ETIKA PENGERAS SUARA MASJID DI TENGAH MASYARAKAT PERKOTAAN
1. Latar Belakang
a. Persoalan Etika yang Dikaji
Umat Islam memahami kata masjid sebagai bangunan tempat ibadah umat Islam, tempat sholat dsb. Pemahaman ini adalah pemahaman umum, walaupun sebenarnya harus dipahami lebih mendalam.
Masjid sebenarnya adalah sebuah filosofi tempat. Bukan ditekankan pada wujud fisik bangunan. Masjid adalah sebuah tempat bersujud manusia kepada Allah. Sedangkan Masjid juga disebut baitullah atau rumahnya Allah. Maksudnya bukan tempatnya kelompok tertentu.
Kebutuhan Penggunaan Pengeras suara merupakan sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi seperti zaman sekarang ini, hampir semua masjid dan mushola di seluruh dunia telah memiliki dan menggunakan alat pengeras suara. Tujuan digunakanya alat tersebut tidak lain adalah untuk menunjang tercapainya dakwah Islam kepada masyarakat luas di dalam masjid maupun di luar.
Maksudnya juga agar jamaah atau umat Islam yang tinggal agak berjauhan dari masjid dapat mendengar suara azdan dengan adanya pengeras suara. Selain itu, dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, menjadikan jamaah masjid membludak, sehingga perlu pengeras suara agar suara imam atau khatib dapat didengar oleh jamaah.
Memang keberadaan pengeras suara di masjid sangat membantu dalam kegiatan dakwah Islam saat ini. Hanya saja kita tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya. Ada segelintir diantara kita yang salah dalam memanfaatkan dan tidak menggunakan sebagaimana patutnya.
Misalnya ketika bulan ramadhan tiba, maksudnya sangat lah baik untuk mengumandangkan seruan agama pada waktu-waktu seperti sebelum subuh, sebelum maghrib, setelah isya, menyetel bacaan-bacaan surat dari setelah isya sampai sebelum sahur, bagaikan tidak ada putusnya pengeras suara masjid bekerja. Begitu seterusnya selama bulan ramadhan berlangsung, hal seperti ini dapat mengganggu kaum non-muslim.
b. Alasan Filosofis dan Praktis
Alasan filosofis dari latar belakang diatas yaitu:
"Dan janganlah engkau keraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya, dan carilah jala tengah di antara keduanya". (Al Isra` 110).
Dalam ayat lain: "Dan berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Ala'raf; 55).
Dan juga sudah diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Yang isinya seperti berikut:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat. Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid sebagai berikut:
1. Waktu Subuh
Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.
Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur'an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.
Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar.
Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama'ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.
2. Waktu Dzuhur dan Jum'at
Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum'at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur'an yang ditujukan ke luar.
Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.
Bacaan shalat, do'a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.
3. Ashar, Maghrib, dan Isya'
Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur'an.
Pada waktu datang waktu shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.
4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.
· Tarhim yang berupa do'a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.
· Pada bulan Ramadhan sebagaimana pada siang hari dan malam biasa dengan memperbanyak pengajian, bacaan Al-Qur'an yang ditujukan ke dalam seperti tadarusan dan lain-lain.
Sedangkan alasan praktis nya yaitu terutama di perkotaan, pengurus masjid harus benar-benar memperhatikan penggunaan pengeras suara. Sudah tidak aneh lagi di perkotaan di sekitar masjid terdapat tempat tinggal non-muslim, sehingga keadaan dan kondisi mereka tetap dipertimbangkan. Jangan sampai akibat salah dalam menggunakan pengeras suara masjid, membuat tetangga-tetangga menjadi merasa terganggu, lebih-lebih jangan sampai menimbulkan kebencian tetangga yang nonmuslim terhadap masjid.
c. Kasus yang Diangkat
Masyarakat di daerah perkotaan yang memiliki kepercayaan atau agama yang berbeda-beda yang dimana mayoritas memeluk agama islam, dan masjid sebagai tempat peribadatan menggunakan pengeras suara sebagai alat bantu untuk menyerukan panggilan ibadah kepada jamaahnya. Dan kadang mengesampingkan kaum non-muslim yang bersifat minoritas.
Kaum minoritas ini yang menganggap kebiasaan menyerukan sesuatu yang bersifat agama menggunakan pengeras suara masjid yang suaranya begitu keras dapat mengganggu kenyamanan seseorang non muslim, terutama pada jam jam istirahat yang membutuhkan kenyamanan, keheningan.
2. Teori Etika
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat terkenal "the greatesthappiness of the greatest numbers".
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan masyarakat).
Paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai berikut :
• Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan atau hasilnya).
• Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
• Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Menurut saya, teori ini sangat cocok dengan penelitian saya ini karena dari pengertian tentang utilitarianisme yaitu " suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat". Dapat dihubungkan dengan bagaimana seruan masjid-masjid untuk memanggil atau memberikan manfaat kepada umat islam yang dimana islam sendiri adalah agama mayoritas.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu dimana peneliti meneliti langsung atau terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data yang bersifat kualitatif, agar memperoleh data yang lebih mendalam walaupun hanya dari sumber yang terbatas. Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi, mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif.
Penelitian kualitatif tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan sebelumnya, tapi dimulai dari lapangan berdasarkan lingkungan alami. Data dan informasi lapangan ditarik maknanya dan konsepnya, melalui pemaparan deskriptif analitik, tanpa harus menggunakan angka, sebab lebih mengutamakan proses terjadinya suatu peristiwa dalam situasi yang alami.
Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar