maka pembolehan masuk masjid bagi santriwati yang berhalangan adalah tindakan yang bisa dianggap "benar" pada saat itu. Dengan demikian dapat dirasakan manfaatnya; seluruh santriwati -baik yang sedang berhalangan atau tidak- mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih dalam lagi dan pelaksanaan kegiatan santri dapat berlangsung secara efektif dan tanpa adanya gangguan.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini