Nama : NENDEN NELAWATI Kelas : KPI 5 E
NIM : 112051000135 Tugas :UTS
Strategi Komunikasi Asatidzah Dalam Pembinaan Akhlak Kepada Santri Di Pondok Pesantren Al Washilah Jakarta
1. Latar Belakang Masalah
Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik dan buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Etika berasal dari kata Yunani bagi sifat pribadi dan moral berasal dari kata bagi adat-istiadat sosial. Etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam lingkungan pondok pesantren yang berbasis tentang keagamaan yang didalamnya terdapat metode-metode pembelajaran agama, mempelajari ilmu tentang baik dan buruk, serta pembinaan akhlak. Akhlak terbentuk sebenarnya kembali pada diri masing-masing atau individu. Dimana tingkah laku yang baik dan terpuji itu hanya akan terwujud apabila individu tersebut menjalankannya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Namun seorang Asatidzah (guru) berperan penting dalam terbentuknya akhlak seorang santri, merekalah yang selalu mengajarkan dan membimbing serta membina seluruh santri dilingkungan pondok pesantren bagaimana akhlak yang baik tersebut. Untuk itu dibutuhkan strategi komunikasi yang baik agar terciptanya akhlak bagi seluruh santri di pondok pesantren.
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantern al-Washilah Jakarta yang bertempat di Jln. Kampung baru no 20, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Kenapa peneliti memilih Pondok Pesantren al-Washilah sebagai tempat penelitian? Padahal masih ada Pondok Pesantren yang lainnya di Jakarta, seperti Pondok Pesantren Al Hidayah, Assidiqiyah, Al Itqon dan lain sebagainya. Peneliti melihat dari latar belakang Pondok Pesantren al-Washilah itu sendiri. Yayasan Pondok Pesantren al-Washilah Jakarta berdiri pada tahun 1988 di bawah Pimpinan alm. KH. Ahmad Dasuki Adnan SH, MA. Diatas tanah seluas 8000 meter persegi (m²). Dahulu Ponpes al-Washilah ini bernama Yayasan al-Washilah, dan diisi oleh santri kalong (santri yang tidak menetap). Kegiatan di Yayasan al-Washilah ini adalah pesantren kilat bagi siswa sekolah umum. Pendiri Yayasan al-Washilah mengajak khalayak umum, serta siswa diberbagai sekolah umum lainnya untuk mengisi liburan dan bulan Ramadhan dengan pengajian di pesantren. Yayasan al-Washilah ini memiliki program-program seperti.
a. Pesantren Preman (anak-anak preman diajak untuk belajar di Yayasan al-Washilah)
b. Gempar (Gerakan Metode Praktis Baca Tulis al-Qur'an) mengajak masyarakat yang buta huruf untuk belajar baca al-Quran.
c. Sekolah Anjal (Anak Jalanan) mengajak dan merangkul anak jalanan yang tidak mampu sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dalam program ini Yayasan al-Washilah mengadakan program sekolah bagi anak jalanan di tingkatan SLTP (SMP) dan SMK (STM) untuk bersekolah secara gratis dan tidak dipungut biaya apapun.
d. Radio Dakwah (al Waish 1602 Khz:Pencipta Nuansa Bahagia)
e. Pembinaan Pemuda /Remaja Beriman (Preaman)
f. Minimart Kopontren al-Washilah
Tahap-demi tahap pembangunan terus dilalui oleh Yayasan al-Washilah sehingga menjadi Yayasan Pondok Pesantren al-Washilah dengan beberapa sekolah yang berada didalamnya yaitu TK, MI, MTS, SMP dan Madrasah Aliyah (MA). Sampai sekarang Pondok Pesantren al-Washilah semakin berkembang, semua program menyesuaikan dengan keadaan lingkungan dan zaman.
Dengan latar belakang yang sangat menarik dimana Yayasan al-Washilah yang dahulunya hanya sebuah pesantren kilat, tapi sekarang menjadi sebuah Yayasan Pondok Pesnatren itu adalah hal yang sangat luar biasa. Sehingga peneliti memilih Ponpes al-Washilah Jakarta sebagai tempat penelitian.
a. Persoalan Etika yang dikaji dan alasannya
Ø Semester pertama di Ponpes al-Washilah ini menekanan akhlak yang paling utama. Karena akhlak merupakan suatu hal yang sangat fundamental, dan ilmu tidak akan bisa masuk jika akhlaknya tidak benar. Maka akhlak menjadi ciri khas utama di ponpes al-Washilah.
Ø Menonjolkan masalah dakwah, dimana santri putra dijadwalkan untuk menjadi imam ketika shalat dzuhur dan mengisi kultum (mengkader santri menjadi seorang da'i). Karena ponpes al-Wasilah ini ingin mengkader para santrinya yang siap pakai ketika sudah terjun kemasyarakat, dari segi mental dan ilmu.
Ø Menonjolkan ekstrakulikuler (dengan menyalurkan hobi santri). Adapun ektrakulikuler tersebut seperti : PMR (Palang Merah Remaja), Paskibra, Taekwondo, Tari Saman, ). Di ponpes al-Washilah ini ingin santrinya aktif disemua bidang, jadi tidak hanya mengkaji kitab kuning saja, akan tetapi santri dituntut untuk aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan sosial luar, namun tidak mengurangi sikap mereka sebagai santri.
Ø Mengadakan Kultum (kuliah tujuh menit) ba'da shalat dzuhur yang dilakukan Asatidzah dan santri yang memiliki jadwal, dan santri yang mendengarkan wajib untuk menulis kultum yang disampaikan. Ini dilakukan untuk mengasah ilmu dan mental para santri dengan memberikan sebuah forum atau tempat untuk menyalurkan serta mempraktekan dengan ilmu yang telah didapat.
Ø Makalah hari Jumat, dikhususkan untuk anak laki-laki yang ketika khutbah shalat jumat. Ini semua dilakukan agar ketika dalam berlangsungnya shalat jumat para santri lebih fokus, karena memiliki suatu kewajiban bahkan dijadikannya sebagai tuntutan bahwasanya ketika mereka sudah rapih shalat jumat mereka harus merangkum apa saja yang telah disampaikan.
Ø Pembuatan Makalah 70 judul ketika pengambilan ijazah. Karena ketika mereka sudah berasa lulus terkadang mereka berasa seenaknya, tidak mementingkan makna dalam masa dipondok, dan demi membuat makalah tersebut maka santri akan lebih serius lagi belajar, dan banyak mencari informasi dari buku.
Ø Ada syarat khusus yang diterapkan ketika santri-santri lulus, yaitu Menyelesaikan semua hapalan yang telah disepakati oleh pihak ponpes dan hapalan surat-surat panjang, misalnya : Yasin, al Waqiah, al-Mulk, juz ama, tahlil, doa sehabis shalat, dan doa pendek (doa sehari-hari). Diadakannya sebuah aturan ini karena disisi lain ini adalah doa-doa dalam kehidupan sehari-hari, maka aturan ini diharapkan dapat menjadi bekal para santri ketika sudah terjun dimasyarakat.
Ø Santri dilarang membawa ponsel dan alat elektronik apapun. Walaupun alat elektronik penting, namun ada sisi positif dan negatifnya. Karena dizaman sekarang teknologi semakin canggih, sesuatu hal informasi apapun yang diinginkan bisa langsung kita dapatkan. Namun karena sekolah ini berbasis ponpes (pondok pesantren) dimana santrinya dilarang keras untuk membawa alat elektronik apapun, itu semua untuk kebaikan agar para santri lebih fokus dalam belajar, karena kehidupan didalam sebuah ponpes sangat jauh berbeda dengan kehidupan diluar sana. Misalkan santri boleh membawa ponsel, apa jadinya? Mungkin sebagian kecil akan mengerti kapan menggunakan dan tidak. Namun tidak memungkiri juga bahwa sebagian besar akan lebih fokus pada ponsel mereka bahkan mereka akan mengakses sesuatu hal yang tidak senonoh dan akan melalaikan kewajibannya sebagai santri.
Ø Santri dilarang membawa komik. Karena dalam komik zaman sekarang terdapat sisipan gambar-gambar dan isi makna yang tidak senonoh bahkan pornografi. Para santripun akan terganggu konsentrasinya. Maka dari itu di ponpes al-Washilah ini melarang keras anak-anak untuk membawa komik.
Ø Santri tidak boleh berpacaran. Disini adalah ponpes, dimana para santri banyak mengkaji persoalan-persoalan agama islam. Dalam islam dilarang untuk berpacaran, jika bukan muhrim sudah berpandangan mata saja itu sudah disebut zinah kecil, apalagi selebihnya. Zaman sekarang anak-anak sekolah pergaulannya sangatlah bebas. Bebas melakukan seenaknya sendiri tidak memandang dosa, berpacaran bagaikan bersuami. Bebas melakukan segala hal, dimana itu adalah hal yang tidak baik.
b. Kasus yang diangkat (Strategi Komunikasi Asatidzah Dalam Pembinaan Akhlak Kepada Santri Di Pondok Pesantren Al Washilah Jakarta)
2. Teori yang mendasari
Teori yang mendasari studi ini adalah teori utilitarianisme. Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Dalam teori ini suatu tindakan akan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat terkenal "the greatest happiness of the greatest numbers". Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoism etis terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut kepentingan orang banyak (kepentingan bersama). Paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai berikut:
1. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau hasilnya).
2. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
3. Kesehjateraan setiap orang sama pentingnya.
Teori ini dikatakan mendasari studi ini karena dalam membentuk dan menerapkan strategi komunikasi asatidzah dalam pembinaan akhlak di ponpes al-Washilah Jakarta ini sesuai dengan pendekatan teori utilitarianisme. Dimana para asatidzah memandang semua aturan atau strategi yang mereka susun akan dikatakan baik dan berhasil jika akibat, hasil dan tujuan yang ingin mereka capai tercapai. Dalam semua tindakan, peraturan yang akan dibuat atau diterapkan terlebih dahulu diukur dari tingkatan akibatnya, apakah bermanfaat atau tidak.
3. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, penelitian deskriptif ialah hanya "memaparkan situasi atau peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi"[1]. Dimana peneliti ingin memaparkan dengan jelas semua yang terjadi di lapangan dan yang kemudian dianalisis serta mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena ingin mendapatkan data yang secara alami tanpa rekayasa atau data apa adanya sesuai dengan keadaan, serta dalam pelaksanaan penelitiannya digunakan dengan cara wawancara, pengamatan, serta dapat ditambahkan dengan catatan lapangan, penggunaan dokumen, dan dalam penelitian kualitatif ini peneliti tidak perlu menguji hipotesis.
a. Subjek dan Objek
Subjek penelitian adalah Asatidzah dan yang menjadi objek adalah strategi komunikasi Asatidzah dalam membina akhlak di Pondok Pesantren Al Washilah Jakarta.
b. Teknik pengumpulan data
1. Observasi
Obsevasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.[2] Peneliti mengamati langsung objek yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini peneliti mengamati langsung terhadap kegiatan strategi komunikasi yang dilakukan oleh Asatidzah dalam pembinaan akhlak di pondok pesanten Al Washilah Jakarta.
2. Wawancara
Wawancara berarti adalah "proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau informan dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara)."[3] Peneliti mewawancarai dan bertanya langsung kepada narasumber untuk mendapatkan informasi yang tepat, wawancara ini ditujukan langsung kepada Asatidzah pondok pesantren Al Washilah Jakarta, Pengasuh Pondok Pesantren Hajjah Fuaedah, Lurah Pondok Pesantren Drs. H. M. Sahidi Rahman, M.A. Kepala Sekolah SMK Al Washilah Sahata Pane, ST.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti tidak hanya dokumen resmi.[4] Peneliti menggunakan metode dokumentasi untuk mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian. Untuk melengkapi data yang sudah diperoleh melalui observasi dan wawancara.
Dibalik berkembangnya Yayasan ponpes al-Washilah ternyata terdapat strategi yang dibentuk oleh alm. Kiyai Ahmad Dasuki Adnan SH, MA. Strategi tersebut adalah strategi komunikasi yang digunakan bahkan menjadi acuan atau pedoman para asatidzah (guru) untuk pembinaan akhlak kepada santri di ponpes al-Washilah. Adapun strategi komunikasi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Strategi Komunikasi yang diterapkan
Ø Para kiyai, guru, ustad, yang menjadi top leader, contoh atau suri tauladan yang baik, sehingga anak-anak akan lebih mudah untuk meniru.
Ø Pembinaan akhlak/penerapan tentang akhlak ada di setiap tempat dan waktu, serta dengan pengawasan yang ketat.
Ø Kendala dijadikan tantangan (karena memiliki nilai perjuangan) dan ini menjadi nilai kepedulian seorang asatidzah (guru) terhadap santrinya. .
Ø Adanya dialog khusus antara kiyai/ustad dengan santri yang memilki masalah didalam suatu ruangan dikeheningan malam. Dimana dalam dialog tersebut terdapat nasihat-nasihat yang baik dan pengarahan. Dalam menangani anak-anak santri tidak dengan secara keras dan jangan terlalu lembut juga, harus seimbang.
Ø Harus mengerti anak-anak, dan lebih mengalah ketika memang anaknya yang memiliki karakter/sifat keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar